SIAPA yang akan mengambil keuntungan dari gejolak di bursa valuta asing? Jawabannya: bank devisa swasta nasional dan asing. Kaiau benar pemerintah jadi mendevaluasikan rupiah kembali, mereka diduga akan memperoleh untung besar dari kenaikan nilai valuta asing lebih dari US$ 605 juta, yang mereka beli di bulan Mei saja. Tapi otoritas moneter ternyata malah menjawab perkiraan spekulasi itu dengan menaikkan tingkat suku bunga diskonto surat berharga pasar uang (SBPU) dan Sertifikat Banh Indonesia (SBI). Jembatan terpaksa direntang setelah pihak otoritas moneter itu mengetahui rupiah di laci pelbagai bank devisa swasta nasional dan bank asing makin menipis. Beleid itu, tentu, tak akan diambil kalau saja pelbagai bank devisa swasta dan bank asing tadi tak bersemangat menggunakan rupiah mereka dan dana nasabah untuk membeli dolar dan valuta asing Lihat saja, apa yang mereka lakukan di bulan Mei. Di bulan panas itu, bank devisa swasta nasional tercatat membeli dolar dan valuta asing lainnya sejumlah US$ 415 juta - sementara bank asing US$ 198 juta lebih. Sebaliknya, di bulan itu, bank devisa swasta nasional ternyata hanya menjual kembali dolar dan valuta asingnya sekitar US$ 3,7 juta, sedang pihak bank asing US$ 4,3 juta. Jadi, ketika kalender Juni dibuka, lemari besi bank devisa swasta nasional sesungguhnya masih berisi dolar dan valas sedikitnya US$ 411 juta, dan kantung bank asing berisi US$ 194 juta dari hasil transaksi di bulan Mei saja. Sedang bank pemerintah malah defisit (oversold) USS 18 juta. Krisis mengeringnya dana rupiah seperti pernah terjadi pada September 1984 lalu, memang, tak terjadi. Tapi, adanya fakta pelbagai bank devisa swasta nasional dan bank asing kini sangat memerlukan rupiah bisa dilihat dari indikasi kenaikan tingkat diskonto sertifikat deposito (untuk mencari dana jangka panjang), dan kenaikan suku bunga cull money (untuk memperoleh dana jangka pendek) di pasar uang. Situasinya akan rawan kalau usaha mendapatkan rupiah itu - juga bisa dilakukan dengan menjual SBPU dan SBI - tak memenuhi kebutuhan mereka. Apalagi bila tia bank pemerintah, yang selama ini dikenal sebagai pemasok rupiah di pasar uang, mendadak menutup krannya. "Kalau mau spekulasi, bisa saja uang yang saya putarkan di pasar uang untuk memenuhi kebutuhan dana langka pendek mereka sekarang in saya minta kembali. Mereka pasti akan pingsan," kata seorang bankir pemerintah. Jika sikap itu ditempuh, suku bunga di pasar uang bisa meroket jadi 90% seperti terjadi pada September 1984. Pintu otoritas moneter terpaksa diketuk untuk mendapatkan rupiah. Skenario suram itu akan terwujud, bila pelbagai bank devisa swasta dan bank asing masih berusaha bertahan mengantungi dolar dan valuta asing di luar batas kebutuhan mereka. Yang jadi pertanyaan, bila kecenderungan itu masih akan terus terulang, "Apakah tidak mungkin BI meminta laporan setiap transaksi valuta asing yang dilakukan bank devisa itu, seperti halnya beleid Bank of Japan," kata seorang bankir. Saran bankir itu tentu baik maksudnya: untuk mencegah agar kalangan bankir tidak mengambil keuntungan berlebih dari ketidakstabilan nilai tukar. Apalagi bila para dealer (orang yang bertindak sebagai penjual/pembeli valuta asing) mereka menyarankan para nasabah untuk ikut menanamkan uangnya di situ dengan alasannya, misalnya, untuk menutup kerugian dari perampingan usaha mereka. Saran seperti itulah yang tak disukai pengusaha sejati semacam Akio Morita, pendiri sekaligus presiden direktur Sony Corp., Jepang. Di depan 2.000 dealer peserta konperensi di Tokyo, ia mengimbau agar mereka ikut membantu usaha menciptakan stabilitas nilai tukar valuta asing di pasar dunia. Bagi industrialis, katanya penuh emosi, "Stabilnya nilai tukar valuta asing adalah alat untuk menegakkan keputusan." Wajar, Morita mengimbau dengan emosional. Karena suatu produk yang dilempar ke pasar, menurut dia, hakikatnya adalah hasil dari pengembangan teknologi baru selama 20 tahun - dan baru akan menghasilkan laba setelah 10 tahun beredar di pasar. Kalau kurs mata uang sebuah negara bergejolak dengan hebat, pengusaha mana, yang bisa membuat perencanaan jangka panjang. Apalagi kalau para manajer sampai harus menghabiskan banyak waktunya untuk setiap saat mengamati perubahan kurs di layar monitor. "Uang tidak akan lama jadi simbol daya saing sebuah negara, jika nilainya ditentukan para pedagang uang di saluran telepon," kata Morita. Peringatan seperti itu agaknya perlu direnungkan para dealer bank devisa swasta nasional dan bank asing di sini. Tapi adakah usaha bank sentral untuk menekan'kegiatan spekulasi, yang sudah jadi gejala dunia itu dengan, misalnya, mewajibkan mereka membuat laporan setiap transaksi valuta asing? "Saya meragukan efektivitasnya," kata Dr. Syahril Sabirin, Juru Bicara Bank Indonesia. "Jangan-jangan malah menimbulkan sangkaan pemerintah akan melakukan pengawasan lalu lintas devisa." E.H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini