TIBA-TIBA saja nama Harry Potter menjadi kosakata dunia. Diterjemahkan ke dalam 47 bahasa, terjual sebanyak 100 juta buah buku di 200 negara di dunia, siapa tak kenal nama ajaib ini? Bahkan The Asian Wall Street Journal melaporkan bahwa beberapa perusahaan komputer di AS sudah mulai menggunakan istilah-istilah buku Harry Potter, antara lain muggle (orang tanpa darah keturunan penyihir) dan squib (penyihir yang kemampuan sihirnya pas-pasan). Siapa gerangan yang beruntung atas kekuatan sihir itu? Tentu saja Joanne Kathleen Rowling, sang pencipta Harry.
Sebelum nama penyihir cilik tersebut mendunia, Rowling adalah janda dengan satu putri, Jessica, yang hidup pas-pasan dengan gajinya sebagai guru bahasa Inggris. Rowling, 35 tahun, kini tercatat sebagai salah satu penulis terkaya di dunia. Menurut daftar orang terkaya versi harian The Sunday Times, Rowling diper- kirakan sudah mengantongi tak kurang dari 65 juta poundsterling atau sekitar Rp 942,5 miliar.
Rowling tentu tak perlu tinggal di kamar di bawah tangga seperti Harry Potter. Tidak tanggung-tanggung, sebagai ganti tempat tinggalnya yang sederhana di Edinburgh, Rowling kini membeli Killichassie House di tepian Sungai Tray di Aberfeldy, Skotlandia. Rumah megah asri yang dibangun pada 1865 oleh seorang jenderal Skotlandia ini memiliki dua bangsal, ruang tamu, ruang makan, dan perpustakaan yang semuanya berukuran serba besar.
Yang juga ikut menangguk kekuatan sihir Harry Potter adalah para penerbit bukunya. Ketika buku pertamanya ditulis, nama Rowling sama sekali lepas dari pengamatan penerbit. Ia bisa menyelesaikan buku pertamanya, Harry Potter and The Sorcerer's Stone, dengan dana hibah dari Dewan Kesenian Skotlandia. Naskah ini dijual Rowling ke Bloomsbury dengan harga cuma US$ 3.300 atau sekitar Rp 33 juta. Buku ini mulai mengail perhatian ketika berhasil memperoleh The British Book Awards Children's Book of the Year (1997), Smarties Prize (1997), serta beberapa penghargaan lain di negara-negara Atlantik. Bloomsbury akhirnya memegang hak edar di berbagai negara, seperti Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Yunani, Finlandia, Denmark, Spanyol, dan Swedia.
Penerbit Scholastic, yang beroleh hak edar di Amerika Serikat, diperkirakan membukukan keuntungan bersih US$ 100 juta atau sekitar Rp 1 triliun untuk tiga seri pertama buku Harry Potter hingga 30 Juni tahun lalu. Untuk pembukuan tahun 2002, penerbit yang sudah berumur 80 tahun ini ditaksir akan mendapatkan tambahan pundi-pundi sebanyak US$ 75 juta atau sekitar Rp 750 miliar untuk peredaran buku keempat, The Goblet of Fire, serta penerbitan ulang kombinasi tiga buku sebelumnya. Di Amerika, penjualan Harry hanya kalah oleh penjualan kitab Injil.
Penerbit Indonesia juga menikmati berkah Harry. Listiana Srisanti, Kepala Divisi Produksi Fiksi Gramedia Pustaka Utama, menyebut Harry Potter sebagai karya terjemahan paling laris. Buku pertamanya laku 84.885 eksemplar, buku kedua 79.437 eksemplar, buku ketiga 76.482 eksemplar, sedangkan buku keempat laku 68.338 eksemplar. Dalam sejarah penerbit ini, hanya seri Lupus karya Hilman yang berhasil mengatasinya (terjual 2,65 juta eksemplar).
Listiana, yang juga bertindak selaku penerjemah keempat buku Harry, mengaku tak sempat mengontak Rowling. Karena itu, pada awalnya ia kesulitan menemukan padanan kata-kata dalam buku Rowling. Untuk buku keempat, ia lalu berinisiatif mengontak penerbit buku ini di Inggris, tapi mereka juga tidak tahu kata yang dimaksudkan Rowling. Akhirnya, Listiana membiarkannya kata-kata asli itu apa adanya. Dari keempat buku, seri pertama yang paling lama pengerjaannya, hampir satu tahun. "Setelah sambutan untuk buku pertama bagus, buku-buku berikutnya langsung saya kebut. Satu buku diselesaikan dalam waktu satu bulan," tutur Listiana.
Perusahaan suvenir seperti Fisher-Price dan Hasbro and Mattel juga berpesta. Mereka telah meluncurkan berbagai games Harry Potter dan produk lainnya, misalnya perlengkapan baju Harry, petualangan elektronik tiga dimensi Hogwart, permainan kereta api Hogwart, dan lego. Antrean penjualan mainan menjelang hari Natal pekan lalu di London telah menghasilkan puluhan anak yang menangis karena tak kebagian item Harry. Padahal harga yang tertera tidak murah. Lego Hogwart, misalnya, dihargai 79,99 poundsterling atau sekitar Rp 1,13 juta. Di Singapura, pernak-pernik Harry Potter diserbu oleh para penggemarnya.
Tentu yang paling menikmati manisnya berkah Harry adalah Warner Bros, produser film Harry. Sejak premier-nya pada 16 November lalu, film Harry Potter and the Sorcerer's Stone telah menghasilkan US$ 480 juta atau sekitar Rp 4,8 triliun untuk peredaran di seluruh dunia. Ongkos pembuatan film ini sendiri lumayan mahal, US$ 90 juta atau sekitar Rp 900 miliar, yang sebagian besar digunakan untuk ongkos efek spesial. Para aktornya dibayar sangat "bersahaja". Daniel Radcliffe sebagai pemeran utama cuma dibayar US$ 98 ribu atau sekitar Rp 980 juta. Bandingkan dengan Sherina, yang beroleh Rp 400 juta untuk membuat sebuah film iklan yang hanya beredar di tingkat lokal.
Bisa dipastikan pencapaian angka Harry Potter akan kian mengagumkan. Stasiun televisi ABC siap dengan dana US$ 100 juta untuk membeli hak tayang tiga film Harry. Sementara itu, perusahaan minuman ringan terbesar di dunia, Coca-Cola, telah menggelontorkan dana senilai 103 juta poundsterling atau sekitar Rp 1,4 triliun—konon ongkos promosi terbesar dalam sejarah—sebagai sponsor utama promosi film. Dana ini akan dipakai untuk membentuk sebuah komunitas baca, skema yang diminta khusus oleh Rowling. Menurut perjanjian, gambar Harry Potter tak akan muncul di kaleng Coca-Cola, sementara logo Coca-Cola pun tak akan muncul dalam film. Menurut Rowling, ia tak ingin imajinasi anak-anak terganggu karena komersialisasi citra global Harry Potter. Bukankah sudah terlambat untuk khawatir semacam itu, Madame Rowling?
Yusi A. Pareanom, Arif A. Kuswardono, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini