HAL yang dikhawatirkan itu segera menjadi kenyataan. Dan tampaknya, Visit Indonesia Year 91 akan berantakan. Semua itu gara-gara Perang Teluk. Jangankan penerbangan ke Indonesia, tapi juga ke Hawaii dan Eropa -- dari Amerika Serikat -- mengalami penurunan drastis. Keterangan Menparpostel Soesilo Soedarman, Kamis pekan lalu, memperkuat hal ini. Diakuinya, sejak perang meletus, tidak satu pun maskapai penerbangan AS masuk ke Indonesia. Namun, pembatalan ini tidak cuma dilakukan oleh wisman (wisatawan mancanegara) dari AS. Rina, seorang petugas biro perjalanan Natrabu, Jakarta, menyatakan bahwa turis dari Jerman berbuat serupa. Sementara itu, turis Indonesia juga batal bepergian ke luar negeri. Bisnis jadi begitu sepi hingga meja kerja Rina kelihatan tetap rapi, dan dering telepon hanya terdengar sekali-sekali. Belahan bumi Selatan, yang boleh dikatakan jauh dari ancaman perang, ternyata ikut cemas. Tujuh orang wisatawan asal Australia, misalnya, tergopoh-gopoh mendatangi kantor Satriavi Tour and Travel Cabang Yogya. Mereka mendesak agar dipulangkan ke Sydney dengan segera karena ada informasi dari keluarga mereka di Australia yang mengatakan bahwa perang telah berkecamuk sejak 16 Januari silam. Wisman Australia itu panik. "Kami terpaksa melakukan penjadwalan ulang menyangkut akomodasi dan penerbangan mereka," kata Branch Manager Satriavi Tri Munaryo kepada R. Fadjri dari TEMPO. Akhirnya, tujuh orang yang merupakan sempalan dari rombongan 17 orang Australia itu pulang ke Sydney, melalui Denpasar, Bali. Itulah satu contoh dari awal yang suram. Memang Menparpostel Soesilo Soedarman menyatakan keyakinannya bahwa jumlah wisman tetap di atas target (15%), tetapi kelesuan pariwisata terlihat di mana-mana. Sungguh ironis. Ketika kampanye Visit Indonesia Year dikibarkan, industri pariwisata malah sibuk menghitung tamu yang membatalkan kunjungannya. Bali, yang biasanya dijejali turis itu, kini tampak lengang. Di kawasan olahraga air, di Tanjung Benoa, Bali, duduk tercenung sang pengelola, Wiryananda. Ia tampak masygul. Sebelum Perang Teluk pecah, Wiryananda setiap hari melayani sekitar 200 wisatawan yang menyewa peralatan olahraga air itu. "Tapi sejak dua minggu ini, wisatawan yang datang cuma 75 orang," katanya. Maka, rencana penambahan peralatan untuk menyambut Visit Indonesia l991 dibatalkannya. Selain itu, Wiryananda juga mencemaskan harga minyak. Kalau harga BBM naik, "Matilah kami," keluhnya. Wisatawan Jepang, yang semestinya tak perlu cemas, juga banyak membatalkan tur mereka. Pemerintah Jepang telah mengimbau warganya agar menahan diri dan tidak mengumbar yen ke kawasan wisata, setelah negeri itu resmi ikut membiayai pasukan Sekutu. Bahkan beberapa koran Jepang menulis begini. "Mengapa banyak orang Jepang pergi melancong berhura-hura, sementara para serdadu tengah bertempur kepayahan di Teluk Persia." Imbauan keprihatinan itu dikemukakan oleh Vice President & Regional Manager JAL, Reizo Aoyagi. "Rupanya, tulisan tersebut punya dampak psikologis terhadap warga kami yang hendak melancong," katanya lagi. Jumlah total pembatalan memang belum bisa disebutkan sekarang. Namun, dari beberapa hotel, angka penurunan sudah bisa dilihat. Ini bisa diketahui dari keterangan Public & Guest Relation Manager Bali Dynasty Hotel, Violetta Simatupang, yang disampaikan kepada Silawati dari TEMPO. Dikatakannya, target tingkat hunian tahun ini bakal tidak terpenuhi. "Tingkat hunian sekarang hanya 30%," tuturnya. Kenyataan ini telah pula menimpa pula hotel berbintang lainnya, yang rata-rata memasang target tingkat hunian 80%. Maka, seperti kata seorang manajer hotel berbintang di kawasan Kuta, tidak mustahil akan terjadi perang tarif. "Bahkan sekarang pun tarif sudah diobral sampai setengahnya, dan tamu pun sudah berani menawar," kata manajer yang enggan disebutkan namanya itu. Kembali ke Yogya, kita dapat menemui lagi Manajer Satriavi Tri Munaryo. Rabu pekan silam ia mengatakan, "Baru saja saya menerima teleks pembatalan dari sebuah grup wisatawan Jepang, yang terdiri dari 21 orang. Alasan pembatalan mereka ya itu tadi, Perang Teluk." Kalau krisis tersebut tidak segera reda, Munaryo khawatir, "Bisa-bisa kami lebih banyak menganggur. Sebab, 70% turis asing yang kami handle berasal dari Eropa dan Amerika." Tanda-tandanya sudah bisa dilihat dalam angka. Tingkat hunian Ambarrukmo Palace Hotel (APH), misalnya. Sampai akhir Januari ini, dari 257 kamarnya hanya terisi 60,45%. "Padahal, dalam situasi normal, bisa mencapai 80%," kata Staf Marketing APH Harris Priatna. Kalau mau realistis, impian panen devisa -- yang diharapkan bisa disedot dari wisman -- tahun ini sebaiknya dibekukan. "Kami sudah menyusun begitu rapi jadwal-jadwal perjalanan dengan pelbagai atraksi wisata. Kami begitu optimistis bakal panen tahun ini. Ternyata, yang akan kami alami adalah sebaliknya," kata Yenny Tanzil, kecewa. Yenny adalah salah seorang manajer Biro Perjalanan PT Orient Express Surabaya. Ketika ditemui wartawan TEMPO Jalil Hakim Kamis pekan silam, Yenni mengatakan, perusahaan tempatnya bekerja baru saja menerima pembatalan sejumlah grup turis dari Belanda, Jerman, dan Prancis. Yang batal itu tiga grup besar dan masing-masing terdiri dari 20 orang. "Mereka baru akan datang Maret nanti, kalau perang sudah selesai." Kalau begitu, mungkin masih ada harapan bahwa Tahun Kunjungan Indonesia tetap bisa diandalkan, demi menambah pendapatan dalam negeri. Harapan itu memang rapuh karena ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa di Teluk. Sekalipun demikian, Menparpostel tidak patah semangat. Pak Soesilo malah akan menggiatkan kampanye di kawasan Asia Pasifik. Di Jepang, misalnya, menurut Aoyagi-san dari JAL, kampanye itu tidak segencar ketika India mengadakan acara serupa tiga tahun lampau. Begitu pula di AS, seperti yang dipantau oleh sumber TEMPO di sana. Sialnya, ada perang lagi. MC, Sri Indrayati, dan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini