Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Silakan Naik, tapi Efisien Dulu

Tarif dasar listrik hampir pasti naik 30 persen tahun depan. Berharap harga minyak dunia lebih bersahabat.

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jatah listrik yang mengalir tak ajeg itu masih disyukuri Basri. Yang penting malam tak seluruhnya gelap gulita, dan waktu makan sahur tiba lampu kembali menyala. ”Warga di sini sudah maklum. Koperasi juga kebingungan dengan harga solar yang melambung,” kata warga Kecamatan Aikmel, Lombok Timur, itu pasrah.

Basri tak sendirian. Sudah hampir sebulan ini sekitar 20 ribu warga yang tersebar di 42 desa dan 9 kecamatan di Kabupaten Lombok Timur hanya mendapat jatah listrik 10 jam per hari. Pukul lima sore listrik mulai mengalir hingga pukul satu dini hari. Pukul tiga, listrik kembali hidup sampai pukul enam. Selebihnya padam.

Sudah hampir delapan bulan listrik byar-pet tak keruan. Sejak harga bahan bakar minyak melejit dua kali lipat lebih pada awal bulan ini, keadaan makin parah. Koperasi Listrik Pedesaan Sinar Rinjani, yang selama ini memasok setrum, sudah kembang-kempis menunggu bangkrut.

Ketika harga BBM naik pada awal Maret lalu, koperasi sudah mulai oleng. Dan saat 1 Oktober lalu harga solar kembali naik menjadi Rp 4.300 per liter, situasi benar-benar gawat. Apalagi, pembelian solar Sinar Rinjani mengikuti patokan harga BBM industri yang harganya Rp 6.250 per liter. Dengan harga lama, ongkos solar hanya Rp 1,2 miliar per bulan, kini menjadi Rp 3 miliar.

Tak seperti PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang masih bisa berharap pada subsidi pemerintah, hidup Sinar Rinjani melulu ditopang oleh iuran para konsumennya. Manajer Sinar Rinjani, Abdul Mutholip, mengakui pihaknya terpaksa melakukan pemadaman berkala karena mahalnya bahan bakar.

Berdiri pada 1979, koperasi ini kini harus melayani pelanggan rumah tangga, industri rumahan, hingga badan usaha milik daerah seperti perusahaan air minum dengan total beban 5,7 megawatt. Jaringan kabelnya membentang 163 kilometer dari Desa Anjani di Kecamatan Aikmel hingga Desa Belanting di Kecamatan Sambelia. Seluruh alirannya ditopang oleh pembangkit listrik tenaga diesel di Aikmel.

Mutholip bercerita, koperasinya mustahil bertahan bila tak ada pertolongan gawat darurat, misalnya dari pemerintah daerah. Dengan harga solar yang baru, ia menghitung, harga listrik mestinya Rp 2.500-3.000 per kWh. Tapi sampai kini koperasinya masih menjualnya Rp 1.200 per kWh. ”Kami tidak tega,” kata Mutholip.

Kenaikan tarif memang bukan soal gampang sebab, dibandingkan dengan harga listrik PLN, sebenarnya tarif dari Koperasi sudah jauh lebih mahal. Konsumen di luar Lombok sampai kini membeli listrik dengan harga hanya Rp 900 per kWh.

Kalaupun tahun depan tarif listrik PLN jadi naik 30 persen, harganya baru akan setara dengan tarif koperasi saat ini. Dan boleh jadi ketika itu listrik koperasi hanya tinggal cerita.

Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat, Bonyo Thamrin Rayes, mengaku bingung memikirkan soal ini. Menurut dia, pemerintah provinsi telah berusaha melobi agar koperasi listrik desa diberi kelonggaran dengan fasilitas solar bersubsidi. ”Belum membuahkan hasil,” ujarnya.

Nasib PLN memang jauh lebih baik. Sidang paripurna DPR yang akan memutuskan besaran subsidi bagi perusahaan negara ini baru akan digelar Kamis pekan ini. Tapi angka Rp 17 triliun yang sudah lolos dari Panitia Kerja hampir dipastikan tak akan bergeser. Artinya, kenaikan tarif hanya soal waktu. Bisa di awal atau pertengahan 2006.

”Sudah kami perhitungkan naiknya sekitar 30 persen,” kata Ketua Panitia Anggaran DPR, Emir Moeis. Perkecualian diberikan kepada pelanggan rumah tangga kelas terendah, yang menggunakan listrik 450 VA. Mereka tidak ikut dinaikkan. ”Dan kalau tahun depan harga minyak dunia turun (RAPBN 2006 mematok harga US$ 54 per barel), kenaikan bisa tak setinggi itu,” Emir memberi catatan.

Para wakil rakyat tak lagi melihat kelonggaran dalam anggaran belanja negara tahun depan, sehingga subsidi yang disanggupi jauh di bawah yang diajukan PLN, yakni Rp 38,5 triliun. Selisih kekurangan itulah yang kelak akan dibebankan pada konsumen dalam bentuk kenaikan tarif.

Dengan patokan angka itu, sebelumnya direksi PLN yang didampingi Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, Yogo Pratomo, mengusulkan empat skenario tarif kepada DPR. Pertama, jika subsidi tahun depan dianggarkan Rp 25,51 triliun, tarif akan dinaikkan 23 persen.

Kedua, bila subsidi Rp 21,681 triliun, kenaikan rata-ratanya 29 persen. Ketiga, dengan subsidi cuma Rp 12,980 triliun, PLN akan menaikkan tarif hingga 39 persen. Dan terakhir, apabila besaran subsidi nol, maka tarif akan melonjak 59 persen.

Meski paham dengan kesulitan PLN, tak semua legowo menerima besaran kenaikan yang dirancang itu. Nasib seperti yang menimpa Koperasi Sinar Rinjani tentu tak diinginkan. Namun, banyak yang keberatan jika konsumen dipaksa menanggung juga biaya akibat PLN yang tak efisien mengolah produksi setrumnya.

”Sebelum naik, mestinya PLN membuat dirinya optimal lebih dulu,” kata Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Pendapat senada disampaikan oleh Koordinator Working Group on Power Sector, Fabby Tumiwa.

Mereka mencontohkan masih tingginya tingkat susut jaringan, yakni banyaknya arus listrik yang hilang di jalan akibat buruknya jaringan PLN. Soal lain yang memprihatinkan adalah masih tingginya ketergantungan PLN pada solar, padahal banyak sumber energi alternatif yang tersedia, seperti panas bumi, tenaga air, batu bara, dan gas (lihat boks, Susahnya Beralih ke Gas).

Yogo Pratomo pun mengeluhkan tingginya angka susut itu. Pemerintah, katanya, sudah minta agar tahun ini PLN menekan hingga 9,72 persen. Pengurangan susut itu akan punya dampak cukup signifikan, karena setiap pengurangan satu persen angka susut berarti penghematan Rp 750 miliar. ”Cukup untuk menutup pembengkakan belanja minyak,” katanya.

PLN mengakui, sampai dengan Juni lalu angka susut masih mencapai 11,4 persen, tapi mereka tak mau disalahkan sendirian. ”Kalau masyarakat tetap melakukan pencurian listrik, perbaikan teknis akan sia-sia,” kata Direktur Pelayanan dan Niaga PLN, Sunggu Aritonang.

”Tanpa diminta pun, PLN berusaha menurunkan susut, namun itu memerlukan investasi,” kata Direktur Utama PLN, Eddie Widiono. Mau tahu berapa yang diperlukan PLN? Sunggu menyebutkan, perbaikan jaringan tahun ini saja perlu biaya Rp 3 triliun. Jika masyarakat tidak berpartisipasi, biaya pengurangan penyusutan bisa jauh lebih besar dari ongkos pemeliharaan. Mau menanggungnya?

Y. Tomi Aryanto, Retno Sulistyowati, M. Fasabeni, Sudjatmiko (Lombok)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus