Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah bank meninggalkan kpr

Bunga kpr naik. tidak ada kemudahan dan kemurahan. banyak bank yang meninggalkan kpr. misalnya bank bdni dan bank summa. btn ditugasi melayani kpr murah untuk tipe 21 ke bawah. juga pt papan sejahtera.

1 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KREDIT konsumsi, yang sebelum ini diobral oleh para bankir, kini tak perlu dituding sebagai penyebab inflasi. Selama tiga bulan belakangan, kalangan perbankan mulai mengerem menjajakan kredit. Bagaimana tidak? Sejak Pemerintah mengetatkan likuiditas, rupiah sulit didapat. Nah, kalau sudah begitu, bank tak lagi bisa mengobral rupiah. Termasuk kredit pemilikan rumah alias KPR. Buktinya, tengok saja suku bunga KPR yang ditawarkan para bank swasta, yang saat ini berkisar antara 26% dan 29%. Ini berarti, hanya dalam waktu kurang dari satu tahun, bunga KPR melonjak 10% lebih. Padahal, ketika panen rupiah atau bank mengalami over likuiditas, bunga untuk memiliki rumah hanya 16%. Atau, paling tinggi 19%. Itu pun nasabah masih diiming-imingi berbagai kemudahan. Kepastian ditolak atau diterimanya permohonan KPR cukup ditentukan dalam waktu 30 menit. Selain itu, ada hadiah mobil, set dapur, atau kartu kredit cuma-cuma. Kini, seiring dengan penarikan kredit likuiditas oleh Bank Indonesia, kemudahan dan kemurahan itu tinggal kenangan. Banyak bank kini bukan sekadar mengatrol suku bunga. Pemilihan nasabah pun dilakukan lebih selektif. "Kami benar-benar menghemat rupiah," kata seorang pimpinan bank yang sebelumnya gencar menjual KPR. Bahkan tak sedikit bank yang mengambil langkah ekstrahemat. Maksudnya, mereka benar-benar meninggalkan KPR sebagai lahan menanam rupiah. BDNI contohnya. Setelah mencoba bertahan, dengan memasang bunga 29%, kini BDNI menyerah dan meninggalkan KPR. "Kami harus hati-hati menyalurkan dana, yang semakin hari makin sulit dicari," kata seorang manajernya. Langkah serupa diambil Bank Danamon, yang sebelumnya gencar memburu nasabah KPR di atas Rp 75 juta. Mengekor di belakangnya adalah Bank Summa, yang menyetop program KPR. Padahal, dia baru saja menyebar brosur promosinya. "Terpaksa kami hentikan karena Pemerintah tiba-tiba bikin rupiah ketat," kata Aninda Sardjana, Direktur Bank Summa. Akan halnya Bank Internasional Indonesia (BII), yang enam bulan lalu memperkenalkan KPR 90 Plus, ia melangkah seperti Danamon. Lembaga keuangan milik konglomerat Eka Tjipta Widjaya ini kini justru mulai menengok KPR kelas bawah (di bawah tipe 70). Alasannya, BII harus mengejar penyaluran kredit usaha kecil (KUK) 20% dari total kredit, seperti anjuran Pemerintah. Namun, tanpa alasan itu pun, dengan bunga 28%, sebenarnya peminat KPR telah turun dengan sendirinya. Tiga bulan lalu, misalnya, kredit rumah yang disalurkan BII masih bisa mencapai Rp 10 milyar sebulan. Kini angka itu jatuh tinggal Rp 2 milyar saja. Padahal, kendati bunganya tinggi, "Kami hanya mengambil keuntungan tak lebih dari 1,5%," kata Hidajat Tjandradjaja, Direktur Kredit BII, terus terang. Nah, kalau bank-bank swasta enggan melayani KPR, siapa yang harus tampil? Padahal, sepanjang Pelita V ini, Pemerintah punya rencana membangun 700 ribu unit rumah. Tentunya, yang harus turun tangan, ya bank pemerintah sendiri. Bank Tabungan Negara (BTN) yang ditugasi melayani KPR itu. BTN tetap memberikan KPR murah (tipe 21 ke bawah) dengan bunga 12%. Untuk ini, 50% biayanya ditanggung Pemerintah melalui kredit likuiditas, dan penyertaan modal. Untuk konsumen menengah ke atas (di atas tipe 21), BTN berani menawarkan bunga 19%-20% setahun. BTN bisa demikian, kata dirutnya, Mahfud Jakile, karena banknya tak semata mengandalkan giro, deposito, dan tabungan. Selain kredit likuiditas dan penyertaan modal pemerintah, BTN juga menampung penyaluran dana dari bank-bank pemerintah lainnya. BDN dan Bank BNI, contohnya. Mereka masing-masing "menitipkan" dananya Rp 100 milyar kepada BTN untuk KUK. Dengan demikian, BDN dan BNI bisa mencapai target 20% KUK, sekaligus membantu BTN lebih lincah bergerak. Lihat saja buktinya. Sejak dua pekan lalu, BTN berani menurunkan uang muka KPR dari 20% menjadi 10%. "Dengan perubahan ini, masyarakat bisa lebih cepat memiliki rumah," kata Jakile. KPR yang disalurkan BTN kini tak kurang dari Rp 2,8 trilyun sejak 1976, dengan 650 ribu nasabah. Untuk 1990 saja, Jakile mematok target Rp 409 milyar dengan membangun sekitar 70 ribu rumah. Yang juga diserbu calon nasabah adalah PT Papan Sejahtera yang menawarkan bunga 20%-21%. Menurut Jugia Wahab, Presdir PT Papan Sejahtera, calon nasabah yang datang ke kantornya rata-rata 800 orang sebulannya. Padahal, biasanya cuma berkisar antara 250 dan 300 peminat. Di saat-saat seperti ini, "Banyak nasabah yang tadinya dari bank lari kepada kami," kata Jugia. Agaknya, PT Papan Sejahtera memang kewalahan. Ia terpaksa menangguhkan sampai anggaran tahun depan. Tahun ini KPR yang dijatahkan cuma Rp 78 milyar untuk sekitar 5.000 nasabah. Memang, masih ada "sedikit' sisa. Namun, kata Jugia, itu dipakai untuk cabang-cabang di Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, dan Palembang. PT Papan memang tak punya sumber duit berupa tabungan atau dana giro seperti BTN. Mengapa bisa memberi bunga rendah? "Kami mengandalkan kredit likuiditas dan penjualan obligasi," kata Jugia. Hingga Oktober lalu, misalnya, Papan sudah memanfaatkan dana obligasi Rp 140 milyar. Sedangkan kredit likuiditas BI-nya tak kurang dari Rp 124 milyar. Yang justru ngos-ngosan, menurut tiga tokoh real estate di Jakarta, adalah para developer, si pembangun rumah. Kecuali konsumen merosot, mereka juga terpukul oleh melambungnya harga bahan bangunan sejak beberapa bulan lalu. "Kalau hingga pertengahan tahun depan masih belum kendur juga, maksudnya ya pengetatan rupiah, ya harga bahan bangunan, berantakan deh kita," komentar Amir Karamoy, direktur eksekutif REI. Budi Kusumah, Ardian T. Gesury, G. Sugrahety D.K., Bambang Aji, Moebanoe Moera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus