KRISIS terbukti tak memukul semua bisnis. Ada beberapa usaha yang justru makin berkilau lantaran munculnya krisis moneter. Salah satunya adalah bisnis jual-beli duit alias money changer. Nilai tukar yang gonjang-ganjing adalah faktor yang membuat banyak orang makin sering memperjualbelikan valuta asing (valas). Ada yang menukar uang semata untuk keperluan bisnis, misalnya perusahaan ekspor-impor, ada pula yang sengaja untuk mengail keuntungan.
Tak mengherankan, sejak 1998 bisnis money changer menjamur. Perusahaan baru muncul di mana-mana. Di sepanjang Jalan Kwitang-Cikini di Jakarta Pusat saja kini bisa ditemukan belasan perusahaan penukaran uang. Belum lagi pedagang kagetan yang berjualan valas di pinggir jalan. Mereka seakan tak mau ketinggalan ingin ikut menikmati manisnya bisnis tersebut.
Maklum, tak peduli kurs naik atau turun, pedagang tetap bisa mengail laba. "Bisnis ini untungnya nyata, kontan lagi," kata Billy Siswanto, Direktur Utama PT Ayumas Agung, sebuah perusahaan valas di bilangan Kwitang. Dibandingkan dengan bisnis lain, usaha perdagangan valas pun relatif tak memiliki risiko. "Risiko tak tertagih tak ada," ujar Billy, yang pernah bekerja di sebuah industri manufaktur. Yang penting, katanya, si pengusaha mesti tetap berhati-hati, tidak terpancing untuk terlalu berspekulasi, yang bisa membuat keuntungan berbalik menjadi kerugian.
Salah satu puncak ledakan keuntungan pengusaha valas terjadi ketika kurs rupiah anjlok hingga Rp 15 ribu per dolar AS. Saat itu pemilik sebuah money changer di kawasan Kwitang-Cikini kabarnya sampai bisa membangun beberapa gedung kantor megah di Jakarta dan Bandung berkat kejatuhan rezeki nomplok itu.
Namun, di samping memberikan keuntungan, bisnis jual-beli duit juga menuntut pengorbanan yang besar. Layaknya petugas bagian treasury di bank, pengusaha money changer harus terus memelototi perubahan kurs dari menit ke menit. Tak jarang dalam sehari semalam para pengusaha hanya tidur empat jam. Soalnya, begitu pasar uang di Indonesia tutup, ia mesti tetap memantau pasar uang di Jepang, Amerika, dan Eropa, yang baru memulai sesi perdagangan.
Para saudagar sedikitnya mesti pula memiliki keterampilan dasar tentang analisis fundamental dan teknis dalam perdagangan valas. Mereka harus bisa melihat bagaimana gambaran kurs selama seminggu. Dari situ mereka memprediksi apakah kurs hari ini akan naik atau turun. Tak kalah penting, mereka harus punya telinga yang tajam untuk mendengar gosip-gosip yang bisa mendongkrak atau menurunkan nilai tukar. Misalnya bakal adanya peristiwa seperti demonstrasi atau kerusuhan. Pendeknya, pekerjaan itu menuntut mereka untuk tahan melek dan memiliki saraf baja.
Untungnya, sekarang ada teknologi modern yang memudahkan pekerjaan para saudagar valas. Pemantuan perubahan kurs bisa dilakukan dengan menggunakan jaringan semacam milik Reuters. Toh, itu saja belum cukup. Mereka tetap mesti melongok kurs antarpedagang valas untuk melihat perbandingan permintaan dan penawaran. Tak jarang, bila permintaan membanjir, mereka berani menjual valas dengan kurs lebih rendah ketimbang angka di layar monitor. Atau, dalam kasus lain, kerap permintaan tak ada tapi kurs terus bergerak. Nah, mereka harus berani mengira-ngira agar kurs yang dijual tetap laku.
Kelincahan itu diperlukan karena persaingan antarpedagang valas saat ini semakin ketat. Pedagang jalanan, misalnya, berani menjual valas dengan kurs Rp 5-Rp 10 lebih rendah dari pedagang valas resmi. Sementara itu, ongkos berbisnis kian terasa mahal. Dulu, sewaktu kurs dolar cuma sekitar Rp 2.500, keuntungan rata-rata yang diterima adalah Rp 25. Namun sekarang, dengan biaya rupiah yang makin banyak karena meroketnya dolar, keuntungan pedagang tampaknya tetap sebesar itu. Berapa persisnya, tak ada saudagar valas yang mau berterus terang soal perputaran uang. "Kalau diberikan, itu sama saja membuka rahasia dapur," begitu alasan mereka. Maklum, kalau volumenya ketahuan, pesaing akan bisa menerka berapa keuntungan yang mereka peroleh.
Agar bisa bertahan, para pedagang kini praktis bersaing dalam pelayanan. Toh, sekalipun bisnisnya berkutat dengan angka, pada akhirnya pelanggan adalah manusia. Maka, selain memberikan kurs yang bersaing, sentuhan pelayanan memang diperlukan agar pelanggan tak kabur ke tempat lain.
Nugroho Dewanto, Gita Widya Laksmini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini