Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Keluar Bali atau Mati

Daerah Bali dinyatakan daerah bebas rabies. anjing kera, dan kucing, dilarang masuk, anjing ras harus keluar dari bali atau dibunuh. (ksh)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG pergantian Tahun Cina dari anjing ke babi 13 Februari, kebetulan anjing-anjing bernasib buruk. Sampai minggu pertama bulan ini 35 ekor anjing ras dibunuh di Bali Sementara itu lebih dari 1.000 ekor jenis herder, Pekingese, Papillon, Japanese, Takcle dan Maltese dilemparkan keluar dari pulau itu. Semua itu terjadi karena Gubernur Bali, Mantra, ingin mempertahankan daerahnya sebagai "daerah bebas rabies". Pemerintah Daerah Tingkat I Bali malahan menentukan 7 Februari sebagai batas pendaftaran. "Jika sampai batas waktu itu pemilik anjing tak mendaftarkan anjing peliharaannya dan kedapatan dalam razia, hewan itu akan dimusnahkan. Pemilik atau pemelihara diusut dan dituntut secara hukum," kata Drh. Kosala Anom Mendala, ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Penyakit Rabies. Bali memang merupakan daerah yang belum ketularan rabies atau penyakit anjing gila. Sejak zaman Belanda kedudukan itu dipertahankan dengan peraturan yang melarang masuknya anjing, kera dan kucing ke daerah itu. Bersama Bali, tinggal Madura, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Barat, pulau-pulau sekeliling Sumatera dan Timor Timur yang belum terjangkit anjing gila. Bali kelihatannya paling getol mempertahankan kebebasannya. Selain bersandar pada ordonansi yang sudah berumur 57 tahun, Mantra juga bertindak dengan menggunakan PP 15/1977, surat keputusan bersama Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian dan Menteri Dalam Negeri 1982 yang berintikan dilarangnya anjing, kera dan kucing masuk ke daerah bebas rabies. Tetapi langkah Mantra agak mengagetkan bagi pemelihara anjing di Bali. Karena yang disasarnya hanya anjing ras. Sebuah sumber menyebutkan jenis anjing impor itu yang disasar karena diduga banyak anjing ras yang masuk tanpa izin. Semula, ketika batas waktu pendaftaran itu dikeluarkan, para pemilik anjing ras mengira pemerintah akan memberikan "pemutihan" terhadap anjing peliharaan mereka. "Benar-benar di luar dugaan. Kalau tahu begini kami tidak mendaftarkan. Jika ada razia bisa mengelak," ucap seorang pemilik. Anjing-anjing ras di Bali itu ada yang merupakan pengembang-biakan setempat. Tetapi yang paling banyak masuk secara diam-diam dari luar Bali. Pengawasan yang kurang ketat di pelabuhan memberi peluang masuknya anjing-anjing nonlokal itu. "Jika peraturan ketat sejak dulu, kami mengerti, dan kami tidak akan memelihara anjing seperti ini," kata I Gusti Ngurah Mulyadi, salah seorang pencinta anjing ras. Ada pula yang mendebat: "Mengapa anjing ras saja. Apakah anjing kampung tidak bisa kena rabies. Kalau anjing ras dicurigai, bukankah dalam sepuluh hari saja mereka berada di sini akan langsung mati kalau memang menderita rabies," kata pemilik yang lain. Tetapi ada juga yang ringan tangan dan langsung menyerahkan anjingnya. Sikap begini dipelopori Anak Agung Ngurah Manik. Tiga anjing ras yang selama ini dengan setia menemani tuannya dalam kesepian dan menjadi penadah sisa makanan di rumah Kerua DPRD Tingkat II Badung itu, sudah diserahkan kepada tim antirabies. Pemerintah mengeluarkan atau membunuh anjing ras itu merupakan langkah pertama Gubernur Mantra. Sekalipun belum ada bukti anjing-anjing ras menderita rabies, Mantra rupanya pertama-tama ingin menegakkan peraturan yang berlaku tentang larangan masuknya anjing dari luar Bali. Tidak peduli apakah anjing-anjing itu sehat walafiat sebagaimana terbukti dari pemeriksaan contoh otak yang dilakukan di Balai Penyelidikan Penyakit Hewan, di Denpasar. Tetapi Bali nampaknya tidak akan benar-benar bebas anjing ras. Seperti kata ketua tim antirabies, Kosala Anom Mandala: "Anjing herder pelacak milik kepolisian, dan anjing ras milik pengusaha sirkus akan tetap diizinkan bermukim di Bali." Bali selalu menarik dalam mencegah rabies. Ini disebabkan populasi anjing yang menyebar di sana. Hampir tiap keluarga memelihara anjing kampung. Jenis anjing yang kerap juga disebutkan anjing geladak itu, kabarnya akan mendapat giliran setelah operasi anjing ras. Belum jelas bagaimana penanggulangannya. Tahun 1973 pernah dikeluarkan perintah tembak di tempat untuk anjing liar. Tetapi perburuan seperti itu kemudian dihentikan setelah sebuah peluru nyasar dan mengenai seorang pejalan kaki. Sedangkan pembunuhan terhadap anjing ras sekarang ini dilakukan dengan suntikan strychnine. Di luar Bali, terutama daerah yang endemis rabies, pencegahan penyakit berjalan santai. "Tak ada operasi penangkapan di lapangan," ujar Drh. Zainul Arifin, Kepala Dinas Peternakan Medan. "Wah, bagaimana mungkin kami berperang tanpa peluru," sambungnya pula. Zainal mengeluh tentang tidak adanya dana untuk pemberantasan rabies di Kota Medan. Bahkan untuk vaksinasi saja, Dinas Peternakan cuma bersikap menunggu. "Tiap tahun ada sekitar 3.000 ekor anjing yang dibawa pemilik untuk divaksinasi," ucapnya. Padahal kalau mau turun ke lapangan diperkirakan perlu dana sekitar Rp 50 juta hanya untuk pembeli vaksin buat sekitar 35 .000 ekor anjing yang terdapat di kota itu. Medan termasuk rawan rabies. Menurut catatan, tiap tahun sekitar 2.000 orang yang kena gigit anjing. Namun dari sekian banyak gigitan anjing hanya beberapa ratus yang menderita rabies. Tahun 1981 misalnya dari 144 yang menggigit ditemukan 121 yang positif rabies. Sedangkan menurut catatan terakhir antara April hingga Desember 1982 dari 108 anjing yang menggigit, 92 kena rabies. Sedangkan angka kematian cukup rendah. Sepanjang tahun 1982 misalnya, hanya tercatat satu orang. Angka ini jauh di bawah perkiraan Badan Kesehaun Dunia (WHO) yang menyebutkan hanya 10% yang bisa sembuh. Sedangkan Bogor kelihatannya bertindak cepat dalam menghadapi penyakit ini. Hanya beberapa hari setelah enam anak dari Jalan Panaragan Kidul di kota itu digigit anjing, Walikota Bogor, Achmad Sobana mengeluarkan surat keputusan unggal 22 Januari yang menyatakan sejak 18 Januari sampai 4 bulan kemudian Bogor dinyatakan terserang rabies. Ceritanya bermula dari anjing bernama Moli yang baru sebulan di keluarga Yanuardi Ramli tiba-tiba berubah perangai. Sudah tolol, dikasih makan juga tak mau. Galak dan suka menggigit. Tanggal 18 Januari anjing yang dibawa seorang pembantu dari Sukabumi itu, menggigit tangan Tantri, betis Mamat, tangan Nouvri dan Hery. Juga betis Indra dan Putri. Karena gelagatnya itu Moli langsung dikirim ke Institut Pertanian Bogor. Baru dua hari diobservasi anjing itu pun mati. Pemeriksaan terhadap otaknya membuktikan Moli terserang rabies. Untuk mencegah keenam anak itu ketularan rabies, Dinas Peternakan menganjurkan supaya mereka disuntik antirabies. Mereka lantas dibawa ke Dinas Kesehatan Kota Bogor. Tapi pengobatan gagal karena vaksin yang tersimpan di sana sudah kedaluwarsa. Akhirnya anak-anak berusia belasan tahun itu mendapat suntikan vaksin antirabies di Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular di Jalan Percetakan Negara, Jakarta. Kondisi keenam korban masih seperti sediakala. "Saya tidak pernah merasakan apa-apa sejak digigit, disuntik dan sampai sekarang ini," ujar Hery, korban yang duduk di kelas 2 SMA itu kepada Agus Basri dari TEMPO. Rabies dalam sepuluh tahun belakangan ini kelihatannya meningkat. Ini bisa terbaca dari produksi vaksin maupun serum yang membubung. Perum Bio Farma yang memproduksi kedua macam obat itu mencatat kenaikan 700% untuk serum dalam masa 10 tahun (5 liter menjadi 35 liter serum per tahun). Sekalipun tak setajam serum, vaksin juga tercatat meningkat produksinya. "Tapi kenaikan itu masih perlu diteliti apakah karena rabies yang bertambah atau kesadaran tentang pentingnya vaksinasi yang meningkat," ulas M.S. Nasution, Dirut Bio Farma. Keraguan Nasution itu berdasar juga. Terutama kalau dihubungkan dengan angka kunjungan penderita gigitan anjing gila yang masuk ke klinik rabies Bio Farma. Dari 2.373 tahun 1978 menjadi 2.700 tahun 1982. Tapi kenaikan yang tipis itu agaknya berhubungan dengan vaksin maupun serum yang tidak lagi terpusat di Bio Farma yang dulu bernama Lembaga Pasteur itu. Tapi sudah menyebar ke kota-kota lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus