Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Beli tapi Jangan Borong

Harga rumah di Jabotabek merambat naik. Tips membeli rumah secara bijaksana.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESIBUKAN itu mulai menggeliat. Kantor pemasaran sebuah kawasan perumahan di Bekasi Timur tampak mulai hidup—setelah hampir dua tahun terbenam kesunyian. Calon pembeli datang silih berganti. Telepon tak berhenti berdering. Data penjualan memang tak langsung menanjak seperti dua atau tiga tahun lalu. Tapi, "Paling tidak, kami bisa menjual 15-20 unit rumah baru setiap bulan," kata seorang staf pemasaran developer Perumahan Bumi Anggrek di Bekasi Timur. Dan kehidupan agaknya tidak cuma hinggap di Bekasi. Di sebagian kawasan permukiman di Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi), denyut itu juga mulai terasa. Sebagai respons besarnya permintaan, tak aneh, harga rumah mulai merambat naik—terutama di kawasan yang stoknya sudah habis. Di Bumi Anggrek tadi, misalnya, harga rumah naik 15 persen. Begitu pula beberapa perumahan di Depok dan Sawangan. Pukul rata, harga rumah baru di wilayah Bekasi dan Depok naik 10 sampai 15 persen. Diperkirakan, permintaan rumah akan terus naik tahun ini. Hasil kajian Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) menunjukkan penjualan rumah baru akan menanjak. Kenaikan permintaan yang tertinggi terjadi pada rumah kelas menengah, yang harganya Rp 45 juta-Rp 60 juta, sedangkan yang terendah terjadi di rumah-rumah kelas atas. Tapi itu di wilayah "dalam" Jabotabek. Di kawasan yang lebih "remote" di pinggiran, situasinya jauh berbeda. Pasar rumah di Cileungsi, Cibubur, Karawaci, Balaraja, Cimone, dan Cikarang masih belum beranjak naik. Bahkan, harga rumah di beberapa kawasan malah masih terdiskon 20-30 persen ketimbang harga akhir 1998. Di Limus Pratama Regensi, Cileungsi, misalnya, harga rumahnya masih sama dengan setahun lalu. Padahal, pesanan rumah di sana terus bertambah. Tapi, karena stoknya masih bertumpuk, developernya tak berani menaikkan harga. Meski demikian, secara umum, permintaan rumah tetap naik. Menurut PSPI, angka nasional rata-rata kenaikan penjualan rumah tahun ini akan mencapai 68 persen. Ini jelas titik balik yang amat mengejutkan. Soalnya, pada tahun lalu, pasar rumah anjlok sampai 50 persen. Agaknya, titik terendah bisnis perumahan sudah lewat. Harus diakui, denyut permintaan rumah banyak disetrum kredit perbankan. Kendati nilainya masih terbatas, sejumlah bank, seperti Bank Internasional Indonesia, Bank Tabungan Negara, dan Danamon, mulai mengalirkan kredit kepemilikan rumah—dengan bunga cukup rendah. Beberapa developer juga masih menyediakan kredit sendiri untuk mendongkrak permintaan. Pertanyaannya: kapan saat yang tepat untuk membeli rumah? Melihat geliat harga yang cenderung makin cepat, ada sejumlah indikator yang harus diperhatikan. Pertama, kenaikan harga tertinggi akan terjadi pada rumah tipe kecil. Besarnya kenaikan harga rumah tipe kecil disebabkan oleh daya serap pasarnya yang begitu tinggi. Tingkat penjualan rumah sederhana sampai menengah (di bawah Rp 75 juta) mencapai 65 persen dari total penjualan rumah. Selain itu, kenaikan harga rumah sangat sederhana telah ikut mendorong naiknya harga rumah tipe kecil. Juli tahun lalu, pemerintah menetapkan patokan kenaikan harga rumah tipe 21 meter persegi sebesar 25 persen. Karena dorongan ini, tak mengherankan jika sejak pertengahan 1999 harga rumah sederhana dan rumah kecil sudah naik lumayan tinggi. Kendati demikian, kenaikan harga rumah tipe kecil tetap terjadi tahun ini. Bagi yang punya duit dan berniat untuk berinvestasi di rumah tinggal, agaknya tak tepat menahan uangnya di bank berlama-lama—karena harga rumah kecil sampai menengah akan terus naik, seiring dengan meningkatnya permintaan. Belilah, mumpung harga belum kelewat menanjak. Lalu, bagaimana dengan rumah-rumah tipe menengah sampai besar? Saat ini, harga rumah menengah ke atas, terutama yang harganya di atas Rp 75 juta, cenderung tetap—kalaupun naik, tak seberapa. Bahkan, rumah yang harganya di atas Rp 150 juta malah cenderung turun. Menurut Direktur PSPI, Panangian Simanungkalit, itu terjadi karena jumlah rumah stok untuk kelas menengah sampai atas masih cukup besar. Maklum, pasar kelas inilah yang paling banyak terpukul oleh krisis ekonomi. Panangian memperkirakan, titik terendah permintaan rumah kelas menengah ke atas baru tercapai pertengahan tahun ini. Meski demikian, boleh jadi rumah "kelas atas" ini akan ikut terserempet trend kenaikan harga di segmen rumah sederhana. Karena itu, ada juga kemungkinan harga rumah kelas ini sudah akan naik sebelum titik terendah itu tercapai. "Jadi," kata Panangian, "kini juga saat yang tepat untuk mulai mengoleksi rumah di atas Rp 75 juta." Kedua, selain kelas rumah, faktor lokasi dan akses ke Jakarta tetap menjadi pertimbangan utama. Kedua faktor ini akan menentukan harga jual kembalinya, kelak. Makin bagus lokasinya dan makin mudah aksesnya ke Jakarta, konsumen makin tak khawatir harga rumahnya bakal jeblok. Karena itu, Panangian memperkirakan, harga rumah di Tangerang akan berlari paling cepat ketimbang yang lain—meskipun sekarang masih tenang-tenang saja. Soalnya, Tangerang dan juga Bekasi memiliki fasilitas umum yang lebih baik ketimbang daerah lain, terlebih dengan munculnya kota-kota baru di dua kawasan itu. Sebaliknya Bogor: pertumbuhannya akan macet karena penyediaan fasilitas umumnya tak sebaik dan secepat dua daerah tadi. Tapi jangan terlalu berharap investasi Anda di rumah tinggal akan melaju cepat. Harus diakui, pertumbuhan pasar perumahan tetap bergantung pada kondisi perbankan. Jika kesehatannya tak juga membaik, sulit membayangkan bagaimana sektor perumahan bangkit dengan cepat. Saat ini, perbankan begitu selektif dalam memberikan pinjaman. Kalaupun ada kredit yang cair, rata-rata jumlahnya masih di bawah Rp 100 miliar. Ini menyulitkan developer besar untuk melakukan ekspansi. Repotnya lagi, banyak developer yang kreditnya nyangkut alias macet tak terbayar. Sejauh ini, jurus rekabangun utang perusahaan properti di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) jalan di tempat. Kelambanan ini tidak cuma membuat developer tak mampu membangun rumah lagi, tapi juga membuat mereka tak mudah menjual produknya. Soalnya, sertifikat bukti hak rumah developer itu tertahan di BPPN sebagai barang sitaan. Konsumen jelas ogah membeli jika tak ada jaminan bahwa sertifikatnya bisa diperoleh. Pantas saja pasar properti baru terjaga, belum lagi berlari. M. Taufiqurohman dan Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus