BANJIR mi akan melanda Jakarta. Paling tidak, selama lima hari, 2-6 Februari, masyarakat Ibu Kota akan diberi suguhan istimewa berupa Noodle Festival Indonesia '91 di Balai Sidang Senayan. Inilah festival mi pertama di Indonesia dan biayanya cukup besar (sekitar Rp 300 juta). Tampaknya, pihak panitia (kerja sama antara PT Inter Goetomo Mandiri dan majalah Kartini) yakin, festival dengan acara komplet itu -- dari peragaan memasak aneka mi sampai konsultasi gizi mi -- akan cukup menyedot perhatian kendati orang juga sibuk menyimak berita Perang Teluk. Di arena festival, kabarnya, para pengunjung akan dipuaskan oleh rupa-rupa cita rasa mi, dari yang tradisional, mi ringkas alias instant, sampai aneka pasta kreasi koki Hyatt Aryaduta. Di sektor industri makanan, sejak satu dasawarsa silam, mi instant secara pasti semakin unggul. Terakhir, total produksi mi instant Indonesia mencapai 1,7 milyar bungkus per tahun. Menurut hasil survei Asosiasi Industri Mi Instant Jepang -- seperti diberitakan Asahi Shimbun akhir 1990 -- dengan kapasitas produksi sebanyak itu, Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia. Peringkat pertama adalah Jepang (4,6 milyar bungkus per tahun), lalu Korea Selatan (3,8 milyar bungkus per tahun). RRC, sebagai negeri asal mi tradisional, kapasitas produksi mi instant-nya masih 1,4 milyar bungkus per tahun. Berdasarkan catatan PT Sanmaru Food Manufacturing (produsen Indo Mie, Sari Mie, dan Super Mie), permintaan mi instant di dalam negeri sekarang ini 100 juta bungkus tiap bulan atau rata-rata 1,2 milyar bungkus per tahun. Dari jumlah itu, andil Sanmaru Food 70 juta bungkus -- yang 40% didominasi Indo Mie, selebihnya Super Mie dan Sari Mie. Kalau harganya rata-rata per bungkus Rp 250, omset Sanmaru Food di dalam negeri saja per bulan paling tidak Rp 1,75 milyar. Dalam pada itu, pasar ekspor sudah menyerap sekitar 500 juta bungkus per tahun. Pihak Sanmaru Food, yang berhasil menembus pasar di Singapura, Hong Kong, Taiwan, Inggris, Jerman, Australia, Arab Saudi, sampai Amerika Serikat dan Zaire, otomatis menguasai pasar ekspor mi Indonesia itu. Memang, Manajer Pemasaran Sanmaru Food Boediyanto sungkan menyebutkan angkanya. Ada kekhawatiran, seperti diakui Boediyanto sendiri, investor asing akan berebut masuk ke sini begitu melihat pasar yang potensial. Wakil Kepala Biro Pusat Statistik Soetjipto Wirosardjono mengatakan, "Dari segi jumlah penduduk, kalau dibandingkan dengan negara-negara besar lainnya, orang Indonesia memang senang makan bakmi." Kendati demikian, Soetjipto belum yakin bahwa kebiasaan makan nasi bisa digantikan dengan mi atau bakmi. "Nasi masih merupakan menu utama," sambungnya. Sebagai makanan favorit, yang bisa digolongkan makanan ringkas alias fastfood, mi juga banyak diminati oleh karyawan kantor di kota-kota besar. Coba tengok pelbagai restoran yang menyediakan menu khusus mi di Jakarta. Pada jam makan siang, pengunjungnya melimpah. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Zumrotin berpendapat, "Mi memang bisa dipakai sebagai alternatif variasi pengganti nasi." Cuma ia ragu apakah mi bisa menggantikan posisi nasi sebagai menu utama. Kalau bicara efisiensi di kota-kota besar, makanan seperti mi instant pasti tetap memikat. Maka, sejajar dengan pertumbuhan dunia usaha, dan meningkatnya jumlah karyawan, pasar mi juga membengkak. Namun, jika bakmi tradisional tetap laris, pasalnya adalah selera Asia yang sudah berurat berakar. Dan Noodle Festival, seperti dikatakan oleh Ketua Panitia Pelaksananya Srie Koentjoro Goetomo, antara lain diarahkan untuk menggali aneka masakan mi berdasarkan lidah Indonesia. Mohamad Cholid, Sri Pudyastuti (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini