Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBARAN kali ini akan terasa berbeda buat Dahlan Iskan. Pada hari-baik-bulan-baik itu, bukan hanya parsel yang bakal diterima bos Grup Jawa Pos ini, melainkan juga sepucuk surat panggilan dari Kepolisian Daerah Jawa Timur.
”Habis Lebaran, kami akan mulai memanggil para petinggi Jawa Pos, termasuk Dahlan Iskan,” kata Kepala Unit II Tindak Pidana Korupsi Polda Jawa Timur, Komisaris Polisi R.B. Damanik, kepada Tempo pekan lalu.
Dahlan akan dimintai keterangan seputar dugaan manipulasi keuangan di tubuh kelompok usaha media dan penerbitan itu. Sejauh ini, polisi baru sebatas mempelajari dan mengumpulkan bukti-bukti.
Sejumlah instansi terkait telah diperiksa. Beberapa di antaranya adalah Kantor Wilayah Pajak Jawa Timur, Badan Pertanahan Nasional, dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Kasus ini bermula dari adanya laporan bekas Direktur Keuangan PT Jawa Pos Radar Timur, Widjojo Hartono, ke kepolisian. Inti laporannya menyebutkan, telah terjadi penggelapan pajak dan penjualan obligasi dengan jaminan aset fiktif di tubuh induk perusahaannya, PT Jawa Pos.
Toni—begitu Widjojo biasa disapa—mengatakan akumulasi nilai penggelapan pajak yang telah dilakukan dari Januari 2002 hingga Desember 2003 mencapai Rp 3,8 miliar. ”Saat itu saya membuat laporan keuangan atas perintah Dahlan Iskan, Direktur Utama Jawa Pos Radar Timur,” ujarnya ketika dihubungi, pekan lalu.
Adapun praktek penggelapan pajak itu dilakukan dengan cara tidak memasukkan sebagian pendapatan perusahaan—salah satunya setoran agen koran—ke laporan keuangan Radar Timur. ”Seharusnya agen membayar harga per eksemplar koran Rp 1.280, tapi pada prakteknya hanya dilaporkan Rp 1.180,” kata bekas pegawai bagian keuangan Jawa Pos yang enggan disebut namanya.
Pegawai itu menambahkan, praktek tersebut telah dilakukan sepanjang 2002 dan 2003. ”Tahun 2002 selisihnya Rp 100, sedangkan 2003 nilainya turun hanya Rp 60,” katanya. Persoalan lain yang juga diungkap Widjojo adalah seputar dugaan penyimpangan dalam penjualan obligasi PT Jawa Pos senilai Rp 200 miliar, pada Oktober 2003.
Saat itu, direncanakan sebagian besar dana hasil penjualan surat utang berjangka waktu lima tahun ini akan digunakan untuk pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) PT Prima Elektrik Power, anak perusahaan Jawa Pos. Sisanya untuk menambah modal kerja PT Adiprima Suraprinta (anak perusahaan yang memproduksi kertas koran) dan pelunasan sebagian utang Jawa Pos kepada Bank NISP.
Yang kemudian dipersoalkan Widjojo adalah kelaikan aset jaminan surat utang itu. Dalam prospektus penjualan obligasi disebutkan, aset yang dijaminkan adalah seluruh aset Prima Elektrik. Termasuk di dalamnya tanah seluas 47 ribu meter persegi, pembangkit listrik, mesin-mesin berikut berbagai peralatannya, serta hak tagih atas klaim asuransi.
Masalahnya, kata Widjojo, PLTU Prima Elektrik saat itu belum ada wujudnya. Pembangkit listrik ini justru akan dibangun dari hasil penjualan obligasi tersebut—pembangunan baru rampung Mei lalu. ”Masa, yang jadi jaminan adalah barang yang belum ada?” ujarnya.
Widjojo juga mempersoalkan eksistensi Radar Timur—satu dari enam anak usaha Jawa Pos—yang dijadikan jaminan obligasi itu. ”Sebagai Direktur Radar Timur, waktu itu saya turut menandatangani surat jaminan itu,” ujarnya.
Persoalannya, menurut dia, Radar Timur telah dibekukan operasionalnya sejak 1 Maret 2004, berikut pencopotan seluruh karyawan dan direksi. Dengan pembekuan itu, otomatis saat itu surat utang Jawa Pos tidak memiliki jaminan lagi alias fiktif.
Namun, agar tetap tak menyalahi aturan Bapepam, omzet penjualan 10 anak usaha Radar Timur di berbagai daerah tetap dikonsolidasikan ke laporan keuangan Jawa Pos. Maksudnya agar perusahaan seolah-olah tetap ada. ”Jadi, ada rekayasa laporan keuangan kelompok Jawa Pos di tahun 2004,” katanya.
Dahlan, ketika dimintai tanggapannya, enggan mengomentari berbagai tudingan itu. ”Masa, saya harus menanggapi info sampah begitu,” katanya melalui pesan pendek dari Shanghai, Cina.
Apalagi, kata pengusaha yang pernah dinobatkan oleh lembaga keuangan Ernst & Young sebagai Entrepreneur of the Year 2003 ini, tudingan datang dari karyawan yang telah dipecatnya karena ketahuan menggelapkan uang perusahaan. Yang jelas, ”Penerbitan obligasi sudah sesuai dengan ketentuan,” katanya.
Jawaban lebih rinci datang dari Manajer Keuangan Jawa Pos, Basuki. Ia menandaskan, tidak ada masalah dengan aset Prima Elektrik yang dijadikan jaminan surat utang Jawa Pos. Pembangkit listrik itu sudah selesai dibangun dan beroperasi sejak Mei silam. Bulan lalu, aset ini pun telah diikat sebagai jaminan obligasi.
Berdasarkan hasil penilaian konsultan properti internasional, Satyatama Graha Tara, nilai seluruh aset Prima Elektrik mencapai Rp 214 miliar. ”Ini berarti lebih besar dari nilai obligasi,” kata Basuki. Soalnya yang dinilai memang bukan hanya harga tanah tapi termasuk seluruh aset Prima Elektrik yang sudah selesai dibangun itu.
Soal Radar Timur, ia juga menegaskan, meski ada pencopotan direksi, perusahaan itu hingga kini masih beroperasi. ”Yang dikeluarkan orangnya. Tapi PT-nya masih ada dan tetap beroperasi,” katanya. Lagi pula, yang dijadikan jaminan surat utang Jawa Pos adalah aset Prima Elektrik—bukan Radar Timur.
Bank Mandiri, selaku wali amanat penerbitan obligasi Jawa Pos, menilai tidak ada persoalan dengan surat utang itu. Menurut Kepala Wali Amanat Bank Mandiri, Indra Kusuma, posisi pemegang obligasi Jawa Pos aman. ”Pembayaran bunga pun lancar sampai September ini,” tuturnya.
Direktur Utama Makinta Securities, Vincent Widjaja, selaku penjamin emisi obligasi, menambahkan bahwa keberadaan PLTU itu sangat prospektif buat bisnis Jawa Pos. Sebab, akan menghemat pengeluaran listrik di pabrik kertas milik perusahaan penerbit koran bertiras 350 ribu eksemplar itu.
Kepala Biro Sektor Jasa Bapepam, Noor Rachman, ketika ditanya tentang persoalan ini, belum mau berkomentar karena ingin meminta penjelasan manajemen Jawa Pos lebih dulu. Langkah serupa akan dilakukan manajemen Bursa Efek Surabaya, tempat obligasi itu dicatatkan. ”Kami pernah minta penjelasan pada Juni lalu. Kalau memang ada penyelidikan Polda, kami bisa minta penjelasan lagi,” kata Direktur Bursa Efek Surabaya, Guntur Pasaribu.
Atas berbagai bantahan resmi itu, Widjojo tampaknya tak akan bergeming. Tekadnya sudah bulat, ingin membawa bekas bosnya ke pengadilan. ”Motivasi saya ingin membalas perlakuan Dahlan, yang menuduh saya korupsi dan telah mempermalukan saya dan keluarga,” katanya.
Yura Syahrul, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo