KISAH usang itu tiap tahun selalu berulang, tak terkecuali sepanjang tahun ini. Bahan bakar minyak (BBM) sering mendadak menjadi barang langka. Akibatnya, di kota, orang terpaksa antre berjam-jam di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) hanya untuk mengisi tangki kendaraannya. Sementara itu, embok-embok di desa kembali menggunakan kayu bakar lantaran minyak tanah tiba-tiba menghilang dari pasaran. Kalaupun ada, harganya membubung tinggi hingga tak terjangkau kantong mereka.
Padahal pemakaian BBM nasional katanya sudah dihitung dengan saksama. Anehnya, kalkulasi itu kerap meleset. Tahun ini, para wakil rakyat di parlemen, misalnya, menghitung jatah BBM nasional cuma 3,7 juta kiloliter sebulan atau 52,7 juta kiloliter setahun. Namun, sampai Oktober saja pemakaiannya ternyata sudah mencapai 80 persen dari rencana semula. Bahkan guyuran minyak tambahan sebanyak 1,9 juta kiloliter pun segera hilang tak berbekas.
Apa sebabnya konsumsi BBM kerap tak klop dengan perencanaannya? Biang keroknya ternyata juga penyakit lama: penyelundupan dan pencurian BBM oleh industri. Penyelewengan itulah yang membuat jatah BBM buat rakyat jadi berkurang, sekaligus merugikan pemerintah. Soalnya, BBM yang dicolong itu mendapat subsidi agar harganya terjangkau rakyat. Asal tahu saja, untuk menyubsidi 3,7 juta kiloliter BBM itu, tiap bulan pemerintah mengeluarkan duit Rp 1 triliun.
Untuk soal subsidi, DPR dan pemerintah sudah sepakat memangkas sedikit demi sedikit. Soalnya, bila tidak, pada tahun 2003 diperkirakan pemasukan dari minyak bakal habis hanya untuk membiayai subsidi. Tapi, dalam hal penyelundupan dan pencurian BBM oleh industri, DPR dan pemerintah masih bersilang pendapat. Para wakil rakyat menganggap pemerintah belum berbuat banyak untuk menghentikan penyelewengan itu.
Tak aneh, DPR ngotot mematok angka konsumsi minyak nasional yang rendah dalam APBN. "Kami tak mau pemerintah memberi subsidi pada BBM yang diselundupkan," kata Ketua Komisi IX Benny Pasaribu. Tahun depan, misalnya, DPR mengusulkan tingkat konsumsi BBM cuma 55,01 juta kiloliter. Padahal Direktur Utama Pertamina Baihaki Hakim menghitung tahun depan kebutuhan BBM mencapai 56,7 juta kiloliter.
Sebaliknya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro berkilah sudah ada kemajuan dalam penanganan penyelundupan. Sepanjang tahun 2000-2001, Tim Terpadu BBM yang dibentuk pemerintah, misalnya, berhasil menyelamatkan uang negara Rp 348,3 miliar. Duit tersebut berasal dari temuan berupa penyelewengan dalam BBM industri, perkapalan, dan umum. Tapi, dibandingkan dengan kerugian yang setahunnya diperkirakan mencapai Rp 6 triliun, temuan tim itu memang baru ibarat gigitan nyamuk.
"Maklum, dong, staf saya cuma 38 orang," kata Slamet Singgih, ketua tim tersebut, menanggapi komentar atas kinerja timnya. Apalagi kewenangan yang dimilikinya juga terbatas. Hasil temuannya harus ditindaklanjuti oleh aparat yang lain. Nah, di sana, bolong-bolong masih terbuka. Slamet mengambil contoh, dari 36 kasus penangkapan kapal, yang dihukum cuma dua buah. "Itu pun cuma hukuman penjara 1 dan 3 bulan," katanya geram.
Yang tak kalah penting, kata Slamet, penyelundupan sulit dihindari bila BBM dalam negeri masih mendapat subsidi. Soalnya, bantuan itu membuat harga BBM Indonesia jauh lebih murah ketimbang di negeri-negeri jiran. Alhasil, tak aneh bila orang menjadi terangsang untuk melakukan penyelundupan.
Dalam bekerja, Slamet juga mengeluhkan keterlibatan oknum aparat dalam penyelewengan BBM. Oknum Pertamina, misalnya, enggan memberikan data distribusi BBM, yang tiap tiga bulan diperbarui. Ia pun mengaku tak habis pikir karena banyak lokasi pengoplosan dan penyelundupan BBM berdekatan dengan kantor ke-polisian setempat. "Kalau mereka benar-benar bekerja, tentu tahu ada kegiatan penyelundupan," ujarnya.
Nyatanya, aparat yang ditunjuk Slamet punya seribu satu alasan. Benny Pasaribu mengaku pernah menanyakan penindakan terhadap penyelewengan BBM itu kepada sejumlah pejabat, mulai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, petinggi TNI, Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, hingga kepala intelijen. Tapi mereka beralasan peralatan angkatan laut, kapal selam, dan kapal pengejar bea cukai tak memadai untuk menangkap penyelundup. Begitu pula helikopternya. "Banyak sekali alasan teknisnya," kata Benny.
Padahal Pertamina sudah memberi iming-iming yang menggiurkan. Tiap kali ditemukan pelanggaran, perusahaan minyak negara itu bakal memberikan 50 persen hasil temuannya untuk dana operasional dan pembelian peralatan. Nah, dengan tawaran itu, mestinya kendala teknis tadi bisa teratasi.
Pada akhirnya, kemauan menangkal penyelewengan BBM agaknya kembali ke persoalan tekad dan niat. Kalau tak memiliki tekad, punya fasilitas lengkap pun belum tentu akan bermanfaat. Kita lihat saja, apakah usaha Pertamina yang kini memberi warna BBM berbeda untuk umum dan industri bisa mengerem penyelundupan, yang telah bertahun-tahun dibiarkan merajalela.
Nugroho Dewanto, Rommy Fibri, I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini