Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASAR finansial global sedang terguncang-guncang. Ini bukan cuma karena kenaikan rentang suku bunga The Federal Reserve, pekan lalu. Soal suku bunga, pasar sudah mengantisipasi kenaikan 0,25 persen itu sejak awal tahun. Yang terakhir membuat pasar terguncang adalah aksi Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Tak cukup dengan menaikkan tarif baja dan aluminium dua pekan lalu, Trump pada Kamis pekan lalu mengumumkan rencana penerapan tarif bea masuk baru sebesar 25 persen untuk barang impor dari Tiongkok. Soal barang apa saja yang terkena tarif, baru akan keluar pekan-pekan ini. Sasarannya berbagai barang buatan Cina yang total nilai impornya mencapai US$ 60 miliar setahun. Trump serius menabuh genderang perang dagang dengan Cina, yang langsung menyiapkan langkah balasan menerapkan tarif untuk 128 jenis barang impor dari Amerika.
Ini kejutan yang tidak menyenangkan pasar. Perang dagang adalah kabar buruk. Perdagangan mampat, berarti bisnis tersendat. Profit korporasi bakal merat. Tak mengherankan jika harga saham pelbagai perusahaan langsung terkerat. Pasar saham Indonesia pun terkena dampak. Hingga rehat makan siang, Jumat pekan lalu, indeks harga saham gabungan sudah merosot 1,73 persen pada hari itu saja.
Guncangan ini juga memerosotkan harga obligasi, yang sebelumnya sudah tertekan kenaikan bunga The Fed. Jika harga obligasi turun, imbal hasil atau yield naik. Yield obligasi pemerintah RI berjangka 10 tahun, yang menjadi patokan pasar, langsung merambat ke atas menjadi 6,851 persen pada Jumat pekan lalu. Sekadar perbandingan, yield ini pada awal tahun berkisar 6 persen saja.
Bagi Indonesia, guncangan eksternal seperti ini tak hanya berisiko besar bagi pasar. Ekonomi secara keseluruhan bisa turut terkena tohokan. Sebab, arus masuk investasi portofolio merupakan salah satu ganjal penting untuk menutup defisit neraca transaksi berjalan. Jika guncangan eksternal mengganggu masuknya dana, dampaknya langsung meluas ke semua lini ekonomi karena yang pertama terkena dampak adalah nilai tukar rupiah.
Pemerintah juga akan memikul beban tambahan yang tak kalah besar. Biaya bunga utang melonjak. Berutang pada pasar untuk membiayai anggaran bakal semakin mahal.
Harga minyak yang ikut-ikutan merambat naik juga menambah risiko datangnya guncangan eksternal. Harga minyak sudah nyaris menyentuh US$ 70 per barel. Padahal patokan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hanya US$ 48 per barel. Jika tak menaikkan harga bahan bakar minyak atau listrik, pilihan bagi pemerintah cuma dua: menambah subsidi energi atau membiarkan Pertamina dan PLN semakin berdarah-darah menanggung rugi.
Masih ada lagi faktor risiko yang dapat memicu guncangan eksternal. Selain berada di ambang perang dagang dengan Amerika, Cina harus mengatasi timbunan utang yang luar biasa besar. Data terakhir Bank of International Settlement menunjukkan rasio credit gap di Cina 16,7 persen terhadap produk domestik bruto, per kuartal ketiga 2017. Ini masih jauh di atas batas aman 9 persen.
Singkatnya, rasio credit gap yang terlampau besar menunjukkan pertumbuhan kredit yang kebablasan, jauh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonominya sendiri. Ini gejala awal munculnya krisis finansial. Masalahnya, pasar sudah memasukkan Indonesia dan Cina ke dalam satu keranjang. Jika ekonomi Tiongkok terpukul krisis, sudah pasti Indonesia turut terempas.
Investor harus menyadari berbagai risiko guncangan eksternal dapat muncul setiap saat tak terduga dari belahan bumi mana saja. Yang paling tidak nyaman bagi warga Indonesia ataupun investor di negeri ini, semua hanya mengambil ancang-ancang. Pemerintah atau siapa pun tak akan berdaya jika guncangan eksternal itu merontokkan pasar. l *) KONTRIBUTOR TEMPO
Yopie Hidayat- Kontributor Tempo
Kurs | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pekan sebelumnya |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 24 Maret 2018 PODCAST REKOMENDASI TEMPO ekonomi sinyal-pasar bisnis Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |