Soeharto lagi, Soeharto lagi. Skandal kredit Texmaco berujung pada Seoharto—sedikitnya pada tuduhan bahwa Soeharto berada di balik goro-goro itu. Ribut-ribut tindak kekerasan di Timor Timur juga membuat publik menoleh kepada Soeharto. Kini, geger pencairan kasbon likuiditas Bank Indonesia: akankah juga menyeret orang yang sama?
Menurut jadwal, pekan ini, DPR akan memanggil sejumlah pejabat tinggi negara, termasuk Soeharto, untuk dimintai keterangan. Bersama dengan Mar'ie Muhammad, Fuad Bawazier, Soedradjat Djiwandono, dan Syahril Sabirin, Soeharto akan diminta memberi penjelasan rinci soal pencairan dana talangan BI.
Seperti diketahui, sejak November 1997 hingga Mei 1998, sebanyak Rp 150 triliun lebih dana telah terkuras dari kas BI untuk menolong bank-bank yang saat itu sedang kehabisan duit. Menurut catatan TEMPO, ada empat bank yang menerima jumlah kasbon BI dalam jumlah raksasa (lihat tabel).
Namun, dari jumlah sebanyak itu, menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), cuma separuh yang bisa dipertanggungjawabkan. Selebihnya, Rp 80 triliun lebih, tak bisa direkomendasikan alias tak bisa dimintakan ganti ke pemerintah.
Empat Besar Bank Penerima Kasbon BI | BCA Bank Dagang Nasional Indonesia Bank Danamon Bank Umum Nasional | Rp 35 triliun Rp 28 triliun Rp 26 triliun Rp 7 triliun |
|
Menurut audit BPK, sebagian dari kasbon itu diberikan tanpa memperhatikan prinsip kehati-hatian. Misalnya, bank yang kehausan duit itu tetap saja dihujani kasbon kendati cadangan mereka minus terus. Menurut ketentuan, setiap bank harus memiliki simpanan cadangan di kas BI yang tak bisa diganggu gugat. Jika berkurang, simpanan itu mesti ditutup lagi paling telat sehari kemudian. Tapi, pada zaman itu, saldo bank bisa saja minus sampai lima hari, dan pinjaman tetap saja diberikan.
Bersalahkah bank sentral? Mungkin saja. Tapi seorang pejabat BI mengatakan, pada saat itu prinsip kehati-hatian tak bisa diterapkan. ''Situasinya darurat perang," katanya. Sejak 16 bank ditutup awal November 1997 (kala itu pemerintah belum menjamin kewajiban bank), kepercayaan publik kepada perbankan sedang berada di titik nol. Sudah begitu, nilai tukar rupiah terhadap dolar terus anjlok.
Bisa diduga, para penabung ramai-ramai mencairkan simpanannya di bank. Ada yang dipakai untuk membeli dolar (dan disimpan di bank asing atau bank pemerintah) ada pula yang sekadar disimpan di bawah bantal. Akibatnya, uang bank terkuras habis. Ketika itulah, ''Kami diberi misi tunggal untuk menyelamatkan bank," kata sumber TEMPO. Setiap ada bank yang kehabisan dana, langsung diinjeksi.
Memang betul, tak semua penarikan simpanan nasabah bisa diladeni. Bagi bank-bank yang sudah dirawat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), ada peraturan khusus. Para pengelola, pemilik, dan pihak-pihak yang terafiliasi dilarang ikut-ikutan mencairkan tabungan. Mereka harus tetap menyimpan uang dalam bank yang sedang megap-megap itu.
Tapi, apa mau dikata. Dalam gelombang rush yang datang bertubi-tubi, penarikan oleh pihak-pihak terafiliasi tak terhindarkan. Dan celakanya, praktek ini tak terkontrol oleh bank sentral. Seorang analis industri perbankan malah mencatat, sejumlah bank besar di negeri ini justru ''dibobol" pemiliknya sendiri. Konon, dana hasil pencairan ini sebagian besar dibelikan dolar sehingga rupiah jatuh makin ke dasar.
Dalam hal pencairan dana pihak terafiliasi inilah nama Soeharto dan kelompok usaha Salim, ketika itu, disebut-sebut. Sebagai pemain pasar keuangan, mereka dianggap sebagai salah satu penarik dana terbesar dari BCA. Tapi, benar tidaknya cerita ini belum bisa dikonfirmasi. Kita berharap, moga-moga saja pemanggilan Soeharto ke DPR bisa membongkar soal ini lebih dalam.
Tapi seorang ekonom pesimistis dengan harapan itu. Kalau melihat kasus-kasus lain yang langsung ''padam" begitu nama Soeharto ikut terserempet, ia yakin, kali ini pun orang kuat itu akan lolos. Barangkali inilah saatnya pelesetan SDSB muncul lagi. Barangkali bukan Soeharto Dalang Segala Bencana seperti pernah dipopulerkan tokoh demonstran Nuku Sulaiman, tapi Soeharto Datang Semua Beres….
Dwi Setyo, Agung Rulianto, Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini