Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahukah Anda, untuk memancing tangis Tora Sudiro dalam film Arisan!, sutradaranya, Nia Dinata, harus mengingatkannya pada satu masalah pribadi paling sensitif. Dan, untuk mendapatkan gambaran suasana lobi bioskop yang pas dalam film Janji Joni, Ary Juwono, desainer produksi film itu, harus menyulap sebuah gedung kosong di Jakarta Kota.
Ya, belakangan ini, sejumlah buku bercerita tentang sebuah ”dapur supersibuk”, proses pembuatan film kita tahun 2000 ke atas. Buku Janji Joni, misalnya, memuat dialog para pemain, foto-foto dan catatan-catatan kecil di balik pembuatan film itu. Catatan-catatan yang dibuat berdasarkan buku harian Nia Dinata, kali ini produser, Joko Anwar, sutradara dan penulis skenario, dan John Badalu, seorang pengamat.
Janji Joni bercerita tentang banyak hal di sepanjang proses produksi, termasuk Nicholas Saputra yang cedera punggung saat pengambilan adegan kejar-kejaran. Tapi kebanyakan buku tentang film sekadar menyodorkan skenario. Dan itu meliputi skrip film Eliana, Eliana, Rumah Ketujuh, Ada Apa dengan Cinta?, Andai Dia Tahu, Arisan!, dan Gie. Tahun ini, terbit dua buku yang membuntuti pemutaran film Janji Joni (Januari 2005) dan Gie (September 2005).
Semua buku di atas memuat rangkaian dialog dengan urutan seperti yang terjadi di layar lebar. Meski dalam kenyataannya pengambilan gambar dan dialog tidak selamanya linier. Gie dibuat Riri Riza berdasarkan Catatan Harian Soe Hok Gie, lebih sederhana. Selain dialog, hanya ada keterangan tentang mimik dan bahasa tubuh para aktor serta eksterior dan interior saat pengambilan gambar dilakukan.
Khazanah kesusastraan kita meliputi naskah drama. Tapi sekario film? Naskah skenario memang tidak sama, misalnya, dengan novel. Di mata Nia Dinata, menerbitkan naskah skenario berarti memberikan ruang luas untuk imajinasi pembaca. Ia membandingkan dengan novel. ”Buat saya, novel berpihak pada aspek bisnis. Imajinasi pembaca dijejalkan dalam sebuah novel,” katanya. Nia melihat dua bukunya lebih sebagai proyek idealisme. ”Saya pribadi banyak belajar menulis skenario dari buku skenario koleksi saya sejak SMA. Orang bisa kok belajar menulis skenario yang baik dari buku-buku skenario seperti ini.”
Berbeda dengan pendapat Nia, Eric Sasono, kritikus film yang menulis pengantar dalam buku Gie, menganggap penerbitan buku seperti ini sekadar pasar ikutan.
Penerbitan skenario tak banyak punya arti, baik dari segi ekonomi maupun estetik. ”Buku skenario bukan karya literer. Tidak banyak sumbangan estetik yang bisa diberikannya, hanya bisa dinilai ketika sudah ada karya filmnya,” katanya.
Manfaat buku-buku ini tentu saja bisa diambil oleh siapa saja yang memang tertarik terjun ke dunia film. Bahkan Eric juga menolak menyatakan kehadiran buku-buku seperti ini sekadar untuk memeriahkan perfilman. ”Kalau dibilang just for fun, ya tidak juga. Bukankah aspek fun juga ada pentingnya?”
Ia lebih melihat hadirnya buku-buku skenario ini sebagai usaha pendokumentasian karya skenario. ”Kita sering lupa aspek ini. Banyak karya besar yang terlupakan karena tak ada usaha pendokumentasiannya,” katanya. Mungkin benar juga, kehadiran buku-buku ini bisa juga dijadikan tambahan informasi untuk menilai keindahan sebuah film.
Tak salah kiranya jika dalam buku Janji Joni, Joko Anwar, sang sutradara dan penulis skenario, berujar. ”Watch the movie, read the book. Then you can kill me!”
Utami Widowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo