S. TASRIF, waktu masih jadi Pemimpin Redaksi Harian Abadi,
sering dapat panggilan aparat pemerintah karena pemuatan suatu
berita di korannya. Pernah pada 1955, misalnya, ia dipanggil
Kejaksaan Agung karena korannya menyiarkan berita yang oleh
penguasa dianggap bohong dan bisa mengguncangkan masyarakat. Ia
dituduh melanggar Hatzai artikelen.
Tapi perkaranya kemudian dibekukan. Padahal pemeriksaan sudah
dilakukan gencar dan berita acaranya siap diajukan ke pengadilan
dengan Jaksa Dali Mutiara almarhum. Tasrif, yang kini jadi
pengacara, lupa mengapa perkaranya waktu itu dibekukan. Lalu
pada 1958, karena masalah yang sama, pernah pula ia mendapat
panggilan CPM Guntur (CPM yang bermarkas di Jalan Guntur
Jakarta). Pemeriksanya, Tasrif masih ingat, berpangkat letnan
muda. Tapi juga ini pun tak ada buntutnya. Waktu itu Suardi
Tasrif belum bertitel SH.
Semua itu kini terkenang lagi tatkala ia mendengar pekan lalu
ada kesepakatan antara PWI (Persatuan Wartawan Indonesia dan
Polri mengenai prosedur pemanggilan dan pemeriksaan wartawan.
"Ini konsekuensi berlakunya KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana)," katanya.
Tasrif, selaku Ketua Kehormatan PWI Pusat, tampak sangat menaruh
perhatian terhadap kesepakatan bersama PWI-Polri itu. Kapolri
Letjen (Pol) Anton Soedjarwo dan Ketua PWI Pusat Harmoko
menandatanganinya pekan lalu dalam satu upacara di Hotel Sahid
Jaya, Jakarta, tempat Pertemuan Besar Pimpinan Redaksi dan PWI
se-Indonesia. "Dengan konsensus itu ada ketentuan polisi yang
mana yang berhak memanggil wartawan," kata Tasrif.
Menurut Tasrif, kesepakatan itu mencegah setiap anggota Polri
bisa memanggil wartawan karena terjadinya suatu delik pers.
Karena dalam pemanggilan wartawan perlu izin atasannya. Yakni
pada tingkat Mabak adalah Kapolri, Kodak Kadapol dst. Ini
penting, katanya, sebab pekeraan wartawan menyangkut segi
intelektual. Hingga "level" yang diperiksa dan yang memeriksa
harus sama sederajat. Kalau yang memeriksa wartawan itu sersan
mayor polisi, yang tidak mengerti masalahnya, bisa jadi debat
kusir."
Sebelum ada konsensus itu yang berhak memanggil wartawan adalah
kejaksaan. Ini pun hasil kesepakatan antara PWI dan Kejaksaan
Agung. Sedang sebelum itu, berdasarkan UU Pokok Kejaksaan dan UU
Pokok Kepolisian, kedua instansi pemerintah itu berhak memanggil
wartawan. Waktu itu kesimpangsiuran pun sering terjadi.
Tapi, menurut Tasrif, masa sebelum berlakunya KUHAP (disahkan 31
Desember 1981), yakni ketika pemanggilan wartawan oleh
kejaksaan, lebih baik. Sebab jaksa lebih banyak mengetahui
seluk-beluk hukum karena mereka berkecimpung di bidang itu.
Bahkan banyak yang bertitel SH atau tamatan SHD (Sekolah Hakim
dan (D)Jaksa)
Dengan berlakunya KUHAP, adalah pejabat Polri yang berhak
mengadakan penyidikan, termasuk pemanggilan wartawan yang
terlibat delik pers. Karena ternyata tak semua personil Polri
berpendidikan ilmu hukum, "dikhawatirkan terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan," kata Tasrif. Ia banyak melihat, misalnya,
jaksa selaku penuntut umum kerap kali mengembalikan berkas
berita acara pemeriksaan Polri karena dianggap tidak memenuhi
ketentuan hukum atau tidak lengkap. Misalnya, pembuktiannya
samar-samar.
Karena itu, kata Tasrif, "sedapat mungkin yang memeriksa
wartawan adalah letnan ke atas." Pendeknya, "level pengetahuan
yang memeriksa harus menguasai ilmu hukum atau pekerjaan pers."
Kenapa wartawan memperoleh keistimewaan semacam itu? "Ini
kehormatan bagi profesi wartawan yang mungkin dianggap bekerja
bagi kepentingan umum dan bersifat intelektual," gumam Tasrif
tersipu-sipu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini