HARRY POTTER AND THE SORCERER'S STONE
Produksi : Warner Bros
Sutradara : Chris Columbus
Skenario : Steve Kloves
Pemain : Daniel Radcliffe, Richard Harris, Robbie Coltrane
Di LANGIT biru Hogwarth, di atas sapu terbang itu, Harry Potter melesat terbang membawa kita ke sebuah dunia fantasi yang menggelegak. Dia berhasil menangkap bola emas itu! Dia memenangi permainan Quidditch! Dan semua penonton stadium serta penonton film Harry Potter ikut bertepuk tangan, ikut menjadi bagian dunia ciptaan J.K. Rowling yang telah menyihir 100 juta pembacanya di 200 negara.
Bagi 100 juta pembaca, tua, muda, dan anak-anak, Harry Potter adalah cahaya yang melesat dari langit. Dia menghidupkan sebuah fantasi, gelora dunia khayal. Begitu liar, begitu gila, sehingga seluruh dunia menahan napas ketika sutradara Chris Columbus diumumkan sebagai "pemenang" dari calon-calon sutradara lain (antara lain Brad Silberling, Rob Reiner, Wolfgang Petersen, Alan Parker, Terry Gilliam, dan Ivan Reitman). Bagaimana tidak? Dialah pencipta Home Alone serial satu dan dua, dan selanjutnya juga pernah membuat film-film yang mengucurkan air mata macam Stepmom dan "Mrs. Doubtfire. Meski nama Columbus adalah sebuah jaminan box-office (sesuatu yang sudah pasti diperkirakan, karena sukses penjualan buku Harry Potter dinyatakan pertama kali terjadi dalam sejarah penjualan buku di dunia), apakah dia bisa menerjemahkan novel yang dahsyat itu menjadi film yang sama dahsyatnya? Mari kita lihat.
Film ini dibuka dengan jalan panjang Privet Drive. Sebuah sosok berjanggut panjang putih, berwajah agung, dan memiliki sinar mata yang ramah itu mematikan lilin-lilin yang menerangi jalan. Seekor kucing kemudian menjelma menjadi seorang wanita berjubah hitam. Dan sebuah motor melayang di langit yang membawa sebungkah bayi. Mereka semua bersetuju bahwa sang bayi, Harry Potter, harus dititipkan—sementara—kepada sanak keluarganya, para muggles (orang biasa tanpa kekuatan sihir), hingga saatnya ia bisa diajak bergabung mendapatkan pendidikan sebagai penyihir di Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry.
Maka, cerita bergulir sesuai dengan novel Rowling jilid pertama, Harry Potter and the Philosopher's Stone (atau di AS lebih dikenal sebagai Harry Potter and the Sorcerer's Stone ). Artinya, betul-betul setia pada novel itu. Adegan berikutnya adalah Harry Potter, anak lelaki 11 tahun, sang yatim piatu yang hidup menderita di bawah naungan Paman Dursley, Bibi Petunia, dan sepupu Dudley. Dia hidup di lemari di bawah tangga dan dijauhkan dari sejarah hidupnya. Paman dan bibinya merahasiakan bahwa orang tua Potter sesungguhnya sepasang penyihir luar biasa yang mati di tangan kekuatan hitam—Lord Voldermort—dan peristiwa nahas itu meninggalkan tanda kilat di dahinya.
Adalah surat-surat yang beterbangan menghampiri rumah itu yang menggenang dan mengikuti ke mana pun mereka pergi, yang akhirnya membuka sebuah cahaya dalam kehidupan Potter: ia diundang untuk mengikuti pendidikan sihir di Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry! Bagaimana bisa? Siapakah dia sesungguhnya?
Tentu saja para pembaca buku ini sudah tahu jalan cerita ini dan seyogianya tak menemui kejutan apa pun kecuali ingin mengetahui bagaimana keindahan dan kegilaan Rowling merangkai kata itu diterjemahkan ke layar lebar. Memang dahsyat! Dari segi visualisasi, apa yang terbayang tentang permainan Quidditch—sebuah permainan yang kira-kira mirip sepak bola dan bola basket—di udara di atas sapu terbang; atau tentang anjing berkepala tiga; atau tentang kastil Hogwarts yang memiliki tangga-tangga yang berubah bentuk dan arah; atau foto-foto di dunia sihir yang obyeknya bergerak-gerak hidup; atau obyek lukisan di foto yang bisa saling mengunjungi itu adalah sebuah visualisasi yang luar biasa setia mengabdi pada deksripsi teks.
Kesetiaan ini tentu ada alasannya. Salah satunya, menurut sutradara Chris Columbus, adalah karena buku ini sudah dimiliki dunia. Dan jika sampai ada "penyelewengan" interpretasi, tamatlah riwayat mereka.
Itulah sebabnya J.K. Rowling, yang juga memegang sebagian persentase royalti hasil pemasaran film ini, diangkat sebagai konsultan film ini. Artinya, bukan saja dia selalu diajak berkonsultasi oleh penulis skenario Steve Kloves atau sutradara Columbus tentang bagaimana menggambarkan Invisibility Cloak atau bagaimana sketsa stadium Quidditch, tetapi lebih penting lagi Rowling sangat berperan dalam pemilihan peran tokoh-tokohnya. Adalah permintaan sang Pengarang—yang kini sudah menjadi selebriti internasional—bahwa Robbie Coltrane berperan sebagai Hagrid, Richard Harris sebagai kepala sekolah Prof. Dumbledore, dan Maggie Smith sebagai Prof. McGonagal. Rowling diminta ikut dalam semua per-temuan praproduksi dan detail tata artistik dengan satu alasan rasional: mereka, para pembuat film itu, betul-betul tak ingin menyelewengkan apa pun dari bukunya. Rowling sendiri bahkan mengusulkan, agar ratusan halaman itu bisa dipadatkan menjadi film sepanjang dua jam, mereka boleh menghilangkan beberapa karakter marginal seperti Peeves dan Pier.
Namun, tentu saja, dengan kedahsyatan visual itu, kesetiaan pada novel ini malah melahirkan problem yang lain. Dengan bimbingan Rowling yang begitu ketat dan "kekhawatiran" sutradara Columbus bahwa dia akan dihujat anak-anak sedunia—jika gagal membuat film ini—hasilnya adalah sebuah karnaval yang riuh pada sebuah kanvas. Film ini menampilkan begitu banyak persoalan tanpa penjelasan lisan ataupun verbal, sehingga banyak makna yang terlewat begitu saja. Misalnya, sapu terbang Nimbus 2000 itu tampil begitu saja tanpa keterangan mengenai kehebatannya sehingga mereka yang belum membaca buku Harry Potter tak akan paham kenapa sapu terbang ini begitu penting. Peran Naga Norbert, yang ditampilkan secara tanggung—naga itu lahir tapi tanpa penjelasan masalah ilegalnya sebuah naga di kota itu—juga akhirnya menjadi adegan mubazir. Pemilihan Daniel Radcliffe sebagai Harry Potter dan Emma Watson yang secara fisik terlalu manis dibanding deskripsi pada buku masih bisa ditoleransi, tapi akting Radcliffe yang belum tergarap itu akan mengganggu para pembaca Potter.
Di dalam buku, Potter digambarkan sebagai anak yang tertekan selama 10 tahun di bawah naungan keluarga yang kejam dan tak berperasaan dan tiba-tiba saja dia terlempar pada sebuah dunia fantasi yang luar biasa: jubah ajaib, sapu terbang, naga, kuda Unicorn, cebol penjaga bank. Karena itu, Potter versi buku Rowling digambarkan sebagai representasi anak lelaki yang takut, bingung, udik, dan senewenan. Radcliffe, seperti juga kedua pemain lainnya yang memerankan sahabat-sahabatnya—namanya juga anak-anak—masih terlihat menikmati film ini sebagai sebuah playground, sebuah arena untuk bermain.
Kelemahan yang terberat dari seluruh film ini adalah persoalan nuansa noir atau kegelapan, yang tak terkirim selama dua jam. Meski tata artistik dan seluruh properti sudah memenuhi keinginan teks, toh jiwa yang terbentuk dari pembentukan kata-kata tak mudah diterjemahkan dalam bentuk visual. Dan jiwa itu adalah kegelapan. Meski serial Harry Potter dianggap cerita anak-anak—yang digemari pembaca dewasa—Rowling tak enggan untuk mendeskripsikan kegelapan kekuatan sihir dan kepedihan emosional (terutama pada adegan Harry "bertemu" dengan bayangan orang tuanya melalui cermin Mirror of Erised). Kemampuan Rowling mengaduk dan membanting emosi pembaca belum tercapai Columbus sebagai sutradara.
Bagaimanapun, peredarannya sejak 16 November silam telah menunjukkan legenda komersial yang baru (setelah penjualan bukunya yang juga legendaris): inilah film yang meledak hanya dalam waktu seminggu (dan masih terus meledak, karena para penonton cilik bersikeras menontonnya dua atau tiga kali). Sementara Rowling tengah menyelesaikan buku Harry Potter kelima berjudul Harry Potter and the Order of Phoenix, yang konon akan setebal 909 halaman—dan sudah dipesan oleh para pembaca fanatiknya sejak setahun silam—Columbus dan Warner Bros tengah menyelesaikan serial kedua, Harry Potter and the Chamber of Secret. Dan legenda itu masih berlangsung.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini