Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Tembok Roboh

Indira Damayanti melaporkan skandal suap anggota Dewan ke polisi. Polisi masih lamban bergerak.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika Anda anggota Dewan dan menerima suap, tak mudah polisi bisa menyeret Anda untuk diinterogasi. Bahkan jika Anda—berbeda dari pejabat kecil-kecilan—menerima suap sangat besar. Polisi, yang pertama dan terpenting, harus memperoleh izin dari presiden. Lebih sulit lagi polisi bisa membuat berkas yang akan jadi bekal kejaksaan membawanya ke mahkamah. Indira Damayanti Sugondo, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PDI Perjuangan, melakukan langkah terobosan yang membuat tugas polisi jauh lebih mudah—meski mengandung risiko untuk dirinya sendiri. Pekan lalu, Indira secara sukarela memberikan kesaksian di Kantor Direktorat Reserse Markas Besar Kepolisian RI soal suap yang diterimanya dari Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Dan dengan itu dia merobohkan tembok kendala bagi polisi. "Barangkali ini jalan yang paling singkat, paling bisa diterima dan mengurangi kendala polisi," kata Indira. Penasihat hukum Indira, Bambang Widjojanto, mendukung kemauan kliennya itu. "Walaupun dia masih anggota Dewan, dia merasa tak ada masalah datang ke polisi meski tanpa izin presiden," kata Bambang. Pengacara ini juga menyambut baik sikap polisi yang kooperatif mau menerima kliennya. Meski kasusnya telah muncul dua pekan lalu, polisi memang belum tampak bergerak menyidik skandal suap yang melibatkan sejumlah anggota Dewan itu. "Saya bisa mengerti kalau polisi menjadi sangat hati-hati karena mereka memperhitungkan izin presiden,'' kata Indira. Itu sebabnya dia mengambil inisiatif. Di depan polisi, Indira mengungkapkan pertemuan di Hotel Park Lane, Jakarta Selatan, pada awal Juni lalu, antara 11 anggota Fraksi PDI Perjuangan dari Komisi Perbankan dan Syafruddin Temenggung, Ketua BPPN. Setelah pertemuan itu Indira mengaku menerima amplop berisi uang US$ 1.000. "Dia (Ketua BPPN) memberikan uang melalui stafnya,'' kata Indira kepada Koran Tempo. Rekan-rekan Indira diduga menerima amplop serupa. Dengan kesaksian Indira itu, menurut ahli hukum Luhut M. Pangaribuan, polisi kini sudah bisa bergerak lebih jauh menyidik skandal ini. "Seharusnya polisi sudah bisa mengidentifikasi tersangkanya, bahkan harus segera menahannya agar memiliki efek mencegah perbuatan serupa menular kepada yang lain,'' kata Luhut. Tapi tampaknya kendala yang ada pada polisi tidak menyangkut izin presiden itu saja. Juru bicara Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Saleh Saaf, mengatakan kasus ini bisa dijerat dengan pasal-pasal korupsi ataupun suap, yang menyatakan baik penerima maupun pemberi suap bisa dipidanakan. Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Suap Tahun 1980, pemberi suap diancam hukuman lima tahun penjara, sedangkan penerimanya tiga tahun. Adapun menurut UU Anti-Korupsi Tahun 1999, penyuapan bisa dikategorikan sebagai korupsi, karena merugikan keuangan negara, dengan ancaman hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara. Namun sampai akhir pekan lalu polisi belum mengambil tindakan apa-apa, baik terhadap anggota Dewan maupun Ketua BPPN. Saleh Saaf mengatakan, polisi masih mempelajari keterangan Indira itu. "Kami juga tengah melakukan persiapan memanggil anggota DPR, apakah mereka mau dipanggil seperti Indira atau dengan izin presiden,'' kata Saleh. Seperti Luhut, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie berharap polisi lebih cepat menindaklanjuti laporan Indira Damayanti. Sebagai anggota kabinet, Kwik bahkan menyediakan diri untuk diperiksa berkaitan dengan penyuapan di Komisi Keuangan itu. Tapi, begitulah memang sulitnya memberantas korupsi dan suap di Indonesia. Kasus suap dan korupsi bukanlah delik aduan. Seharusnyalah polisi secara aktif bisa mengusut masalah ini. Namun yang terjadi umumnya sebaliknya. Bahkan, kalau ada yang melapor, tak ada tindak lanjutnya. Akibatnya, sulit menemukan orang yang mau melapor. Apalagi tak ada perlindungan terhadap saksi pelapor. Belum lama ini, Endin Wahyudin melaporkan kasus penyuapan yang melibatkan tiga hakim agung. Dia malah dihukum dengan tindak pidana lain, pencemaran nama baik. Akankah laporan Indira juga menempatkan dirinya sebagai martir, mengingat ini menyangkut skandal yang mencoreng PDI Perjuangan—partainya Presiden Megawati Sukarnoputri? Ahmad Taufik, Yostinus Tomi Aryanto (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus