Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Proses pembelian vaksin Pfizer-BioNTech oleh PT Bio Farma (Persero) masih bertahan di tahap finalisasi. Kendala muncul karena produsen vaksin meminta perjanjian pembelian dilakukan langsung secara business-to-government (B2G) dengan pemerintah Indonesia, bukan Bio Farma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebab, produsen meminta adanya klausul dalam perjanjian agar mereka terbebas atau dilepaskan dari klaim tuntutan hukum seandainya ada masalah saat program vaksinasi. Klausul ini yang belum bisa diterima Bio Farma sehingga masih dilakukan diskusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Karena kami ga mau mendapatkan semacam cek kosong saja," kata Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir dalam rapat bersama Komisi Kesehatan DPR di Jakarta pada Selasa, 12 Januari 2021.
Dalam rencana awal, Bio Farma akan membeli 50 juta dosis vaksin hasil kerja sama Pfizer (Amerika Serikat) dan BioNTech (Jerman) tersebut. Targetnya, pembelian bisa disepekati pertengahan Januari 2021 ini.
Tapi jika di Indonesia masih nego pembelian, maka di negara lain malah sudah berjalan. Mulai dari presiden Amerika terpilih Joe Biden hingga Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud telah disuntik dengan vaksin ini.
Di sisi lain, permintaan dari Pfizer-BioNTech ini berbeda dengan produsen vaksin lainnya seperti Sinovac Biotech Ltd dari Cina. Mereka bersedia melakukan kerja sama pembelian secara business-to-business (B2B) dengan Bio Farma pada 20 Agustus 2020 untuk ketersediaan 40 juta dosis vaksin Sinovac.
Sehingga pada 2020, sudah 3 juta vaksin Sinovac jadi yang masuk ke Indonesia. Lalu pada hari ini, datang lagi 15 juta dosis bulk atau bahan baku vaksin yang siap diproduksi Bio Farma menjadi vaksin.
Rabu besok, 13 Januari 2021, vaksin Sinovac ini akan mulai disuntikkan ke para penerima. Salah satunya Presiden Joko Widodo atau Jokowi.