TAK banyak wartawan yang mengenal Engelina Pattiasina. Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan itu terlalu pendiam, bukan tokoh yang menarik untuk ditampilkan di televisi. Namun dua pekan lalu tiba-tiba wanita yang sudah bergabung dengan PDI sejak sepuluh tahun lalu itu begitu dicari para kuli tinta. Ia mengambil sikap tegas: tak mau meneken keputusan alokasi anggaran belanja tambahan di Panitia Anggaran DPR yang dinilainya mengandung sejumlah kejanggalan. Sikap yang langka di masa kini itu makin menguatkan bau suap di Senayan, yang sudah meruap sejak Meilono Suwondo dan Indira Damayanti mengaku mendapat amplop dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional, dua pekan lalu.
Posisi Engelina atau yang biasa dipanggil Lince dalam Panitia Anggaran itu memang amat strategis: ia wakil ketua dan ketua panitia kerja revisi anggaran tahun berjalan. Sekadar diketahui, Panitia Anggaran dibentuk tiap tahun dengan anggota dari semua komisi. Mulai Agustus lalu, hampir setiap malam panitia ini berapat dengan petinggi Departemen Keuangan. Tujuannya, merevisi APBN di tahun berjalan—lazim disebut anggaran belanja tambahan—dan membuat RAPBN tahun 2003. Ini kegiatan rutin saban tahun.
Dalam merevisi APBN tersebut, pertama-tama panitia ini akan menghitung adakah kelebihan pendapatan negara yang nantinya dialokasikan untuk anggaran belanja tambahan. Ternyata, dari penerimaan pajak, bea cukai, dan laba badan usaha milik negara, ada kelebihan pendapatan negara sebesar Rp 986 miliar. Dana itu kemudian disepakati akan dipakai untuk mendorong pembangunan: Rp 725 miliar untuk anggaran belanja tambahan, sisanya untuk cadangan umum dan cadangan rutin lainnya.
Anggaran belanja tahunan ini bisa digunakan untuk proyek sektoral yang lazim terdapat di departemen atau instansi pemerintah. Sedangkan cadangan umum biasanya digunakan untuk proyek di daerah. Sampai di sini semua terlihat masih berada di jalur yang benar. Namun, masalah mulai muncul ketika mereka mengalokasikan dana itu ke berbagai sektor. Panitia Anggaran memang punya tugas untuk pengalokasian itu, yang besarnya sesuai dengan masukan pemerintah yang didasarkan pada usul komisi-komisi di parlemen.
Karena merasa garis besar pembagian anggaran belanja tahunan dan cadangan umum sudah ditetapkan dalam sidang pleno Panitia Anggaran, Lince merasa tugasnya sudah hampir selesai. Dalam pikirannya, panitia kerja revisi anggaran tinggal membawa hasil kerjanya ke sidang pleno Panitia Anggaran untuk disahkan. Tapi usulannya mendapat tentangan dari mayoritas anggota panitia kerja yang lain. "Sebagai ketua, saya kalah suara," ujarnya.
Apa yang mereka inginkan? Rupanya, mereka ingin sekalian merumuskan alokasi ke mana saja dana itu akan mengalir. Lince, master ekonomi dari Universitas Bremen, Jerman, masih berpikir lurus. Ia menyangka yang akan dirumuskan adalah kesesuaian hitungan panitia kerja dengan ketetapan sidang pleno Panitia Anggaran. Jadi, ia setuju saja dibentuk tim perumus yang terdiri atas enam orang anggota panitia kerja.
Tim perumus yang diketuai Ahmad Nur Supit dari Partai Golkar ini bekerja kilat, hanya dua jam. Hasilnya membuat Lince ternganga. Mereka membagi-bagikan anggaran belanja tambahan itu seenaknya, bukan berdasarkan yang sudah dibahas di panitia kerja. Badan Intelijen Negara (BIN) dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, misalnya, termasuk yang kecipratan dana, meski sebelumnya tak pernah disebut.
Tindakan obral sepihak itulah yang mendorong putri H.J.M. Pattiasina, pendiri Pertamina itu, untuk "keluar dari sikapnya sehari-hari". Ia tak mau meneken pengesahan revisi anggaran tersebut. Sikap para koleganya itu, menurut dia, melanggar asas parlementaria bahwa keputusan atas nama Panitia Anggaran mestinya diambil oleh seluruh anggota Panitia Anggaran melalui sidang pleno, bukan cuma oleh anggota panitia kerja. Tak cuma Lince, sejumlah anggota Panitia Anggaran yang lain—antara lain Samuel Koto, Djamal Doa, Peter Sutanto, dan Rizal Djalil—juga memprotes keanehan menyangkut alokasi anggaran belanja tambahan itu.
Penyebabnya baru diketahui Lince belakangan dan membuatnya makin marah. Kabarnya, ada duit Rp 1,5 miliar dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara yang siap dibagi-bagikan kepada anggota Panitia Anggaran bila soal anggaran belanja tambahan itu bisa cepat diputuskan. Ia juga makin kesal karena mengetahui penggunaan anggaran tahun berjalan di Sulawesi Utara ternyata belum diperiksa oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sehingga mestinya Sulawesi Utara belum boleh menerima dana dari cadangan umum.
"Uang yang diatur di Panitia Anggaran itu kan dari pajak rakyat. Kalau dikurangi untuk komisi anggota Dewan dan diterima, itu bejat," kata wanita yang dididik untuk hidup sederhana itu. Ia pun tak mau meneken keputusan mengenai revisi anggaran 2002, sikap yang membuat geger Senayan karena menyebabkan keputusan itu dianggap belum sah kendati Ketua Panitia Anggaran dan wakil ketua lainnya sudah setuju. Revisi anggaran yang mestinya disetujui sebelum masa reses sidang keempat akhir September lalu pun terpaksa tertunda.
Beruntung, Lince belakangan melunak. Ia akhirnya bersedia meneken keputusan hasil revisi anggaran. "Saya tak mau dianggap menghambat pembangunan," ujarnya menjelaskan. Sebelumnya ia mengaku sudah melakukan pemeriksaan silang atas alokasi anggaran belanja tambahan dan cadangan umum kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Departemen Keuangan. Ia juga mendapat kabar dari Direktur Jenderal Anggaran Anshari Ritonga bahwa tim BPKP akan segera berangkat ke Sulawesi Utara.
Soal anggaran belanja tambahan mungkin sudah kelar, tapi bagaimana dengan soal suap Rp 1,5 miliar? Sayang, Lince menolak bicara. Ia cuma mengisyaratkan bahwa urusan uang pelicin bukan perkara baru di Panitia Anggaran. Tahun lalu, ketika membahas pembagian dana alokasi umum, ia pernah didatangi pejabat beberapa kabupaten di Maluku. Mereka menyerahkan amplop sambil titip pesan agar jumlah dana alokasi umum untuk daerah mereka tak berubah. Jumlahnya Rp 5 juta. Uang tersebut sontak dikembalikannya, dan si pejabat daerah dimintanya untuk berdoa. "Saya marah sekali, itu daerah terpencil yang miskin. Masa, untuk memperoleh dana alokasi umum saja harus memberi uang pelicin begitu," ujar Lince.
Perlunya "uang pelicin" dalam alokasi anggaran, menurut ekonom Chatib Basri, merupakan praktek usang dalam birokrasi Indonesia. Dulu yang didekati oleh para pejabat daerah adalah pejabat departemen teknis seperti Bappenas dan Departemen Keuangan, sebagai instansi yang berwenang mengalokasikan anggaran. Sekarang, seiring dengan kian bergiginya DPR, "Para wakil rakyat juga mesti didekati agar urusan menjadi lancar," ujarnya.
Para pejabat departemen teknis biasanya melobi agar nilai daftar isian kegiatan dan daftar isian proyek yang mereka ajukan tak diturunkan. Sedangkan pejabat daerah biasanya melobi agar dana alokasi umum dan dana bagi hasil yang mereka ajukan tak diganggu gugat, bahkan kalau bisa nilainya dinaikkan.
Begitu gigihnya para pejabat daerah ini mendapatkan anggaran—menurut Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan, Machfud Sidik—hingga ia sering didatangi pejabat dari daerah. Rupanya, ia dianggap memiliki informasi dan wewenang mengubah besaran dana alokasi umum.
Sumber TEMPO di pemerintahan membisikkan, dalam pertemuan-pertemuan itu para pejabat daerah kerap didampingi oleh anggota DPR atau pejabat pemerintah pusat. "Mereka itu menjadi perantara dana alokasi umum," ujar sumber itu. Apakah dalam pertemuan itu ada permintaan-permintaan dan imbalan untuk melicinkan dana alokasi umum? "Itu alami. Tapi, kalau tidak kita pedulikan, ya, nggak terjadi," ujar Machfud.
Toh, Ketua Panitia Anggaran DPR, Abdullah Zainie, mati-matian membantah adanya suap di panitia yang dipimpinnya itu. "Saya tegaskan, Panitia Anggaran tak pernah menerima suap apa pun," ujarnya. Sedangkan Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, Anshari Ritonga, memilih tutup mulut. "No comment, itu bukan posisi saya," katanya seperti dikutip Koran Tempo.
Paduan suara bantahan juga muncul dari Sulawesi Utara. Ketua DPRD Syachrial Damopolii mengakui pihaknya selama ini sulit mengurus anggaran yang diajukan. Padahal anggaran belanja tambahan sebesar Rp 36 miliar itu merupakan pengganti gaji pegawai yang sudah dibayar. Bila dana itu disetujui, Pemerintah Sulawesi Utara pun akan menggunakannya untuk pembangunan. "Tapi, kendati sulit mengurus, kami tak pernah menyuap," ujarnya.
Bagaimanapun, uap suap sudah meruap dan sudah selayaknya kasus ini ditindaklanjuti oleh polisi seperti halnya kasus penyuapan BPPN.
Nugroho Dewanto, Levianer Silalahi, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini