SUKSES sidang ke-33 IGGI, Rabu pekan lalu di Den Haag, Negeri Belanda, membuat delegasi Indonesia tak kuasa menahan rasa gembiranya. Bisa dimengerti. Seluruh permintaan pinjaman untuk membiayai lebih dari 40 proyek pembangunan di Indonesia, yang berjumlah US$ 4,5 milyar, ternyata terlampaui. (Lihat boks: Dana IGGI Lari ke Mana). Sidang dibuka Ketua IGGI Jan Pronk, dengan melontarkan berbagai pujian atas beleid ekonomi Indonesia. Dan Pronk, tokoh dari Partij van den Arbeid (Partai Buruh), beranggapan bahwa pemerintah Soeharto telah berhasil melepaskan diri dari lilitan resesi yang terjadi pada awal 1980-an. Dia juga mengakui bahwa sistem perpajakan baru yang diterapkan sejak 1984 telah mengubah ketergantungan pendapatan pemerintah dari migas. Terutama beleid deregulasi, yang mulai melejit sejak adanya tindakan devaluasi rupiah 12 September 1986, ternyata bisa mendongkrak ekspor nonmigas dan investasi swasta. Sering terjadi, suatu tindakan deregulasi -- yang membuka kesempatan lebih besar kepada kaum swasta dan mekanisme pasar -- menimbulkan persaingan yang semakin menekan orang kecil. Tapi era deregulasi di Indonesia, kata Pronk, malah telah menurunkan orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dari 22% pada 1984 tinggal 17% pada 1987, atau dari 35 juta menjadi 30 juta orang. Seraya memuji program Repelita V, Ketua IGGI itu kembali wanti-wanti, "Janganlah menambah proyek-proyek yang justru akan meningkatkan ketidakadilan." Pronk merasa yakin prospek ekonomi Indonesia akan semakin cerah, asalkan Pemerintah terus menjalankan beleid ekonomi makro yang tangkas. "Iklim investasi di Indonesia saat ini jauh lebih menarik ketimbang di Eropa Timur," katanya. Namun, wakil dari Unicef beranggapan adalah penting untuk melihat berapa besar orang miskin yang akan menghuni Indonesia 10 tahun lagi. "Pada akhir abad ini, jika 20% saja dari penduduk Indonesia masih miskin, itu berarti akan lebih dari 40 juta jiwa. Karena itu, penting dijamin bahwa program-program yang akan dilaksanakan lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat termiskin," begitu pernyataan Unicef. Mengakui betapa masih banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia, Menteri-Ketua Bappenas Saleh Afiff bicara panjang dengan TEMPO, tentang upaya Pemerintah untuk memerangi kemiskinan. Yaitu dengan terus melaksanakan program istimewa di bidang pembangunan prasarana dasar dan pelayanan, serta pengembangan sumber daya manusia dalam bentuk proyek-proyek Inpres. Yang agaknya masih juga dipertanyakan sementara orang di luaran adalah, mengapa Pemerintah terus berutang lebih banyak dari luar negeri, sementara utang sudah begitu besar. "Lo, kita pinjam untuk investasi, bukan untuk tujuan yang konsumtif. Jangan melihat berapa banyak yang kita pinjam, tapi harap dilihat untuk apa saja pinjaman itu digunakan. Bahwa IGGI mau memberikan pinjaman US$ 4,5 milyar lebih, ini justru untung buat kita. Syaratnya lunak. Disiplin kita meminjam sangat ketat kendati kebutuhan kita banyak," ujar Saleh Afiff. Pinjaman luar negeri ini, menurut Saleh Afiff, tidak akan membebani generasi mendatang. "Kalau anak-cucu kita bebani dengan DSR 80%, itu baru masalah," katanya. Nah, menurut Attila Sonmez, Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia yang kini bertugas di Beijing, "Dengan pertumbuhan ekonomi yang tahun ini sekitar 7% Indonesia justru membutuhkan suntikan dana dari luar negeri yang makin besar." Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini