Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Beli Satu Dapat Semua

Pembagian dividen Bank Central Asia bisa merugikan pemerintah ratusan miliar.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH akan kebobolan lagi? Tampaknya itulah yang hampir pasti akan terjadi. Hal ini berkaitan dengan keputusan manajemen baru Bank Central Asia pada Mei lalu untuk membagikan dividen tahun buku 2001. Dari Rp 3,2 triliun keuntungan yang diperoleh BCA tahun lalu, sekitar 25 persen—berarti Rp 140 per unit saham—akan dibagi-bagikan ke pemegang saham. Salah satu pemegang saham itu adalah pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Yang dipertanyakan ialah berapa besar dividen yang akan diterima lembaga yang dipimpin Syafruddin Temenggung ini. Apakah BPPN berhak atas dividen untuk 51 persen saham miliknya, yang akhir Maret lalu sudah dilego kepada konsorsium Farallon? Atau BPPN hanya mengantongi Rp 57 miliar dari sisa saham yang belum terjual, sebanyak 6,6 persen? Sejauh ini, surat permintaan persetujuan pembagian dividen yang dilayangkan BCA ke meja Syafruddin Temenggung tak kunjung dibalas. Kabarnya, pemimpin BPPN bingung menentukan pilihan. Kalau itu disetujui, dana Rp 420 miliar—yang tentu sangat berarti untuk menambal kas pemerintah yang defisit—akan melayang begitu saja. Tapi, kalau itu tak disetujui, dunia investasi Indonesia kembali tercoreng-moreng. Sebenarnya, dividen itu terhitung hak pemerintah Indonesia karena laba yang diperoleh dan dibagi-bagikan ke pemegang saham dihimpun BCA sepanjang tahun 2001, ketika 51 persen sahamnya yang kini beralih ke Grup Farallon masih dimiliki pemerintah. Jika alur pikiran seperti ini yang diikuti, dana dividen harus masuk ke kocek pemerintah. Namun, kalau yang dijadikan dasar pertimbangan adalah saat ketika keputusan pembagian dividen BCA diambil, yakni Mei 2002, Farallonlah yang kebagian rezeki. Pilihan yang disebut terakhir ini didukung oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Herwidayatmo. Katanya, peraturan pasar modal mengharuskan dividen itu masuk ke pundi-pundi pemilik baru. Meskipun dividen itu hasil kerja tahun 2001, yang berhak mendapatkannya adalah yang tercatat dalam daftar pemegang saham terakhir, yang tanggalnya disepakati bersama dalam rapat umum pemegang saham. "BPPN sudah tidak punya hak lagi," katanya. Ketua Bapepam yang jarang-jarang bisa bersikap tegas itu kali ini langsung meminta agar pemerintah menghormati hak investor baru: Farallon. Sejak awal, keberadaan Farallon di BCA memang menimbulkan pro dan kontra. Soalnya, dengan hanya Rp 5,1 triliun, konsorsium ini berhasil menjadi pemilik mayoritas saham BCA, sedangkan obligasi pemerintah sebesar Rp 55 triliun belum ditarik dari sana. Artinya, dengan modal tak seberapa, Farallon tidak saja menguasai BCA, tapi juga memiliki hak tagih untuk bunga obligasi yang harus dibayar pemerintah ke bank ini sebesar Rp 10 triliun per tahun. Kekonyolan itulah yang membuat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Kwik Kian Gie, mencak-mencak dan menentang keras penjualan BCA. Kekonyolan itu semakin menyesakkan dada karena, menurut analis perbankan Mirza Adityaswara, Farallon juga sudah memetik untung dari selisih harga. Mirza mengingatkan bahwa Farallon membeli saham BCA pada harga Rp 1.800, sementara di pasar harganya kini mencapai Rp 2.100. Selisih 300 perak dalam tenggat waktu lima bulan mengalirkan dana sekitar Rp 900 miliar ke saku mereka. Dari selisih harga dan dividen saja, Farallon bisa meraup Rp 1,3 triliun. Bukan mustahil konsorsium ini akan mencapai balik modal dalam waktu singkat. Siapakah yang tertawa lebar dari transaksi yang konyol itu? Tentu saja Farallon dan oknum-oknum yang berjasa memperjuangkan kemenangan konsorsium itu. Mungkin mereka sudah memperhitungkan jauh-jauh hari dividen yang akan diperoleh Farallon dalam waktu kurang dari setahun. BPPN, yang menjual 51 persen saham pemerintah di BCA, menurut Mirza, juga mestinya mengantisipasi soal dividen ini dalam proses jual-beli. Namun anak buah Syaf di BPPN, yang kabarnya tak kurang lihai dibandingkan dengan orang Farallon, justru kali ini terkesan tumpul dan menyebalkan. Rasa sebal itu akan memuncak jika akhirnya Farallonlah yang mendapat dividen Rp 420 miliar. Jadi, dengan mengakuisisi BCA, Farallon bukannya beli satu dapat dua, tapi beli satu dapat semua. Pak Kwik boleh terus mencak-mencak, tapi Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi—yang membawahkan BPPN—tetap membisu seribu basa. Sementara itu, Deputi Restrukturisasi Perbankan, I Nyoman Sender, mengungkapkan bahwa "masalahnya sekarang ada di Pak Syaf." Ada sumber mengatakan bahwa BPPN tengah mencari jalan keluar agar, kalaupun duitnya raib, mereka tak disalahkan. Nyoman Sender malah tertawa ketika ditanyai komentarnya tentang kemungkinan pemerintah kehilangan dividen yang Rp 420 miliar itu. "Kasus BCA sudah lama selesai, kok, masih terus diungkit," ujarnya tanpa beban. Leanika Tanjung, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus