Lama tak kelihatan, Prajogo Pangestu tiba-tiba nongol di Istana Merdeka, Kamis pekan lalu. Bos konglomerat yang dikenal sangat dekat dengan Keluarga Cendana itu kini bertemu dengan pengganti Soeharto, Presiden B.J. Habibie. Kok, tumben betul, apa ada proyek baru, Pak Prajogo?
Dari mulut Prajogo, tak ada keterangan yang meyakinkan. Seperti biasa, pengusaha klimis itu cuma mesam-mesem. Jawaban baru datang belakangan dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan, yang ikut serta dalam pertemuan itu. Menurut Rahardi, pemerintah berniat membenahi perusahaan-perusahaan yang "diserahkan" ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Seperti diketahui, akhir Maret lalu, tujuh bank BUMN menyerahkan 1.200 rekening utang yang macet kepada BPPN (lihat Cukong Baru, Siap Dikorup). Tagihan berjumlah Rp 100 triliun lebih ini berasal dari tunggakan kredit dari 800 perusahaan milik sekitar 200 orang debitur kakap.
Salah satu dari 800 perusahaan ini adalah Chandra Asri, perusahaan patungan Prajogo, Bambang Trihatmodjo, dengan beberapa perusahaan dagang Jepang. Menurut data yang diterima TEMPO, pabrik petrokimia yang membuat bahan baku plastik ini punya utang US$ 2,7 miliar ke sejumlah bank pemerintah. Sudah lebih dari setahun terakhir, kata seorang bankir pemerintah, "Chandra Asri tak lagi membayar cicilan."
Nah, untuk membenahi kemacetan utang ini, menurut Rahardi, pemerintah sedang mempelajari satu skenario, yaitu dengan mengubah utang yang macet itu menjadi penyertaan modal. Dalam dunia bisnis, langkah ini dikenal sebagai debt to equity swap. Artinya, pemerintah akan berganti peran, dari pemberi pinjaman menjadi pemilik perusahaan. Jika kalkulasinya disetujui, sebagian saham Chandra Asri akan dimiliki pemerintah sebagai ganti pembayaran utang yang macet itu.
Jadi tidaknya konversi utang dengan penyertaan modal ini memang masih tergantung banyak hal (lihat boks: Sorry, tak Ada Nilai Lebih). Tapi semangat pejabat pemerintah yang pagi-pagi sudah berniat mengambil oper saham Chandra Asri dianggap sebagai satu petunjuk bahwa para debitur kakap tak dikenai ancaman hukum yang berarti. Sekalipun utang mereka yang puluhan triliun itu macet tak terbayar, mereka bisa melenggang begitu saja tanpa tersentuh sanksi pidana.
Kendati ada aturannya, pelaksanaan ancaman hukum bagi para debitur (penerima kredit) selama ini memang terlihat lebih longgar ketimbang ancaman kepada para bankir (pemberi kredit). Padahal, keduanya punya andil yang setara terhadap kemungkinan penyalahgunaan uang masyarakat yang disimpan di bank.
Jika sebuah bank ditutup (karena modalnya habis tererosi kredit macet), misalnya, para pemilik bank harus membayar seluruh kewajiban yang belum bisa ditutup kekayaan bank. Sebelum tanggungannya lunas, mereka bisa kena cekal seperti yang sekarang menimpa 172 bankir. Tak hanya itu. Salah-salah, mereka juga bisa diseret ke pengadilan dengan pelbagai tuduhan pidana, misalnya menggangsir bank sendiri dengan mencairkan kredit kepada perusahaan sendiri melebihi batas yang ditentukan, atau (biasanya bersama-sama debitur) memanipulasi nilai kredit.
Sementara itu para peminjam seperti tak kena risiko apa pun. Kalaupun akhirnya diproses, debitur paling banter menghadapi ancaman vonis bangkrut pengadilan niaga. Perusahaan ditutup, aset-asetnya dijual untuk menutupi kewajiban. Kalau cukup, alhamdulillah, kalau tidak, ya sudah. Kalau berlebih, mereka masih bisa ikut menikmati sisanya. Enteng, kan?
Sebenarnya, menurut peraturan, para peminjam juga punya peluang untuk diadili dengan tuduhan pidana. Jika sebuah rekening kredit, apalagi nilainya sampai puluhan triliun rupiah, macet tak terbayar, mestinya harus segera diteliti: apakah benar dana pinjaman itu dibelanjakan menurut perjanjian kredit. Atau, apakah benar nilai proyek itu tak digelembungkan (mark-up) sehingga beban perusahaan terhadap utang menjadi begitu besar.
Tapi, entah mengapa, semangat untuk menegakkan peraturan seperti itu hingga kini loyo belaka. Proses pengadilan terhadap debitur kakap yang menunggak utang hampir-hampir tak pernah ada. Sampai saat ini, ketika kredit macet di perbankan sudah mencapai bilangan Rp 300 triliun, tak satu pun debitur kakap diajukan ke pengadilan. Kecuali kasus Eddy Tansil yang sudah terlalu meriah untuk bisa diredam, hampir semua pelanggaran penggunaan kredit diselesaikan diam-diam.
Tampaknya pola penyelesaian yang sama bakal terus berlangsung. Tak terkecuali kredit macet Rp 200 triliun dari pelbagai bank yang kini ngendon di tangan BPPN. Wakil Ketua BPPN Eko Santoso Budianto sejak awal sudah menegaskan, proses penyelesaian kredit macet itu akan dilakukan sebisa mungkin tanpa mengganggu perekonomian nasional. BPPN akan berusaha mengurangi kerugian negara tanpa membuat perusahaan yang terbelit utang menjadi bangkrut.
Pernyataan Eko memang tak otomatis melepaskan para debitur dari tuduhan pidana. Tapi, dengan penyelesaian finansial secara damai seperti itu, beban pelanggaran pidananya sudah ikut terbayar lunas. Seorang ekonom bahkan berani bertaruh, jika pemerintah benar-benar menukarkan tagihan utangnya dengan saham Chandra Asri, segala keganjilan yang menyertai pemberian kredit bank BUMN kepada megaproyek itu menjadi terlupakan. "Konversi utang ini," katanya, "bisa jadi tiket bagi pemiliik Chandra Asri untuk lolos."
Padahal, ekonom ini mengingatkan, besarnya kredit Chandra Asri mengundang kecurigaan. Nilai proyek industri petrokimia terpadu itu tak sampai US$ 2 miliar. Lalu, "Mengapa utangnya sampai begitu besar?" katanya. Ia menduga, bukan mustahil ada pembelokan dana kredit Chandra Asri yang digunakan untuk sejumlah proyek lain.
Benar atau tidak, tudingan miring seperti itu memang harus dibuktikan di pengadilan.
DSI, M. Taufiqurrahman, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini