Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sesudah Jerry Hoff Menang

Dharmala kalah, Hutama Karya menang, sudah bereskah pengadilan niaga?

19 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JERRY Hoff meninggalkan Jakarta lebih cepat dari jadwal semula. Pengacara spesialis kepailitan itu, pertengahan bulan lalu, kelihatan bergegas ketika bersiap pulang ke kampungnya di Amsterdam, Belanda. Hoff sesungguhnya masih diperlukan di Jakarta. Sebagai konsultan hukum, ia disewa International Monetary Fund (IMF) untuk membantu penyusunan UU Kepailitan yang diketuk DPR pada Agustus tahun lalu. Hoff tentulah diharapkan tinggal lebih lama untuk meneliti pelaksanaan undang-undang penting itu. Jadi, mengapa ia terburu-buru pulang? Ada yang menghubungkan kepulangan Hoff dengan sidang kepailitan Dharmala Agrifood, anak perusahaan Dharmala Group. Hoff memang sempat berganti peran setelah UU Kepailitan lahir. Ia bersama Kartini Mulyadi berpraktek sebagai pengacara International Finance Corporation (IFC), sayap bisnis Bank Dunia, yang kemudian menggugat Dharmala Agrifood (DA). Di pengadilan niaga, sejak tingkat pertama sampai Mahkamah Agung, IFC dikalahkan. Inilah rupanya yang membuat Hoff ngambek dan mudik ke Amsterdam. Tapi, awal April lalu, setelah Hoff berada di negerinya, IFC mengajukan bukti-bukti baru dan meminta peninjauan kembali (PK) atas putusan MA. Hasilnya: IFC menang dan DA dinyatakan pailit. Selasa pekan lalu, pailitnya DA dimuat di berbagai media massa Jakarta. Satu lagi yang diputuskan lewat PK di MA: dibatalkannya pailit Hutama Karya, sebuah badan usaha milik negara. Hoff gembira dengan kemenangan IFC itu? "Bagus, tapi saya tak punya komentar apa pun lagi. Saya sudah cukup banyak problem," katanya ketika dihubungi di Amsterdam, dengan nada masih kesal. Kepulangan Hoff memang menjadi bahan gunjingan di kalangan bisnis. "Ada smells of blood, bau anyir darah, di sini," kata seorang analis perusahaan sekuritas. Dow Jones Newswire, rujukan utama berita ekonomi dunia, juga menilai kepergian Hoff sebagai hal mengejutkan. Kabarnya, Hoff yang ditugasi melatih para hakim untuk melaksanakan UU Kepailitan itu ngambek lantaran praktek hukum kepailitan yang plinplan dan sangat memihak pengusaha yang mengemplang utang. Itu bertentangan dengan pikiran Hoff. Selama berada di Jakarta, pikiran Hoff itu sudah dituangkannya dalam sebuah buku berjudul Indonesian Bankruptcy Law. Menurut dia, buku itu adalah catatan komplet sejak RUU Kepailitan digodok sampai pelaksanaannya di lapangan. Dan pengalaman kalahnya IFC atas Dharmala rupanya sangat memukulnya. Kemenangan Dharmala dianggap kontroversial. Analis keuangan Jakarta kebanjiran pertanyaan dari seluruh dunia. Kreditur-kreditur asing menuduh pemerintah Indonesia sengaja membuat brengsek pengadilan niaga agar negosiasi penjadwalan utang lebih diutamakan ketimbang jalur hukum di pengadilan niaga. Padahal pengusaha Indonesia dalam bernegosiasi lebih suka "ngumpet di bawah kolong meja". Kalaupun bertemu kreditur, "Mereka tak pernah berterus terang, mana saja aset yang masih sehat dan mana yang sudah busuk," kata seorang analis asing. Itulah jawaban utama mengapa skema Indonesian Debt Restructuring Agent (Indra) berkesan jalan di tempat. Namun, jalur hukum kadang-kadang mandul. Ratusan kreditur dan investor mengeluhkan praktek pengadilan niaga yang tak semanis janji semula. "Transaksi derivatif yang menjadi makanan pokok dunia bisnis justru diharamkan," kata ekonom tadi menirukan keluhan seorang kreditur. Transaksi derivatif itu, antara lain, adalah perdagangan valuta asing. James Castle, Ketua Perwakilan American Chamber di Jakarta, yakin investor akan lari ke Singapura, Thailand, atau Malaysia kalau kepastian hukum di Indonesia tidak diperbaiki. IMF?yang tengah menjadi "ibu susu" ekonomi Indonesia?mendengar keluhan investor dan kreditur itu. Maret lalu, berdasarkan letter of intent, IMF mendesak di- bentuknya tim hakim ad hoc?dengan harapan tak gampang disuap. Dua pekan lalu, tim hakim inilah yang memutuskan pailitnya Dharmala Agrifood?sebuah gebrakan yang diacungi jempol oleh para analis di Jakarta. Sudah bereskah pengadilan niaga? Ada yang menganggap kasus Dharmala itu awal yang bagus. Tapi banyak yang pesimistis. Dari kubu pengutang, muncul keluhan bahwa hukum kepailitan kelewat kaku dan galak. Tenggang 30 hari untuk setiap tahapan, misalnya, dinilai terlalu singkat dan membuat para debitur kerepotan menyiapkan berkas-berkas utang. Tapi ada pendapat, singkatnya tenggang waktu justru menjadi poin unggulan pengadilan niaga, terutama bila dibandingkan dengan pengadilan perdata yang bisa berlangsung bertahun-tahun. "Kalau manajemen perusahaan itu punya iktikad baik, 30 hari sudah cukup," kata Lin Che Wei, Direktur Riset Regional Socgen Global Equities di Jakarta. Perusahaan yang "berlama-lama" menyiapkan berkas, menurut Lin Che Wei, bisa jadi menyimpan borok berupa aset jaminan yang bermasalah atau ada kolusi pengelolaan utang. Nah, kesanggupan pengadilan pailit membabat semua borok akan banyak mempengaruhi kepercayaan investor kepada Indonesia. Dan jika kepercayaan itu lenyap, entah berapa lama lagi kita berada di dalam krisis ekonomi yang parah ini. Mardiyah Chamim, Hendriko L. Wiremmer, N. Bintari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus