Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Atlet penghibur

Por wartawan di semarang. (md)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SULTAN Hamengkubuwono IX, Ketua KONI Pusat, berdiri tegap di panggung kehormatan. Di sebelahnya berdiri pula Harmoko, Ketua PWI Pusat. Kamis pagi itu cuaca cerah di Stadion Diponegoro, Semarang, Ja-Teng. Hampir 600 anggota dari seluruh cabang dan perwakilan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) berdefile di depan kedua tokoh itu. Warna-warni pakaian mereka khas daerah masing-masing. Dalam pembukaan POR (Pekan Olah Raga) Wartawan pekan lalu itu, tingkah para atlet yang berdefile pun bervariasi. Kontingen Yogyakarta, misalnya, sesampainya di muka panggung kehormatan membungkukkan hadan, menghormat bagaikan abdi dalem kepada Sultan. Penonton pun -- termasuk sejumlah gubernur, walikota, Ketua DPRD, dan sekitar 1.500 wartawan yang meliput kejadian itu --jadi gerr. Dalam pesannya, Sultan Hamengkubuwono IX mengajak para wartawan selalu berolah rasa. "Kalau selama ini wartawan berdiri di luar lapangan sebagai penilai, kini masyarakat menilai wartawan bertanding," ujar Sultan. Menurut Harmoko, POR ini bertujuan menciptakan keakraban profesi antarwartawan melalui olah raga, bukan mencari prestasi. Begitukah? "Minimal berkumpul dan melupakan tugas rutin sehari-dua," ucap Iman Soetrisno, Pemred Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Sedang Suwarno, Pemred Suara Merdeka, menilai POR ini bukan saja menghibur wartawan tapi juga masyarakat. Bahkan, katanya, keterlibatan masyarakat itu terlihat sejak api POR disulut di Mrapen, Kabupaten Grobogan, dan menyediakan berbagai atraksi massal. Menurut Ketua Panitia POR, Hamid S. Darminto, pesta ini menghabiskan Rp 70 juta. Mencari dana, panitia menerbitkan buku POR yang berisi banyak iklan. Seluruh bupati Ja-Teng "ikut terlibat". Begitu juga tiap kontingen melibatkan gubernur setempat. "Tanpa bantuan gubernur, mana bisa kami berangkat," tutur seorang wartawan Medan. Rekor Rp 9 juta dari Gubernur Sum-Ut menyantuni kontingen daerahnya. Gubernur daerah lain menyumbang Rp 4 juta rata-rata. Tapi Yogya hampir membatalkan tim sepak bolanya, karena kekurangan biaya. "Kita cuma dapat Rp 250.000 dari gubernur," keluh Sulaiman Ismail, manajer tim DIY. Berbagai macam angkutan gratis atau tarif khusus diperoleh para kontingen. Hingga ada yang menaksir biaya seluruhnya sekitar Rp 500 juta, melebihi biaya pcrsiapan ke SEA Games mendatang. Olah raganya sendiri jadi nomor dua. Masyarakat terpingkal-pingkal menonton kesebelasan PWI Jaya mencukur PWI Ja-Tim, 9-0. "Pemain Ja-Tim penghuni asrama jompo," teriak penonton: Para atlet sudah tua-tua, bahkan di atas 40. Syarat jadi peserta asalkan punya kartu PWI. Lantas PWI Yogya memprotes karena 6 pemain Persis (bond Solo) mendadak dapat kartu wartawan agar bisa memperkuat kontingen Solo. Kesebelasan Yogya memang dikalahkan Solo 0-6. Jadwal pertandingan sering mulur. Maklum, ada kontingen yang minta w.o. saja. Yang kelihatan serius hanya DKI Jaya. Ia mengincar piala bergilir Presiden. Timnya memang kuat fisik dan dana. Ia bikin iri sejumlah kontingen. Maka ada yang berseru. "Pulang yuk, kita tak dibiayai siapa-siapa."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus