Keputusan mengubah tagihan utang menjadi penyertaan saham ke Chandra Asri memang belum final. Jadi tidaknya konversi utang itu masih tergantung banyak hal, misalnya soal kesepakatan hitung-hitungan itu: berapa persen saham akan diberikan kepada pemerintah sebagai ganti utang US$ 2,7 miliar? Sejumlah analis industri petrokimia meragukan apakah nilai Chandra Asri saat ini bisa menyamai utang puluhan triliun rupiah itu.
Menurut hitungan mereka, nilai proyek yang menghabiskan investasi US$ 1,88 miliar ini malah sudah semakin merosot. Memang benar, Chandra Asri punya keuntungan sebagai satu-satunya produsen olefin (bahan baku plastik) yang sudah beroperasi di Indonesia. Para pesaing baru dipastikan bakal kesulitan memasuki bisnis ini karena investasinya yang begitu mahal. Kelompok Tirtamas dan Salim, yang berencana membangun industri serupa, sejak krisis meletup, menunda proyek-proyeknya hingga waktu yang tak bisa ditentukan.
Tapi para analis menghitung, nilai lebih itu tak bakal banyak mendongkrak harga jual Chandra Asri. Mereka lebih khawatir dengan prospek Chandra Asri yang masih muram hingga lima bahkan sepuluh tahun mendatang. Sejak krisis, konsumsi bahan baku plastik menurun sehingga tingkat penjualan terus merosot. Akibatnya, kapasitas produksi yang terpakai juga makin merayap turun. Hari-hari ini, Chandra Asri beroperasi kurang dari 70 persen kapasitas. Pemborosan ini tentu saja akan menaikkan biaya, menggerus keuntungan, dan akhirnya membobol modal yang makin hari memang makin berkurang.
Selain itu, yang lebih membuat khawatir para analis, tingkat investasi awal Chandra Asri, dibandingkan dengan industri sejenis di luar negeri, dinilai kelewat mahal. Besarnya kebutuhan modal Chandra Asri ini sempat menjadi tanda tanya besar. Menurut sejumlah sumber, melambungnya investasi Chandra Asri disebabkan karena megaproyek ini kesetrum hantu mark-up. Maksudnya, para pemilik sengaja menaikkan nilai proyek menjadi lebih tinggi untuk pelbagai keperluan.
Para pemilik Chandra Asri memang telah membantah dugaan ini. Diakui, investasi awal Chandra Asri memang lebih mahal ketimbang industri sejenis di luar negeri. Tapi bukan karena praktek mark-up, melainkan gara-gara keterlambatan proyek, sehingga Chandra Asri harus membangun sendiri pembangkit listrik dan membayar tambahan bunga.
Namun, apa pun sebabnya, para analis mempertanyakan, apakah sebuah industri yang sudah boros modal sejak awal masih bisa bersaing. Tanpa memiliki tingkat efisiensi yang setara dengan industri sejenis di luar negeri, keunggulan Chandra Asri sebagai satu-satunya produsen olefin di Indonesia tak akan berguna lagi. Apalagi jika era perdagangan bebas datang kelak, Chandra Asri bakal mudah dilibas.
Pelbagai petimbangan itu memaksa para analis enggan memberi nilai lebih pada Chandra Asri. Menurut mereka, pinjaman US$ 2,7 miliar terlalu besar untuk ditukar dengan saham industri petrokimia itu, "Seratus persen sekalipun."
DSI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini