Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Sesudah jaksa, polisi berhak

Kesepakatan antara pwi dan polri mengenai prosedur pemanggilan dan pemeriksaan wartawan, konsekuensi dan pemeriksaan wartawan, konsekuensi berlakunya kuhap. (md)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

S. TASRIF, waktu masih jadi Pemimpin Redaksi Harian Abadi, sering dapat panggilan aparat pemerintah karena pemuatan suatu berita di korannya. Pernah pada 1955, misalnya, ia dipanggil Kejaksaan Agung karena korannya menyiarkan berita yang oleh penguasa dianggap bohong dan bisa mengguncangkan masyarakat. Ia dituduh melanggar Hatzai artikelen. Tapi perkaranya kemudian dibekukan. Padahal pemeriksaan sudah dilakukan gencar dan berita acaranya siap diajukan ke pengadilan dengan Jaksa Dali Mutiara almarhum. Tasrif, yang kini jadi pengacara, lupa mengapa perkaranya waktu itu dibekukan. Lalu pada 1958, karena masalah yang sama, pernah pula ia mendapat panggilan CPM Guntur (CPM yang bermarkas di Jalan Guntur Jakarta). Pemeriksanya, Tasrif masih ingat, berpangkat letnan muda. Tapi juga ini pun tak ada buntutnya. Waktu itu Suardi Tasrif belum bertitel SH. Semua itu kini terkenang lagi tatkala ia mendengar pekan lalu ada kesepakatan antara PWI (Persatuan Wartawan Indonesia dan Polri mengenai prosedur pemanggilan dan pemeriksaan wartawan. "Ini konsekuensi berlakunya KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)," katanya. Tasrif, selaku Ketua Kehormatan PWI Pusat, tampak sangat menaruh perhatian terhadap kesepakatan bersama PWI-Polri itu. Kapolri Letjen (Pol) Anton Soedjarwo dan Ketua PWI Pusat Harmoko menandatanganinya pekan lalu dalam satu upacara di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, tempat Pertemuan Besar Pimpinan Redaksi dan PWI se-Indonesia. "Dengan konsensus itu ada ketentuan polisi yang mana yang berhak memanggil wartawan," kata Tasrif. Menurut Tasrif, kesepakatan itu mencegah setiap anggota Polri bisa memanggil wartawan karena terjadinya suatu delik pers. Karena dalam pemanggilan wartawan perlu izin atasannya. Yakni pada tingkat Mabak adalah Kapolri, Kodak Kadapol dst. Ini penting, katanya, sebab pekeraan wartawan menyangkut segi intelektual. Hingga "level" yang diperiksa dan yang memeriksa harus sama sederajat. Kalau yang memeriksa wartawan itu sersan mayor polisi, yang tidak mengerti masalahnya, bisa jadi debat kusir." Sebelum ada konsensus itu yang berhak memanggil wartawan adalah kejaksaan. Ini pun hasil kesepakatan antara PWI dan Kejaksaan Agung. Sedang sebelum itu, berdasarkan UU Pokok Kejaksaan dan UU Pokok Kepolisian, kedua instansi pemerintah itu berhak memanggil wartawan. Waktu itu kesimpangsiuran pun sering terjadi. Tapi, menurut Tasrif, masa sebelum berlakunya KUHAP (disahkan 31 Desember 1981), yakni ketika pemanggilan wartawan oleh kejaksaan, lebih baik. Sebab jaksa lebih banyak mengetahui seluk-beluk hukum karena mereka berkecimpung di bidang itu. Bahkan banyak yang bertitel SH atau tamatan SHD (Sekolah Hakim dan (D)Jaksa) Dengan berlakunya KUHAP, adalah pejabat Polri yang berhak mengadakan penyidikan, termasuk pemanggilan wartawan yang terlibat delik pers. Karena ternyata tak semua personil Polri berpendidikan ilmu hukum, "dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," kata Tasrif. Ia banyak melihat, misalnya, jaksa selaku penuntut umum kerap kali mengembalikan berkas berita acara pemeriksaan Polri karena dianggap tidak memenuhi ketentuan hukum atau tidak lengkap. Misalnya, pembuktiannya samar-samar. Karena itu, kata Tasrif, "sedapat mungkin yang memeriksa wartawan adalah letnan ke atas." Pendeknya, "level pengetahuan yang memeriksa harus menguasai ilmu hukum atau pekerjaan pers." Kenapa wartawan memperoleh keistimewaan semacam itu? "Ini kehormatan bagi profesi wartawan yang mungkin dianggap bekerja bagi kepentingan umum dan bersifat intelektual," gumam Tasrif tersipu-sipu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus