DOKUMEN itu terbang sudah keWashington. Dengan tanda tangan tiga menteri, panduan program ekonomi Indonesia ini akan diajukan ke Sidang Eksekutif IMF, 4 Februari mendatang. Diharapkan, jika semuanya lancar dan sesuai dengan jadwal, pertengahan Maret nanti IMF sudah merespons dokumen itu dengan mencairkan pinjaman senilai US$ 400 juta.
Menurut Perwakilan Senior IMF di Indonesia, John Dodsworth, selama tiga tahun ke depan, lembaga keuangan internasional itu menyiapkan pinjaman tidak kurang dari US$ 5 miliar untuk membantu Indonesia. Dana puluhan triliun rupiah itu akan dicairkan dalam 14 tahap.
Pada tahun pertama, pencairan dilakukan setiap dua bulan, sementara pada tahun ketiga dan keempat setiap triwulan. Tapi, itu semua dengan catatan, ''jika Dewan Eksekutif IMF menyetujui rencana aksi rehabilitasi dan pemulihan ekonomi tersebut."
Jika tidak, bukan cuma pinjaman IMF yang tertunda, lembaga-lembaga multilateral yang lain juga akan ikut-ikutan menunda pencairan pinjamannya ke Indonesia. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia sudah pasti akan mengikuti langkah IMF. Begitu juga negara-negara donor, bahkan investor asing. Bagai dikomando, mereka serentak memalingkan mukanya dari Indonesia.
Di atas kertas, peluang memang sangat besar. Maklum sajalah, dokumen yang mirip ''proposal kredit" itu disusun dengan asistensi ketat dari krediturnya sendiri. Ibaratnya mau mengambil pinjaman bank, nasabah tinggal terima bersih—segala macam dokumen permohonan kreditnya sudah disiapkan para pegawai bank.
Namun, kemungkinan gagal bukan tidak ada. Seperti diakui Direktur IMF urusan Asia-Pasifik, Hubert Neiss, rencana aksi rehabilitasi dan pemulihan ekonomi Indonesia itu, ''belum tentu bisa diterima."
Wakil Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Mohamad Ikhsan, juga melihat kemungkinan yang sama. Menurut Ikhsan, tanda-tanda kegagalan proposal kredit dari Indonesia itu tampak dari memburuknya tingkat kepercayaan IMF terhadap pemerintah.
Hal ini tampak dari rencana aksi yang disusun dengan amat rinci, ketat, dan amat teknis. Saking detailnya, boleh dibilang, hampir tak ada celah bagi para petinggi ekonomi kita untuk melakukan improvisasi dalam menciptakan program. ''Masa, jadwal rapat pemegang saham bank pemerintah saja sampai ditentukan tanggalnya," kata Ikhsan.
Ikhsan memberikan sejumlah gambaran. Daftar program dan target ekonomi, yang sering secara salah kaprah disebut letter of intent itu, kali ini berisi 98 item yang terangkum dalam 35 halaman. Padahal, pada awal masa krisis, Presiden Soeharto hanya meneken 50 poin kesepakatan dalam 13 halaman ketika memulai perjanjian kerja sama dengan IMF, dua tahun lalu.
Rincian ini menunjukkan, IMF tak mau kecolongan untuk kedua kalinya. Rupanya, sejak skandal Bank Bali meletup, IMF semakin ketat mengawasi gerak-gerik pemerintah. Maklum saja, hingga hari ini, setengah tahun setelah skandal cessie senilai Rp 900 miliar lebih itu meledak, penanganan kasus itu sangat lamban.
Sejauh ini cuma pengusaha Joko S. Tjandra yang ditahan. Tokoh-tokoh politik yang diduga ikut terlibat seperti Tanri Abeng, Setya Novanto, dan Baramuli tetap berkeliaran dengan bebasnya—seperti tak tersentuh tangan keadilan. ''Mereka tak percaya lagi dengan bangsa maling seperti kita," kata Ikhsan.
Pengalaman Bank Bali agaknya membuat IMF jadi lebih prudent alias berhati-hati jika berurusan dengan para pejabat Indonesia. Tak seperti biasanya, hasil dari Sidang Eksekutif IMF itu, kata Neiss, ''baru bisa diketahui tiga pekan lagi." (Lihat: boks)
Selain soal kelambanan penanganan skandal Bank Bali, ada beberapa perkara yang kabarnya membuat sejumlah petinggi IMF di Washington gusar. Salah satunya yang paling menonjol menyangkut dugaan adanya perlakuan istimewa terhadap Bank Putera Multikarsa.
Awal Desember lalu, bank milik pengusaha beken Marimutu Sinivasan itu diserbu nasabah yang mau mencairkan tabungan. Bank Putera kena rush. Nasabah Bank Putera rupanya khawatir, kasus megakredit macet senilai Rp 9,8 triliun, yang diterima Sinivasan melalui Texmaco, berpotensi membahayakan posisi bank papan tengah itu.
Untuk menanggulangi pencairan tabungan dari nasabah dan bank kreditur, Bank Putera terpaksa menguras cadangan giro wajib yang mereka simpan di bank sentral. Kala itu, tercatat ada Rp 700 miliar dana segar yang harus segera dibayarkan Bank Putera.
Karena cadangan tak mencukupi, Bank Putera terpaksa menarik dana talangan dari Bank Indonesia (BI) sampai senilai Rp 280 miliar. Rupanya, kasbon ini dianggap kelewat besar untuk Bank Putera. Untuk itu, BI menyerahkan Bank Putera untuk segera dirawat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Ceritanya belum tamat karena Sinivasan berusaha keras agar banknya bisa segera dikeluarkan dari rumah sakit BPPN. Ini bukan keinginan yang terlarang. Boleh-boleh saja, asal ia punya cukup dana untuk menutup pinjaman di BI dan menduiti operasional Bank Putera.
Namun, menurut yang punya cerita, Sinivasan bukan menyuntik modal ke Bank Putera. Yang dilakukan pengusaha asal Tamil ini hanyalah sowan alias mendatangi Gus Dur. Menurut sumber TEMPO, Sinivasan minta tolong agar Bank Putera diselamatkan.
Alasannya, bank ini terkait dengan pembayaran gaji ribuan karyawan Texmaco, yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di antara para buruh itu, ''adalah para jamaah Nahdlatul Ulama," kata sumber TEMPO, mengutip alasan Sinivasan.
Rupanya, lobi ini cukup ampuh. Sebulan lebih setelah dirawat di BPPN, Bank Putera dipulangkan dari rumah sakit dan dibolehkan melakukan kliring, pekan lalu. Manuver penyelamatan inilah yang rupanya merisaukan para petinggi IMF.
Sejauh ini, kabar misi penyelamatan Bank Putera itu memang belum mendapat konfirmasi. Kepada TEMPO, kalangan dekat istana tak mau membantah ataupun membenarkan selentingan itu. Tapi, bantahan datang dari Direktur Utama Bank Putera, Masyhud Ali. ''Tak masuk akal cara-cara seperti itu," kata bankir yang sudah bertahun-tahun digaji Sinivasan ini.
Masyhud bukan tak punya argumen. Katanya, BPPN telah menempatkan 40 auditor independen untuk mengawasi operasional Bank Putera. Para auditor independen inilah, katanya, yang memutuskan Bank Putera layak maju kliring lagi—dan bukannya lobi Sinivasan. Lagi pula, kalau memang ada hubungan khusus dengan penguasa, ''Kenapa kami dibiarkan stop kliring lebih dari satu bulan?" katanya.
Harus diakui, benar-tidaknya kasus Bank Putera masih samar-samar. Tapi, setidaknya kabar angin kerisauan para petinggi IMF itu akan menjadi lampu kuning bagi siapa pun yang mau mencoba-coba bermain mata.
Dengan posisi keuangan negara yang amat tergantung pada utang luar negeri, adalah tidak mungkin untuk mempermainkan kepercayaan IMF. Begitu tercium bau busuk penyimpangan, negara-negara pengutang dengan cepat akan menutup keran duit ke Indonesia. Dan ini akan diikuti oleh bank-bank komersial, yang akan segera memutus hubungan bisnisnya dengan bank-bank di Indonesia.
Mardiyah Chamim, Agus Riyanto, IG.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini