Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bila Utang Tidak Terbayar

Majelis kasasi Mahkamah Agung menjatuhkan vonis pailit atas PT Gunung Agung. Dengan ini, tamatlah sejumlah usaha yang awalnya berasal dari sebuah kios buku itu.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gunung Agung tak lagi anggun. Kelompok bisnis yang didirikan Haji Masagung ini terjungkir, seiring dengan vonis bangkrut Mahkamah Agung yang diketuk minggu lalu. Ironisnya, tuntutan pailit itu diajukan oleh penerus imperium bisnis Gunung Agung, Putra Masagung. Kisahnya dimulai ketika PT Toko Gunung Agung Tbk. (TOGA) bersama Putra Masagung menggugat pailit PT Gunung Agung—yang dulunya dikuasai Made Oka Masagung, saudara Putra Masagung. Gugatan ini, menurut Siti Zaitin Noor—kuasa hukum TOGA dan Putra Masagung—dilakukan karena Gunung Agung menolak melunasi utangnya. Menurut Zaitin, total utang itu berjumlah Rp 3,58 miliar kepada TOGA dan US$ 5,68 juta plus Rp 671 juta kepada Putra Masagung. Gunung Agung berutang ke TOGA agar bisa menalangi pembayaran utangnya pada Itochu sebesar US$ 1,4 juta pada tahun 1987. Jaminannya adalah sertifikat tanah di Jalan Kwitang 37-38, Jakarta. Zaitin mengungkapkan, TOGA-lah yang melunasi utang ini. Sedangkan utang kepada Putra Masagung dilakukan untuk membeli saham Bank of San Francisco pada 1997, yang jumlahnya US$ 5,68 juta dan Rp 671,2 juta. Namun adanya utang pada Putra Masagung dibantah keras oleh Fauzi Fadlan, Direktur Utama Gunung Agung. Setelah adu argumentasi, lengkap dengan bukti dan keterangan para saksi yang digelar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, majelis hakim—diketuai Ny. Nur Aslam Bustaman—pada awal Agustus lalu menolak permohonan pailit tersebut. Melalui proses banding, akhirnya perkara perdata ini sampai ke majelis kasasi, yang diketuai Mariana Sutadi. Di tingkat inilah Gunung Agung divonis pailit. Perusahaan itu toh belum mau menyerah dan meminta peninjauan kembali (PK). Upayanya untuk lepas dari jerat pailit memang mengesankan. Tapi, di sisi lain, derap bisnis Gunung Agung telah lama melemah. Kenyataan ini sulit dimungkiri. Apalagi usaha yang tumbuh sebagai bisnis keluarga biasanya tak bertahan lebih dari satu generasi. Pada mulanya memang bisnis Gunung Agung bisa lolos dari hukum besi satu generasi itu, namun kegagalan Oka membuktikan lain. Dengan logo gunung yang terkenal itu, embrio bisnis Gunung Agung berasal dari toko buku yang dirintis oleh Haji Masagung (Tjio Wie Tay). Ia memulai usahanya dari kios kecil di pojok Jalan Kwitang, Jakarta Pusat, pada 1946. Perlahan tapi pasti, Thay San Kongsie ini maju dan berkembang. Haji Masagung pun merambah bisnis lain seperti realestat, asuransi, keuangan, perusahaan leasing, manufaktur, perdagangan, penukaran uang, komputer, sekuritas, rumah sakit, konstruksi, pertambangan, hingga pusat belanja. Pada 1986, Haji Masagung menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan usahanya kepada ketiga anaknya: Putra Masagung, Made Oka Masagung, dan Ketut Masagung. Empat tahun kemudian, Putra Masagung mundur dari Grup Gunung Agung karena sakit. Ia kemudian menekuni Toko Buku Gunung Agung, langkah yang kemudian diikuti adiknya, Ketut Masagung, yang mengelola Toko Buku Walisongo. Sejak itu grup bisnis Gunung Agung dipimpin oleh Made Oka Masagung. Dan Oka sangat berambisi meluaskan usaha. Hanya, ia tidak seberuntung ayahnya. Dalam dua tahun (tahun 1992) perusahaan ini sudah terlilit utang Rp 600 miliar. Menurut Fauzi, utang ini berasal dari utang anak perusahaannya sendiri. Untuk menutup utang, Oka menjual berbagai aset perusahaan yang nilainya ditaksir Rp 1,2 triliun. Bahkan saham Gunung Agung pun ditawarkan ke pihak luar. Atas dasar itu, pada 1994 masuklah PT Kosgoro bersama PT Trimuda Jaya Perdana. Keduanya mengakuisisi Gunung Agung, sehingga untuk pertama kali lepaslah usaha ini dari tangan keluarga Masagung. Setelah akuisisi, borok Gunung Agung pun terungkap. Menurut Fauzi, perusahaan itu sedang sekarat. "Asetnya tidak ada," tutur Fauzi. Kalaupun ada, aset-aset itu sudah dijaminkan. Harapan terakhir adalah menjual Bank Artha Prima, yang diperkirakan bisa laku Rp 521 miliar. Kosgoro dan Trimuda menawarkan Artha Prima ke Kim Johanes dan Mayor Jenderal (Purn.) Hedijanto, bendahara Yayasan Dharmais (1994). Bank itu lalu berpindah tangan. Tapi ceritanya tidak selesai sampai di situ. Bank Indonesia menemukan banyak surat utang (promes) bermasalah, di samping kredit macet Rp 700 miliar. Diduga penyimpangan dana di bank tersebut—termasuk kredit likuiditas Bank Indonesia—mencapai Rp 1,2 triliun. Polisi pun turun tangan, sehingga pimpinan Artha Prima dan Gunung Agung, termasuk Oka Masagung dan Kim Johanes, sempat ditahan polisi. Peristiwa ini, menurut Fauzi, menandai ambruknya bisnis Gunung Agung. Setelah itu, ia menemukan banyak anak perusahaan yang kosong alias paper company. Kini, satu-satunya yang masih hidup cuma pabrik cokelat di Tangerang. Dari sisi bisnis, diakuinya Gunung Agung memang layak pailit. Kalau begitu, buat apa memohon PK? Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus