Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Usai Penemuan Satwa Langka di Papua, Kini Kawasannya Ditanami Bambu

Pemerintah Provinsi Papua melakukan penanaman bibit bambu di daerah penyangga Cagar Alam Pegunungan Cycloop.

16 November 2023 | 16.51 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seekor echidna berjalan di tengah vegetasi di Pegunungan Cyclops, Papua, Indonesia 22 Juli 2023. Ekspedisi Cyclops/Handout via REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Provinsi Papua melakukan penanaman bibit bambu di daerah penyangga Cagar Alam Pegunungan Cycloop sebagai bagian dari upaya pemulihan lingkungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penjabat Gubernur Papua Muhammad Ridwan Rumasukun dalam sambutannya pada kegiatan penanaman bibit bambu di daerah penyangga Cagar Alam Pegunungan Cycloop di Sentani, Kamis, menyampaikan bahwa penanaman bambu ditujukan untuk membangun pagar alam Cagar Alam Pegunungan Cycloop. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kegiatan ini juga merupakan agenda penting Pemprov Papua dalam pemulihan lingkungan, yang mencakup kerja-kerja pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi yang dilakukan secara intensif, kontinyu, serta konsisten," kata Penjabat Gubernur dalam sambutan yang dibacakan oleh Pelaksana Tugas Asisten II Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah Provinsi Papua Suzana D Wanggai, Kamis, 16 November 2023, seperti dikutip Antara.

Dia mengatakan bahwa PT Freeport Indonesia memberikan 10.000 bibit bambu untuk mendukung upaya penyelamatan Cagar Alam Pegunungan Cycloop.

Bibit-bibit bambu itu, kata dia, ditanam di area penyangga sepanjang 78 kilometer mulai dari daerah Pasir Dua di Kota Jayapura sampai ke Kampung Maribu di Kabupaten Jayapura.

Ia menyampaikan bahwa pemerintah daerah berusaha melibatkan sektor swasta dan masyarakat dalam upaya pemulihan lingkungan serta konservasi flora dan fauna di Cagar Alam Pegunungan Cycloop. "Cagar Alam Cycloop memiliki nilai yang sangat strategis, karena sebagai sumber plasma nuftah, kaya akan keanekaragaman hayati flora dan fauna endemik Papua," katanya.

Sebagai daerah konservasi yang memiliki hutan dataran rendah, hutan pantai, hutan pegunungan rendah, hutan lumut, hutan ultrabasic, dan padang rumput sub-klimaks, menurut dia, Cagar Alam Pegunungan Cycloop juga berperan penting dalam penyerapan karbon dan penurunan emisi gas rumah kaca.

Sebelumnya, ilmuwan telah menemukan kembali spesies mamalia yang telah lama hilang dan digambarkan memiliki duri landak, moncong trenggiling, dan kaki tahi lalat, di Pegunungan Cyclops, Indonesia, lebih dari 60 tahun setelah terakhir kali tercatat.

Mengutip Reuters, Echidna berparuh panjang Attenborough, dinamai menurut nama naturalis Inggris David Attenborough, difoto untuk pertama kalinya dengan kamera jejak pada hari terakhir ekspedisi empat minggu yang dipimpin oleh para ilmuwan Universitas Oxford.

Setelah turun dari pegunungan di akhir perjalanan, ahli biologi James Kempton menemukan gambar makhluk kecil yang berjalan melalui semak-semak hutan pada kartu memori terakhir yang diambil dari lebih dari 80 kamera jarak jauh.

“Ada rasa euforia yang luar biasa, dan juga rasa lega setelah sekian lama berada di lapangan tanpa imbalan apa pun hingga hari terakhir,” katanya, menggambarkan momen pertama kali ia melihat rekaman tersebut bersama kolaborator dari kelompok konservasi Indonesia YAPPENDA.

"Saya berteriak kepada rekan-rekan saya yang masih tersisa... dan berkata 'kami menemukannya, kami menemukannya' - saya berlari dari meja saya ke ruang tamu dan memeluk mereka."

Echidna memiliki nama yang sama dengan makhluk mitologi Yunani setengah wanita dan setengah ular, dan digambarkan oleh tim sebagai makhluk pemalu, penghuni liang di malam hari yang terkenal sulit ditemukan.

“Alasan mengapa mamalia ini tampak berbeda dari mamalia lain adalah karena mereka merupakan anggota monotremata – kelompok bertelur yang terpisah dari mamalia lainnya sekitar 200 juta tahun yang lalu,” kata Kempton.

Spesies ini hanya tercatat satu kali secara ilmiah sebelumnya, oleh seorang ahli botani Belanda pada tahun 1961. Spesies echidna yang berbeda ditemukan di seluruh Australia dan dataran rendah New Guinea.

Tim Kempton selamat dari gempa bumi, malaria, dan bahkan lintah yang menempel di bola mata selama perjalanan mereka. Mereka bekerja sama dengan desa setempat Yongsu Sapari untuk menavigasi dan menjelajahi daerah terpencil di timur laut Papua.

Echidna tertanam dalam budaya lokal, termasuk tradisi yang menyatakan bahwa konflik diselesaikan dengan mengirim salah satu pihak yang berselisih ke hutan untuk mencari mamalia dan pihak lainnya ke laut untuk mencari ikan marlin, menurut tetua Yongsu Sapari yang dikutip oleh Universitas.

Kedua makhluk tersebut dianggap sangat sulit ditemukan sehingga memerlukan waktu puluhan tahun atau satu generasi untuk menemukannya. Namun, setelah ditemukan, hewan tersebut melambangkan berakhirnya konflik dan kembalinya hubungan harmonis.

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Sunu Dyantoro

Sunu Dyantoro

Memulai karier di Tempo sebagai koresponden Surabaya. Alumnus hubungan internasional Universitas Gadjah Mada ini menjadi penanggung jawab rubrik Wawancara dan Investigasi. Ia pernah meraih Anugerah Adiwarta 2011 dan 2102.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus