Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Geliat perusahaan tekstil di Indonesia sedang menghadapi masalah serius. PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, misalnya, sedang berada di ujung tanduk karena telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang pada Senin, 21 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah Sritex itu kini menghantui perusahaan tekstil yang bermarkas di Cicalengka, Bandung, PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT). Sebanyak dua perusahaan dan satu individu secara bersama-sama menggugat emiten tekstil milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu soal Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiga penggugat itu meliputi PT Hengsheng Plastic International dengan nomor perkara 326/Pdt.Sus-PKPU/2024/PN Niaga Jkt.Pst, Lukman Dalton dengan nomor perkara 327/Pdt.Sus-PKPU/2024/PN Niaga Jkt.Pst, dan PT Putratama Satya Bhakti dengan nomor perkara 328/Pdt.Sus-PKPU/2024/PN Niaga Jkt.Pst.
BUMN melalui PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) memiliki saham sebesar 13,996 persen atau setara 665.250.000 lembar saham. PT INTI bergerak di bidang produksi peralatan telekomunikasi.
Pada 18 September 2024, Bursa Efek Indonesia (BEI) juga telah menghentikan perdagangan efek PT SBAT. BEI berasalan PT SBAT tak memenuhi kewajiban perusahaan dan tak ada kepastian usaha perseroan. “Adanya ketidakpastian atas kelangsungan usaha Perseroan, maka Bursa memutuskan untuk melakukan penghentian sementara perdagangan Efek PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT) di Seluruh Pasar,” kata BEI dalam keterbukaan informasi.
Sebelum itu, Direktur PT SBAT Jefri Zal juga telah mengundurkan diri di tengah persoalan perusahaan. Ia mundur pada 9 September 2024. BEI juga pernah mencatatkan enam notasi khusus ke saham SBAT yang meliputi notasi M untuk moratorium pembayaran utang, L terlambat mengirimkan laporan keuangan, S tidak ada penjualan, Y tidak melaksanakan RUPS dalam enam bulan terakhir, dan X karena SBAT masuk pemantauan khusus.
Pengamat pasar modal sekaligus founder WH Project, William Hartanto mengatakan kinerja buruk emiten tekstil tidak hanya karena sentimen negatif pailitnya Sritex. Ia menilai belakangan saham-saham di industri tersebut memang kurang diminati publik. “Kebanyakan sahamnya memiliki likuiditas yang minim sehingga tidak menarik perhatian,” kata William saat dihubungi pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Salah satu saham yang ia soroti adalah PT Sepatu Bata Tbk (BATA) yang bergerak di industri alas kaki dan pakaian mencatat banyak kerugian selama setahun berjalan. Berdasarkan laporan keuangan terbarunya, BATA mencatatkan rugi bersih Rp 126,86 miliar selama semester pertama 2024. Rugi ini membengkak 293,71 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 32,34 miliar. “Bata termasuk yang buruk kondisinya kalau melihat kerugiannya sampai sekarang,” ujarnya.
Di sisi lain, ia melihat kinerja PT Inocycle Technology Group Tbk (INOV) jadi salah satu emiten tekstil yang membaik pada kuartal ketiga 2024. Ia mengatakan bisa merekomendasikan INOV dengan target harga Rp130.
Sementara itu, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, melabeli semua emiten tekstil dengan kategori not rated atau tidak direkomendasikan. Pasalnya, ia menilai emiten-emiten itu tidak likuid. Salah satu emiten yang ia soroti adalah PT Indo-Rama Synthetics Tbk. (INDR yang turun 10,57 persen dalam sebulan ke posisi Rp3.130. “INDR downtrend. Secara market cap masih lebih besar SRIL dibandingkan INDR,” kata Nafan.
Hammam Izzudin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.