MENJELANG pergantian Tahun Cina dari anjing ke babi 13 Februari,
kebetulan anjing-anjing bernasib buruk. Sampai minggu pertama
bulan ini 35 ekor anjing ras dibunuh di Bali Sementara itu lebih
dari 1.000 ekor jenis herder, Pekingese, Papillon, Japanese,
Takcle dan Maltese dilemparkan keluar dari pulau itu.
Semua itu terjadi karena Gubernur Bali, Mantra, ingin
mempertahankan daerahnya sebagai "daerah bebas rabies".
Pemerintah Daerah Tingkat I Bali malahan menentukan 7 Februari
sebagai batas pendaftaran. "Jika sampai batas waktu itu pemilik
anjing tak mendaftarkan anjing peliharaannya dan kedapatan dalam
razia, hewan itu akan dimusnahkan. Pemilik atau pemelihara
diusut dan dituntut secara hukum," kata Drh. Kosala Anom
Mendala, ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Penyakit Rabies.
Bali memang merupakan daerah yang belum ketularan rabies atau
penyakit anjing gila. Sejak zaman Belanda kedudukan itu
dipertahankan dengan peraturan yang melarang masuknya anjing,
kera dan kucing ke daerah itu. Bersama Bali, tinggal Madura,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Irian Jaya,
Kalimantan Barat, pulau-pulau sekeliling Sumatera dan Timor
Timur yang belum terjangkit anjing gila.
Bali kelihatannya paling getol mempertahankan kebebasannya.
Selain bersandar pada ordonansi yang sudah berumur 57 tahun,
Mantra juga bertindak dengan menggunakan PP 15/1977, surat
keputusan bersama Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian dan
Menteri Dalam Negeri 1982 yang berintikan dilarangnya anjing,
kera dan kucing masuk ke daerah bebas rabies.
Tetapi langkah Mantra agak mengagetkan bagi pemelihara anjing di
Bali. Karena yang disasarnya hanya anjing ras. Sebuah sumber
menyebutkan jenis anjing impor itu yang disasar karena diduga
banyak anjing ras yang masuk tanpa izin.
Semula, ketika batas waktu pendaftaran itu dikeluarkan, para
pemilik anjing ras mengira pemerintah akan memberikan
"pemutihan" terhadap anjing peliharaan mereka. "Benar-benar di
luar dugaan. Kalau tahu begini kami tidak mendaftarkan. Jika
ada razia bisa mengelak," ucap seorang pemilik.
Anjing-anjing ras di Bali itu ada yang merupakan
pengembang-biakan setempat. Tetapi yang paling banyak masuk
secara diam-diam dari luar Bali. Pengawasan yang kurang ketat di
pelabuhan memberi peluang masuknya anjing-anjing nonlokal itu.
"Jika peraturan ketat sejak dulu, kami mengerti, dan kami tidak
akan memelihara anjing seperti ini," kata I Gusti Ngurah
Mulyadi, salah seorang pencinta anjing ras.
Ada pula yang mendebat: "Mengapa anjing ras saja. Apakah anjing
kampung tidak bisa kena rabies. Kalau anjing ras dicurigai,
bukankah dalam sepuluh hari saja mereka berada di sini akan
langsung mati kalau memang menderita rabies," kata pemilik yang
lain.
Tetapi ada juga yang ringan tangan dan langsung menyerahkan
anjingnya. Sikap begini dipelopori Anak Agung Ngurah Manik. Tiga
anjing ras yang selama ini dengan setia menemani tuannya dalam
kesepian dan menjadi penadah sisa makanan di rumah Kerua DPRD
Tingkat II Badung itu, sudah diserahkan kepada tim antirabies.
Pemerintah mengeluarkan atau membunuh anjing ras itu merupakan
langkah pertama Gubernur Mantra. Sekalipun belum ada bukti
anjing-anjing ras menderita rabies, Mantra rupanya pertama-tama
ingin menegakkan peraturan yang berlaku tentang larangan
masuknya anjing dari luar Bali. Tidak peduli apakah
anjing-anjing itu sehat walafiat sebagaimana terbukti dari
pemeriksaan contoh otak yang dilakukan di Balai Penyelidikan
Penyakit Hewan, di Denpasar.
Tetapi Bali nampaknya tidak akan benar-benar bebas anjing ras.
Seperti kata ketua tim antirabies, Kosala Anom Mandala: "Anjing
herder pelacak milik kepolisian, dan anjing ras milik pengusaha
sirkus akan tetap diizinkan bermukim di Bali."
Bali selalu menarik dalam mencegah rabies. Ini disebabkan
populasi anjing yang menyebar di sana. Hampir tiap keluarga
memelihara anjing kampung. Jenis anjing yang kerap juga
disebutkan anjing geladak itu, kabarnya akan mendapat giliran
setelah operasi anjing ras.
Belum jelas bagaimana penanggulangannya. Tahun 1973 pernah
dikeluarkan perintah tembak di tempat untuk anjing liar. Tetapi
perburuan seperti itu kemudian dihentikan setelah sebuah peluru
nyasar dan mengenai seorang pejalan kaki. Sedangkan pembunuhan
terhadap anjing ras sekarang ini dilakukan dengan suntikan
strychnine.
Di luar Bali, terutama daerah yang endemis rabies, pencegahan
penyakit berjalan santai. "Tak ada operasi penangkapan di
lapangan," ujar Drh. Zainul Arifin, Kepala Dinas Peternakan
Medan. "Wah, bagaimana mungkin kami berperang tanpa peluru,"
sambungnya pula.
Zainal mengeluh tentang tidak adanya dana untuk pemberantasan
rabies di Kota Medan. Bahkan untuk vaksinasi saja, Dinas
Peternakan cuma bersikap menunggu. "Tiap tahun ada sekitar 3.000
ekor anjing yang dibawa pemilik untuk divaksinasi," ucapnya.
Padahal kalau mau turun ke lapangan diperkirakan perlu dana
sekitar Rp 50 juta hanya untuk pembeli vaksin buat sekitar 35
.000 ekor anjing yang terdapat di kota itu.
Medan termasuk rawan rabies. Menurut catatan, tiap tahun sekitar
2.000 orang yang kena gigit anjing. Namun dari sekian banyak
gigitan anjing hanya beberapa ratus yang menderita rabies. Tahun
1981 misalnya dari 144 yang menggigit ditemukan 121 yang positif
rabies. Sedangkan menurut catatan terakhir antara April hingga
Desember 1982 dari 108 anjing yang menggigit, 92 kena rabies.
Sedangkan angka kematian cukup rendah. Sepanjang tahun 1982
misalnya, hanya tercatat satu orang. Angka ini jauh di bawah
perkiraan Badan Kesehaun Dunia (WHO) yang menyebutkan hanya 10%
yang bisa sembuh.
Sedangkan Bogor kelihatannya bertindak cepat dalam menghadapi
penyakit ini. Hanya beberapa hari setelah enam anak dari Jalan
Panaragan Kidul di kota itu digigit anjing, Walikota Bogor,
Achmad Sobana mengeluarkan surat keputusan unggal 22 Januari
yang menyatakan sejak 18 Januari sampai 4 bulan kemudian Bogor
dinyatakan terserang rabies.
Ceritanya bermula dari anjing bernama Moli yang baru sebulan di
keluarga Yanuardi Ramli tiba-tiba berubah perangai. Sudah tolol,
dikasih makan juga tak mau. Galak dan suka menggigit. Tanggal 18
Januari anjing yang dibawa seorang pembantu dari Sukabumi itu,
menggigit tangan Tantri, betis Mamat, tangan Nouvri dan Hery.
Juga betis Indra dan Putri.
Karena gelagatnya itu Moli langsung dikirim ke Institut
Pertanian Bogor. Baru dua hari diobservasi anjing itu pun mati.
Pemeriksaan terhadap otaknya membuktikan Moli terserang rabies.
Untuk mencegah keenam anak itu ketularan rabies, Dinas
Peternakan menganjurkan supaya mereka disuntik antirabies.
Mereka lantas dibawa ke Dinas Kesehatan Kota Bogor. Tapi
pengobatan gagal karena vaksin yang tersimpan di sana sudah
kedaluwarsa. Akhirnya anak-anak berusia belasan tahun itu
mendapat suntikan vaksin antirabies di Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular di Jalan
Percetakan Negara, Jakarta.
Kondisi keenam korban masih seperti sediakala. "Saya tidak
pernah merasakan apa-apa sejak digigit, disuntik dan sampai
sekarang ini," ujar Hery, korban yang duduk di kelas 2 SMA itu
kepada Agus Basri dari TEMPO.
Rabies dalam sepuluh tahun belakangan ini kelihatannya
meningkat. Ini bisa terbaca dari produksi vaksin maupun serum
yang membubung. Perum Bio Farma yang memproduksi kedua macam
obat itu mencatat kenaikan 700% untuk serum dalam masa 10 tahun
(5 liter menjadi 35 liter serum per tahun). Sekalipun tak
setajam serum, vaksin juga tercatat meningkat produksinya. "Tapi
kenaikan itu masih perlu diteliti apakah karena rabies yang
bertambah atau kesadaran tentang pentingnya vaksinasi yang
meningkat," ulas M.S. Nasution, Dirut Bio Farma.
Keraguan Nasution itu berdasar juga. Terutama kalau dihubungkan
dengan angka kunjungan penderita gigitan anjing gila yang masuk
ke klinik rabies Bio Farma. Dari 2.373 tahun 1978 menjadi 2.700
tahun 1982. Tapi kenaikan yang tipis itu agaknya berhubungan
dengan vaksin maupun serum yang tidak lagi terpusat di Bio Farma
yang dulu bernama Lembaga Pasteur itu. Tapi sudah menyebar ke
kota-kota lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini