Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN spanduk berkelir dasar putih dan merah bertebaran di kantor pusat PT Pertamina (Persero), Jakarta, Kamis pekan lalu. Sudah lebih dari satu bulan kain-kain rentang itu terpampang. Bunyi kalimatnya galak. Ada juga yang meledek.
Di pintu masuk kantor yang berseberangan dengan Masjid Istiqal, salah satu spanduk mencibir Dewan Komisaris Pertamina: "Menteri BUMN Anggap Dewan Komisaris Pertamina Tidak Ada. Lebih Baik Kalian Mundur Saja". Adapun di pintu yang berhadapan dengan Stasiun Gambir, bunyinya mengajak menyelamatkan perusahaan minyak dan gas milik negara tersebut. "Spanduk-spanduk ini tidak hanya di kantor pusat, tapi juga kami pajang di kantor unit seluruh Indonesia," kata Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu Noviandri, Kamis pekan lalu.
Puluhan spanduk itu bertebaran setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno mengubah nomenklatur direksi Pertamina. Perubahan terjadi setelah rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) menyetujuinya pada 13 Februari 2018. Menurut Noviandri, Federasi tahu ada perubahan nomenklatur satu hari sebelum RUPSLB.
Merasa ada yang tak beres dalam perubahan itu, Federasi melakukan protes. Mereka juga menggugat Rini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada akhir Februari karena menerbitkan SK-39/MBU/02/2018 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, dan Pengalihan Tugas Anggota-anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina. Federasi merasa berhak menggugat karena, dalam perjanjian kerja bersama antara karyawan dan perusahaan, tercantum pasal yang menjamin Federasi boleh memberikan kajian dan masukan untuk mempertahankan kelangsungan bisnis perusahaan.
Dalam surat keputusan tersebut, Rini menghapus posisi direktur gas. Ia juga membelah posisi direktur peMassaran menjadi dua, yaitu direktur peMassaran retail dan direktur peMassaran korporat. Terakhir, Rini menciptakan posisi baru, yaitu direktur logistik, supply chain, dan infrastruktur. Walhasil, jumlah direktur Pertamina yang sebelumnya sembilan jadi sebelas. Novi menganggap perubahan ini justru membuat perusahaan tidak efisien. Berdasarkan hitungan kasar mereka, satu direktorat menyedot anggaran hingga US$ 1 juta per tahun.
Saat perubahan nomenklatur terjadi, isu ketidaksetujuan Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik beredar kencang. Indikasinya, Massa tidak hadir dalam RUPSLB di kantor Kementerian BUMN tersebut. Kepada Budiarti Utami Putri dari Tempo yang menemuinya di kantor Pertamina pada hari RUPSLB, Massa mengatakan perubahan nomenklatur bakal berimbas pada dunia investasi di Indonesia. "Yang dikhawatirkan soal certainty," ucap Massa. "Segala macam ini kan banyak urusan investasi luar negeri. Ini seharusnya mereka pertimbangkan."
Sehari setelah SK terbit, Novi menemui Massa. Seperti diceritakan ulang oleh Novi, saat itu Massa mengaku baru tahu tentang adanya rencana perubahan nomenklatur direksi empat hari sebelum RUPSLB. Itu pun dari Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng lewat sambungan telepon. Sedangkan SK perubahan nomenklatur direksi sudah diteken Rini satu hari sebelumnya, seperti yang tercantum dalam salinan yang diperoleh Tempo.
Seseorang yang mengetahui proses RUPSLB itu mengatakan Massa selanjutnya meminta waktu bertemu dengan Rini Soemarno sebelum rapat pemegang saham. Permintaan itu ditembuskan kepada Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Fajar Harry Sampurno dan Tanri Abeng. Massa, menurut pejabat tersebut, ingin mendapat alasan dan latar belakang perubahan nomenklatur. "Pak Massa tahu itu wewenang pemegang saham. Tapi dia sebagai penanggung jawab pelaksana perusahaan merasa perlu tahu alasannya," ujar pejabat tersebut. Rini tak menjawab permintaan Massa. Pertemuan keduanya tidak pernah terjadi.
Seusai RUPSLB, Massa selanjutnya mengadakan rapat direksi bersama dewan komisaris pada 14 Februari 2018. Rapat sepakat meminta waktu kepada Rini melakukan kajian implementasi perubahan nomenklatur. Kajian itu baru akan rampung pada 27 Maret 2018. "Setelah itu Pak Massa akan menentukan sikap. Mundur atau lanjut. ’Ini barang sudah enggak logis’," kata pejabat tersebut, menirukan ucapan Massa.
Versi berbeda datang dari Fajar Harry Sampurno. Massa, menurut Fajar, sudah dia beri tahu soal rencana perubahan nomenklatur itu seminggu sebelum RUPSLB. Kajian implementasi nomenklatur, kata Fajar, juga datang dari RUPS alias pemegang saham, bukan rapat direksi dan komisaris Pertamina.
Kajian implementasi termasuk menghitung berapa kebutuhan posisi senior vice president di tiap direktorat. "Kajian ini untuk mengimplementasikan, bukan kajian untuk menolak perubahan nomenklatur," tutur Fajar di kantornya di Jakarta, Kamis pekan lalu. Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng menargetkan sebelum 27 Maret kajian rampung dan langsung dibahas dewan komisaris. "Setelah pembahasan, baru kami serahkan ke Kementerian BUMN," kata Tanri lewat sambungan telepon.
Adapun tentang perkara direksi yang tidak diajak berembuk dalam rencana perubahan nomenklatur, Fajar mengakuinya. "Memang direktur harus diajak?" ucap Fajar. "Lagi pula Pak Massa secara resmi sudah bilang di DPR bahwa perubahan itu kewenangan pemegang saham."
Pembahasan perubahan, menurut Fajar, hanya melibatkan komisaris. Kementerian dan dewan komisaris membahasnya pada Desember 2017 dan Januari lalu. Namun tidak semua komisaris terlibat. "Cuma Pak Tanri Abeng-Komisaris Utama-yang ikut dari awal," ucap Fajar.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara termasuk komisaris Pertamina yang tidak diajak bicara. Seseorang di Pertamina mengatakan Suahasil sempat mengirim pesan WhatsApp kepada Tanri Abeng setelah tahu ada perubahan nomenklatur tersebut. Isinya mempertanyakan kenapa Tanri tidak memberi tahu dia soal rencana itu. Fajar mengakui memang Suahasil tidak diajak bicara. "Terserah komisarisnya. Pak Arcandra Tahar-Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral-juga enggak ada."
GONJANG-ganjing perubahan nomenklatur juga terjadi di parlemen, Rabu dua pekan lalu. Dalam rapat dengar pendapat itu, anggota Komisi VI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, mempertanyakan perubahan yang dibuat tanpa kajian lebih dulu. "Ini perubahan dulu, baru kajian," kata Rieke lewat sambungan telepon, Kamis pekan lalu.
Rini Soemarno, kepada awak media di kantor Kementerian Keuangan pada akhir Februari lalu, menyatakan perubahan nomenklatur direksi Pertamina dilakukan untuk meningkatkan bisnis hilir minyak dan gas. Rini menilai Pertamina sudah mumpuni di bisnis hulu. Kini Rini ingin meningkatkan kinerja Pertamina di hilir agar ada peningkatan layanan kepada masyarakat.
Perkara efisiensi, menurut Rini, bukan pada jumlah direksi, melainkan kinerja. Adapun dalam surat keputusan yang diteken Rini, salah satu pertimbangan dari perubahan itu adalah mempersiapkan pelaksanaan holding BUMN minyak dan gas, yaitu penyatuan PT Perusahaan Gas Negara dan PT Pertamina Gas di bawah kemudi Pertamina.
Kritik tidak hanya datang dari DPR, tapi juga dari Arie Soemarno, mantan Direktur Utama Pertamina sekaligus kakak Rini. Menurut Arie, perubahan nomenklatur wajar untuk menyesuaikan kebutuhan organisasi. Asalkan keputusan itu berdasarkan kajian mendalam. "Tapi perubahan nomenklatur sepihak tanpa melibatkan direksi atau dewan komisaris ini dangkal," kata Arie lewat pesan WhatsApp, Jumat pekan lalu. "Perubahan ini banyak ’politik’-nya."
Dua pejabat BUMN mengatakan perubahan nomenklatur ini buntut dari panas-dingin hubungan Rini dan Massa. Komunikasi Rini dan Massa disebut-sebut buruk. Dua pejabat itu bingung karena Rini dan Massa sebelumnya dikenal dekat. Pada 2006, Massa pernah menjadi Direktur Utama Pandega Citra, perusahaan properti pemilik Balikpapan Plaza, yang dipunyai keluarga Soemarno.
Panas-dingin hubungan Rini-Massa mengulang ketegangan yang terjadi antara Rini dan Direktur Utama Pertamina sebelumnya, Dwi Soetjipto. Pada akhir 2016, Rini menciptakan posisi Wakil Direktur Utama Pertamina yang memangkas kewenangan Dwi. Posisi tersebut kemudian diberikan kepada Ahmad Bambang-kini Deputi Bidang Usaha Konstruksi dan Sarana dan Prasarana Perhubungan Kementerian BUMN.
Dua pejabat di Pertamina mengatakan perubahan nomenklatur direksi itulah yang membuat Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik gerah. Sebelum itu, kata pejabat-pejabat tersebut, Massa sudah uring-uringan ketika proses penyatuan PGN ke Pertamina tidak banyak melibatkan direksi. Salah satunya, Pertamina tidak diberi kuasa dan kesempatan untuk menguliti kesehatan PGN yang kelak akan menjadi anak usahanya.
Due diligence terhadap PGN baru dilakukan setelah Pertamina memintanya. Massa, menurut pejabat tersebut, meyurati Kementerian BUMN untuk mendesak PGN membuka semua data keuangan perusahaan. Selain itu, Massa meminta jaminan punya kuasa menentukan direksi dan mengubah anggaran dasar PGN kelak, kendati Pertamina hanya diberi saham seri B. Massa, kata pejabat tersebut, meminta jaminan itu agar leluasa menjalankan rencana kerja dan mampu mencapai ketahanan energi nasional. Sambil tersenyum, Massa tidak menjawab sejumlah pertanyaan Tempo pada Rabu dua pekan lalu.
Adapun Fajar Harry Sampurno menjamin keputusan perubahan nomenklatur bukan perkara Massa dan Rini. Keputusan itu murni untuk memajukan Pertamina. "Mungkin iya tegang, mungkin juga tidak," kata Fajar. "Tapi saya tidak bisa mengkonfirmasi itu."
Sepanjang siang Jumat pekan lalu, Tempo melayangkan sejumlah pertanyaan kepada Rini melalui pesan WhatsApp. Rini tidak menjawab. Namun, pada sore harinya, Staf Khusus Menteri BUMN, Wianda Pusponegoro, lewat sambungan telepon mengatakan jawaban Fajar sudah mewakili Menteri BUMN.
Satu hari setelah RUPSLB perubahan nomenklatur, pengumuman dari manajemen Pertamina kepada para pekerjanya beredar. Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu Noviandri termasuk yang mendapat pesan itu. Penutup pesan itu berbunyi "Kepada seluruh pekerja agar tetap melaksanakan tugas dan pekerjaan seperti biasa, menjaga soliditas internal, sehingga semua target yang telah ditetapkan dapat tercapai".
Khairul Anam, Putri Adityowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo