"MEMBELI dengan harga paling rendah, dan menjual dengan harga paling tinggi, itulah pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh siapa pun, kecuali penipu." Kata-kata mutiara ini tentu tidak bergema digedung DPR, tapi intisarinya mencuat di sana, ketika berlangsung acara dengar pendapa di antara anggota Komisi II DPR RI dan Ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN), Soni Harsono, pekan silam. Dalam kesempatan itu, sejumlah pertanyaan telah dilontarkan oleh para wakil rakyat, dalam nada yang lugas dan penuh selidik. Dua Srikandi dari komisi ini ganti-berganti mempertanyakan arti istilah "kepentingan umum", yang tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang mengatur soal tanah. Roekmini dari Fraksi ABRI menilai, istilah itu sering disalahgunakan oleh orang-orang yang bernafsu mencari keuntungan. Akibatnya, masyarakat pemilik tanah tidak jarang menjadi pihak yang dirugikan. Roekmini mengajukan supermarket sebagai contoh. Katanya, pasar mini bergaya modern ini memang sengaja didirikan untuk kepentingan orang banyak. Tapi apa yang dimaksud kepentingan umum, kalau nyatanya, "Karena supermarket pasar tradisional menjadi mati?" begitulah Roekmini menggebrak. Anggota DPR yang terkenal vokal itu lalu mengusulkan agar peraturan dan UU yang menyangkut tanah ditinjau kembali. Rekannya, Ny. Aisyah Aminy dari Fraksi PPP, menyarankan supaya Permendagri itu dijelaskan lebih rinci. Wanita yang tak pernah melepas kerudungnya itu bahkan secara lebih tajam mempertanyakan keikutsertaan BPN dalam menetapkan harga jual tanah yang dibebaskan. Sampai di sini secara tidak langsung ia seakan meragukan keteguhan BPN dalam menjalankan fungsinya sebagai "wasit" untuk setiap kasus tanah. Mengapa? Dalam banyak kasus -- terutama kini tatkala harga tanah meroket -- tidak sedikit calo tanah terlibat. Dan mereka didukung oleh developer, bahkan oleh oknum aparat pemerintah. Contoh yang paling hangat adalah otorita Kemayoran, yang punya hajat memindahkan lokasi Pekan Raya Jakarta ke daerah bekas pelabuhan udara itu. Menurut Aisyah, harga tanah Rp 75 ribu per meter persegi yang dipatok pihak otorita di Kemayoran itu terlalu murah. Sementara itu, harga pasaran tanah di sana telah mencapai Rp 150 ribu per meter. "Harga yang ditetapkan itu sungguh tidak wajar. Apalagi kelak, yang akan mengelola Jakarta Fair itu pihak swasta," katanya. Bagaimana tanggapan Ketua BPN Soni Harsono? "Saya kira, UU Agraria tak perlu ditinjau kembali," katanya. Pada pendapat Soni, semuanya sudah jelas. Dalam soal ganti rugi, misalnya. Permendagri Nomor 15/1975 sudah dengan tegas menyebutkan bahwa selain nilai tanah ditentukan berdasarkan harga pasar, semua itu harus dilakukan berdasarkan musyawarah antara Panitia Pembebasan Tanah -- terdiri dari delapan unsur pemerintah -- dan pemegang hak tanah yang bersangkutan. "Pokoknya, dalam proses pembebasan tanah, harus diperhatikan kepentingan rakyat," ujarnya. Bahwa belakangan ini rakyat sebagai pemilik tanah acap dirugikan, nah, itu bukanlah salah peraturannya. "Itu karena orang-orangnya," tutur Soni. Ia lalu menunjuk aparat pemerintah -- seperti camat dan lurah -- yang berkedok sebagai wakil rakyat. Padahal, dalam prakteknya, mereka justru bertindak sebagai calo. Sejauh yang menyangkut makna "kepentingan umum" Soni hanya mengatakan bahwa istilah itu tidak bisa diinterpretasikan sebagai sesuatu yang komersial. Kalau penafsirannya selalu melenceng, "Ya, kembali ke masalah orangnya," begitu Soni menangkis. Menangkis pertanyaan di DPR adalah satu hal, tapi menyimak keterlibatan beberapa aparat pemerintah dalam sejumlah kasus tanah adalah hal yang lain lagi Contoh pertama, sebuah kasus tanah di Kuningan, Jakarta Selatan -- kini termasuk kawasan Segi Tiga Emas yang harga tanahnya sampai Rp 3 juta per meter persegi dan ditangani Ketua Umum Lembaga Bantuan & Penyuluhan Hukum Gakari Budi Kelana Sosrosubroto. Syahdan, pada 1979, Benyamin Kartawidjaja, pemilik tanah seluas 65 ribu meter lebih di kampung Kuningan, menggugal Pemda DKI melalui Pengadilan Neger Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Pasalnya, sudah bertahun-tahun permohonan sertifikat tanahnya tidak "digubris". Gugatan itu dikabulkan. Pengadilan menyatakan bahwa dia memang pemilik sal atas tanah tersebut. Dalam keputusan itu hakim sekaligus memerintahkan Pemda DKI agar segera mendaftar tanah Benyamin. Gubernur DKI, ketika itu Tjokropranolo, langsung memerintahkan bawahannya supaya segera melaksanakan putusan pengadilan. Maka, Benyamin pada 1980 berhasil mengantungi sertifikat yang diidam-idamkannya. aru dua tahun lewat, surat yang seharusnya berlaku untuk masa 20 tahun itu mendadak dibatalkan Mendagri melalui Dirjen Agraria. Alasannya, untuk "kepentingan umum". Entah apa maksudnya. "Pokoknya, alasan yang dikemukakan sama sekali tidak bisa diterima secara yuridis," kata Budi Kelana. Merasa haknya diserobot, Benyamin kembali menggugat. Tapi ketika gugatannya masih dalam proses "Tanah itu telah dibagi-bagi macam pisang goreng," kata Budi. Kini Benyamin hanya mampu mengurut dada, kalau ia melintas di kawasan Kuningan. Kini, di atas tanahnya itu telah berdiri beberapa gedung jangkung milik Departemen Kesehatan, Pertamina, dan kantor PT Town City Properties. Tanpa ia mendapat ganti rugi sepeser pun. Yang lebih mengherankan, ketika Benyamin melakukan gugatan langsung ke Mahkamah Agung, kasusnya hanya mendapat penilaian: ditinjau kembali. "Padahal, normalnya, tidak ada kekuatan apa pun yang bisa mematahkan keputusan pengadilan sebelumnya," ujar Budi, Maka, Benyamin bertekad untuk terus menggugat. Tapi, sebelum ia dapat berbuat apa-apa, beberapa calo tanah belakangan ini rajin sekali berkunjung ke rumahnya. Mereka bukan mau membeli tanah, melainkan tanpa malu-malu ingin meminjam sertifikat tanah yang dinyatakan tidak sahih oleh Mendagri itu. Sertifikat ini akan diajukan sebagai agunan ke bank. Masya Allah. Kasus kedua -- tidak terlalu parah -- dialami oleh Kolonel (Purn.) Bintoro. Ia kini sedang mengajukan gugatan atas tanahnya yang telah dibebaskan oleh pemerintah. Begini ceritanya. Pada 1974, Bintoro mendapat pemberitahuan bahwa tanah miliknya yang terletak di kawasan Kuningan dan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, termasuk dalam proyek negara. Tak bisa lain, demi proyek yang bernama Menara Jakarta, Bintoro melpaskan tanahnya seluas 2.900 meter persegi, dengan ganti rugi Rp 60 juta. Ternyata, sesudah 16 tahun, proyek itu belum juga berdiri. Bukan mustahil, proyek itu fiktif belaka -- semata-mata dijadikan dalih untuk merenggut tanah milik Bintoro. Bahkan Bintoro mendengar, tanahnya kini jatuh pada seorang pengusaha, bekas pejabat pemerintah. Nah, karena tidak sesuai dengan perjanjian semula, ia kini menempuh jalur hukum. "Saya merasa ditipu. Dan saya siap untuk mengembalikan uang pembebasan yang saya terima," katanya getir. Tidak kurang pahitnya adalah penipuan yang dialami oleh ahli waris almarhum H.M. Tohir. Hatta, tuan tanah Betawi ini memiliki tanah 132 hektare. Juga di kawasan Kuningan. Sayang, pada 1974, tanah miliknya terkena UU No. 1/1958, yang isinya mengenai land reform. Dan para ahli waris harus puas dengan penggantian seluas 16 hektare. Keputusan itu tertuang dalam sehuah SK Mendagri. Tapi, apa yang terjadi? Pada 1985 muncul nama-nama baru sebagai pemilik tanah waris H.M. Tohir. Ini pun berdasarkan SK Mendagri. Misalnya saja, ada nama Haji Mani cs. (17 orang) sebagai ahli waris Maora, yang dinyatakan sebagai pemilik tanah seluas 24.375 meter persegi. Di samping itu, ada pula Wijlen Taoran, yang berhak atas 5.369 meter persegi. Bagaimana perihal ahli waris Haji Tohir? Sungguh mengenaskan. SK itu menyabutkan bahwa Haji Djabun cs. -- ahli waris Tohir yang jumlahnya 19 orang -- hanya berhak atas tanah sehlas 256 meter persegi. Tidak jelas benar, apa yang melandasi turunnya SK tahun 1985 itu Runyamnya lagi, baik Djahun Maora, maupun Wijlen tidak tahu persis di mana lokasi tanah mereka. "Padahal, di daerah itu sekarang sudah berdiri kompleks perumahan menteri juga Departemen Kehakiman," kata Denny Kailimang, pengacara yang menjadi konsultan hukum Haji Djabun. Kasus pembatalan sertifikat juga pernah dialami oleh Haji Madjit. Tanahnya seluas 9.970 meter persegi dan bersertifikat tahun 1983, yang kemudian dibatalkan karena tanahnya sudah dikuasai oleh Ny. Lenawati Setadi. Nyonya ini pun punya sertifikat yang sah. Entah bagaimana prosesnya, sampai kesemrawutan itu bisa terjadi. Denny menunjuk pihak Agrarialah yang paling pantas bertanggung jawab atas "musibah" itu. Soalnya, "Block plan bisa dengan mudah diubah, asal bisa menyuap oknum-oknum pemerintah," katanya yakin. Hingga kini belum ada tanda-tanda, kasus tanah yang terjadi dengan mengatasnamakan "kepentingan umum", tapi merugikan pemilik yang sah, bisa dikurangi. Banyak developer -- asli atau cuma sekadar calo -- yang semakin agresif mencari sasaran. Namun, orang pun belajar dari pegalaman. Malah kini, tidak sedikit masyarakat yang pandai mengatur strategi, agar tidak ditipu calo ataupun developer. Contohnya, warga Jalan Taman Bendungan Asahan -- terletak di salah satu pojok Jembatan Semanggi, Jakarta, yang dihuni 600 keluarga. Januari lalu Ny. Soewignyo, selaku Ketua RT, datang ke kantor wali kota, untuk memenuhi panggilan. Di sana dia, dan beberapa warga, mendapat penjelasan bahwa daerah yang ditinggalinya -- seluas 13,5 ha -- terkena proyek peremajaan kota. Usai pertemuan itu, warga pun berembuk dan membentuk tim. Dan mereka sepakat untuk menghargakan tanah mereka Rp 3,5 juta per m2. Ny Soewignyo dkk. juga menuntut agar bangunan mereka dibayar Rp 250 ribu per m2, plus penggantian bagi yang memiliki telepon sejumlah Rp 10 juta. Semua persyaratan itu sungguh di luar dugaan. PT Wahana Sari Karya, yang berminat pada tanah di sana, hanya berani menawar Rp 2 juta per meter. Itu pun melalui bisik-bisik, dan hanya kepada beberapa warga. "Ada kesan Wahana mengulur-ulur waktu. Tapi kami akan tetap bertahan, sebab kawasan ini sangat strategis," kata Ny. Soewignyo. Buat wanita ini, masalahnya jadi lebih gampang karena pihak developer mengajukan penawaran. Lain halnya PT Guntur Kartika, yang berniat memborong tanah di Kelurahan Pejompongan, Tanah Abang. Menurut seorang tokoh masyarakat, di sana, ketika timnya mengajukan penawaran Rp 3 juta per meter persegi, pihak developer tidak menjawab sama sekali. Hanafi, wakil dari PT Guntur, hanya mau melayani tawaran orang per orang. Padahal, sudah disepakati bahwa penawaran harus dilakukan secara masal. "Akhirnya kami memutuskan, kalau PT Guntur mengajak berembuk lagi, akan kami tolak. Toh bukan hanya dia investor yang punya minat," kata tokoh itu, yang bertekad untuk tidak tertipu. Budi Kusumah, Muchlis H.J., Bambang Aji, dan Sri Pudyastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini