SULTAN Hamengkubuwono IX, Ketua KONI Pusat, berdiri tegap di
panggung kehormatan. Di sebelahnya berdiri pula Harmoko, Ketua
PWI Pusat. Kamis pagi itu cuaca cerah di Stadion Diponegoro,
Semarang, Ja-Teng. Hampir 600 anggota dari seluruh cabang dan
perwakilan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) berdefile di depan
kedua tokoh itu. Warna-warni pakaian mereka khas daerah
masing-masing.
Dalam pembukaan POR (Pekan Olah Raga) Wartawan pekan lalu itu,
tingkah para atlet yang berdefile pun bervariasi. Kontingen
Yogyakarta, misalnya, sesampainya di muka panggung kehormatan
membungkukkan hadan, menghormat bagaikan abdi dalem kepada
Sultan. Penonton pun -- termasuk sejumlah gubernur, walikota,
Ketua DPRD, dan sekitar 1.500 wartawan yang meliput kejadian itu
--jadi gerr.
Dalam pesannya, Sultan Hamengkubuwono IX mengajak para wartawan
selalu berolah rasa. "Kalau selama ini wartawan berdiri di luar
lapangan sebagai penilai, kini masyarakat menilai wartawan
bertanding," ujar Sultan. Menurut Harmoko, POR ini bertujuan
menciptakan keakraban profesi antarwartawan melalui olah raga,
bukan mencari prestasi.
Begitukah? "Minimal berkumpul dan melupakan tugas rutin
sehari-dua," ucap Iman Soetrisno, Pemred Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta. Sedang Suwarno, Pemred Suara Merdeka, menilai POR
ini bukan saja menghibur wartawan tapi juga masyarakat. Bahkan,
katanya, keterlibatan masyarakat itu terlihat sejak api POR
disulut di Mrapen, Kabupaten Grobogan, dan menyediakan berbagai
atraksi massal.
Menurut Ketua Panitia POR, Hamid S. Darminto, pesta ini
menghabiskan Rp 70 juta. Mencari dana, panitia menerbitkan buku
POR yang berisi banyak iklan. Seluruh bupati Ja-Teng "ikut
terlibat". Begitu juga tiap kontingen melibatkan gubernur
setempat. "Tanpa bantuan gubernur, mana bisa kami berangkat,"
tutur seorang wartawan Medan. Rekor Rp 9 juta dari Gubernur
Sum-Ut menyantuni kontingen daerahnya. Gubernur daerah lain
menyumbang Rp 4 juta rata-rata. Tapi Yogya hampir membatalkan
tim sepak bolanya, karena kekurangan biaya. "Kita cuma dapat Rp
250.000 dari gubernur," keluh Sulaiman Ismail, manajer tim DIY.
Berbagai macam angkutan gratis atau tarif khusus diperoleh para
kontingen. Hingga ada yang menaksir biaya seluruhnya sekitar Rp
500 juta, melebihi biaya pcrsiapan ke SEA Games mendatang.
Olah raganya sendiri jadi nomor dua. Masyarakat
terpingkal-pingkal menonton kesebelasan PWI Jaya mencukur PWI
Ja-Tim, 9-0. "Pemain Ja-Tim penghuni asrama jompo," teriak
penonton: Para atlet sudah tua-tua, bahkan di atas 40. Syarat
jadi peserta asalkan punya kartu PWI. Lantas PWI Yogya memprotes
karena 6 pemain Persis (bond Solo) mendadak dapat kartu wartawan
agar bisa memperkuat kontingen Solo. Kesebelasan Yogya memang
dikalahkan Solo 0-6.
Jadwal pertandingan sering mulur. Maklum, ada kontingen yang
minta w.o. saja.
Yang kelihatan serius hanya DKI Jaya. Ia mengincar piala
bergilir Presiden. Timnya memang kuat fisik dan dana. Ia bikin
iri sejumlah kontingen. Maka ada yang berseru. "Pulang yuk, kita
tak dibiayai siapa-siapa."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini