SEBUAH taksi Blue Bird melambat di Jalan Kwitang, Jakarta Pusat. Seorang lelaki berusia sekitar 35 tahun cekatan menghampiri mobil bercat biru itu. Sebuah kepala pria bule pun nongol dari jendela taksi. "Mau tukar uang, Mister?" tanya si pedagang valuta asing (valas). Tawaran itu segera disambut dengan pertanyaan tentang harga, dilanjutkan dengan tawar-menawar, hingga akhirnya kloplah harganya.
Si pria asing itu sejurus kemudian mengangsurkan beberapa lembar ratusan dolar untuk ditukar dengan sejumlah uang rupiah. Tidak ada tanda tangan kuitansi atau bukti apa pun. Transaksi pun usai. Keduanya langsung meninggalkan titik jual-beli. Si pedagang valas kembali duduk di bangku di pinggir jalan sambil menghitung uangnya. Taksi dengan penumpang bulenya itu pun langsung melesat.
Begitulah potret transaksi valas di Kwitang, money changer jalanan yang ramai didatangi pembeli sepanjang hari. Pelayanan ala money changer jalanan ini memang berbeda dengan money changer resmi. Tidak ada ruangan ber-AC, tak ada pegawai berpenampilan rapi dan wangi yang datang melayani nasabah. Di Kwitang, lokasi usaha penukaran uang cukup ditandai dengan papan atau karton bertuliskan tanda $. Ada pula yang berusaha membuat "papan nama" itu menjadi lebih menarik dengan memajang papan karton bergambar Evander Holyfield, petinju dunia yang menjadi model iklan baterai.
Namun, sebenarnya bukan papan nama baguslah yang menyedot konsumen datang ke Kwitang. Jam operasinya yang hingga 24 jam itulah yang antara lain membuat pedagang Kwitang lebih menarik ketimbang money changer resmi. Pendeknya, kapan pun konsumen mau melakukan transaksi, pedagang uang jalanan siap meladeninya. Para pedagang itu juga bisa menyediakan segala jenis mata uang, termasuk mata uang negara kecil. "Asal butuh atau jualnya banyak, kami bisa terima," ujar Afung, pria 30 tahun yang terlibat dalam perdagangan valas sejak krisis ekonomi mulai menerjang akhir 1997.
Selain itu, ada satu lagi kelebihan yang menguntungkan konsumen dari perdagangan valas jalanan. Di sini konsumen bisa menukarkan uang yang sudah lecek. Prosesnya pun mudah. Tidak ada pengecekan keaslian uang seperti biasa dilakukan money changer resmi—yang hanya mau menerima uang yang masih licin dan sudah lolos dari mesin pengecek keaslian uang. "Uang lecek dan robek akan tetap laku karena nanti larinya ke pasar gelap," ujar John, 42 tahun, pedagang valas yang dikenal dengan sebutan Babe.
Tentu saja semua kemudahan itu membawa risiko buat para pedagang. Sering mereka dikerjai orang yang berpura-pura akan membeli atau menjual uang asing. "Kelemahan orang sini, mudah kena tipu," kata Afung. Terkadang mereka dipanggil ke rumah tapi ternyata transaksi tidak jadi dilakukan. Ini masih belum apa-apa. Yang lebih apes, kadang kala pedagang mendapat uang palsu. Kalau sudah begitu, mereka pun tidak bisa mengusut pemilik uang palsu itu. Maklum, transaksi valas di jalanan ini tak memakai bukti jual-beli apa pun.
Toh, itu sudah dianggap risiko berdagang valas. Mereka tidak kapok. Padahal keuntungan pedagang kecil, apalagi calo, tidak se-berapa—meskipun uang yang beredar di Kwitang, menurut Afung, bisa puluhan ribu dolar AS per hari. Dari setiap transaksi per US$ 100, keuntungannya cuma sekitar Rp 6.000, yang kemudian dibagi kepada 3-4 orang anggota kelompok. Satu kelompok biasanya terdiri atas cukong alias pemodal dan 3-4 orang calo pencari pembeli atau penjual. "Gue saja cuma dapat Rp 1.000 per US$ 100," ujar Afung. Dengan upah sebesar itu, setiap hari Afung hanya bisa mengantongi Rp 15 ribu.
Menurut Afung, keuntungan yang diperoleh sekarang ini memang tidak seberapa. Konsumen kebanyakan sudah tahu fluktuasi rupiah sehingga bisa memperkirakan kapan harus menjual dan membeli dolar. Sebelum krisis menghebat, biasanya keuntungan yang masuk ke saku pedagang bisa sampai 50 persen dari selisih antara kurs resmi dan kurs jalanan. Sekarang, kata Afung, paling banter untungnya cuma 10 persen. Padahal margin yang dipatok para pedagang jalanan cuma tipis. Bila, misalnya, kurs di money changer resmi menunjukkan angka Rp 10.475 per dolar, pedagang di Kwitang menjual dolar dengan harga Rp 10.350-10.400.
Dengan margin yang setipis itu, mungkin saja konsumen banyak yang lebih merasa aman dan nyaman melakukan transaksi di gerai resmi. Namun, tentu tak semua konsumen seperti itu. Konsumen yang punya pengalaman seperti Nyonya Lutfi pastilah tak punya nyali ke money changer resmi. Suatu kali ibu itu secara tak sengaja menemukan US$ 100 yang sudah lecek di tasnya. Bingung mau diapakan, sementara ia kebetulan sedang perlu uang, Nyonya Lutfi datang ke Kwitang. Seperti mendapat rezeki mendadak saja ketika akhirnya ia mendapatkan Rp 1 juta hasil pertukaran uang yang lecek tersebut. Nah, karena konsumen semacam ini selalu ada saja, bisnis money changer jalanan tampaknya akan tetap bertahan.
Purwani D. Prabandari, Levianer Silalahi, Gita W. Laksmini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini