Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Madrid - Bambu diklaim memiliki kemampuan paling tinggi dalam menyerap Karbondioksida dibandingkan dengan tumbuhan lain. Secara ekonomi, permintaan bambu juga sangat tinggi, diperkirakan mencapai US$ 93 miliar atau Rp 1.312 triliun pada 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Saat ini pasar dunia bambu masih dikuasai Cina, yakni sekitar 60 persen,” kata Agus Justianto, Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Madrid, Spanyol, Senin sore waktu setempat, 2 Desember 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Agus menambahkan, Indonesia memiliki kekayaan bambu yang sangat banyak. Diperkirakan 300 jenis bambu tumbuh di Tanah Air, yang hidup baik di daratan tinggi maupun rendah.
Karena potensi yang tinggi itu, menurut Agus, bambu dijadikan tema paviliun Indonesia dalam konferensi perubahan iklim COP25 di Madrid. Paviliun akan dibuka Rabu, 4 Desember, oleh Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aloe Dahong serta Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Muhaimin Iskandar.
Paviliun Indonesia berdiri di bagian tengah Ifema, area konferensi di luar kota Madrid. Peserta konferensi yang terdiri dari delegasi hampir 200 negara, peninjau, aktivis organisasi nonpemerintah, dan jurnalis diperkirakan 30.000 orang.
Area luar paviliun Indonesia dihiasi foto besar rumpun bambu. Bagian depannya juga dihiasi ornamen berbahan bambu. Begitu juga area dalam--yang antara lain akan dihadiri mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Albert Arnold Gore Jr alias Al Gore.
Menurut data International Bamboo and Rattan Organisation (INBAR), bambu memiliki kemampuan menyimpan karbon dioksida yang tinggi. Pada saat sama, material bambu bisa digunakan untuk pengganti semen, plastik, dan bahan-bahan yang menghasilkan emisi tinggi. Sejumlah bangunan bertingkat kini telah menggunakan bambu -- yang telah diolah menjadi papan dan balok.
Dalam laporan INBAR disebutkan, karena pertumbuhannya yang cepat, bambu telah dianggap sebagai penyerap karbondioksida yang efektif. Bambu menyerap 100-400 ton karbon per hektare per tahun. Adapun tumbuhan lain antara 90-420 ton per hektare per tahun. Ditambah fungsinya sebagai pengganti kayu, kemampuan bambu menurunkan emisi akan lebih tinggi.
Arief Rabik, Presiden Direktur Yayasan Bambu Lestari, yang akan menjadi pembicara di paviliun Indonesia, menyatakan bambu juga sangat berpotensi menutup lahan kritis yang luasnya cenderung bertambah. Data 2015 menunjukkan, sekitar 25 juta dari total 88 juta hektare lahan kritis berada di wilayah hutan. “Bambu bisa dipakai untuk menutup lahan-lahan kritis itu,” ujarnya.
Presiden Direktur Yayasan Bambu Lestari, Arief Rabik. Tempo/Budi Setyarso
Bambu di masa depan diperkirakan akan menjadi pengganti kayu. Tumbuhan ini bisa diolah menjadi bahan dasar tekstil, bahan bangunan, bahan furnitur, juga bio energi. Meski demikian, Arief menambahkan, bambu harus diolah dengan cepat agar kandungan gula di dalamnya tidak justru terurai menjadi karbondioksida.
Menurut Agus Justianto, pemerintah dan sejumlah mitra telah mengembangkan program Seribu Desa Bambu. Program yang menggunakan dana dari International Tropical Timber Organization ini telah dilaksanakan di 18 lokasi di seluruh Indonesia.
Sayang, bantuan dana program ini telah berakhir tahun lalu. Ia berharap gerakan Seribu Desa Bambu bisa dilanjutkan mengingat potensinya yang besar baik dari sisi lingkungan maupun ekonomi.
Yayasan Bambu Lestari merupakan organisasi yang ikut menjalankan program Seribu Desa Bambu. Menurut Arief, Indonesia ditargetkan memiliki 2 juta hektare area bambu pada 2030.
Tanaman bambu, kata Arief, berguna bagi masyarakat karena bisa dipanen sepanjang tahun. “Masyarakat desa memerlukan komoditas yang bisa memberikan penghasilan dalam waktu cepat. Bambu bisa dipanen sepanjang tahun dengan teknik tebang pilihnya,” ujar dia.