PERANG para spekulan melawan pihak otontas moneter kml kelihatan seru. Hanya dalam tempo kurang dari empat puluh hari, sudah dua kali pihak otoritas moneter mengeluarkan pukulan untuk menjinakkan gempuran para spekulan, dengan menaikkan tingkat suku bunga diskonto SBI (Sertifikat Bank Indonesia) serta diskonto SBPU (Surat Berharga Pasar Uang). Ada alasan kuat, tentu, mengapa suku bunga diskonto SBI berjangka satu bulan dan tiga bulan masing-masing dinaikkan dari 16% jadi 17,75%, dan dari 17% jadi 18%, mulai 10 Juni lalu. Juga cukup beralasan untuk melengkapi beleid itu, SBPU berjangka satu harl, satu minggu sampai dua minggu, dan satu bulan, misalnya, suku bunga diskontonya masing-masing dinaikkan 1,25%, mulai 12 Juni. Otoritas moneter rupanya masih melihat, demam masyarakat (terutama bank devisa swasta nasional dan bank asing) membeli dolar dan valuta asing lainnya belum mereda. Indikasinya bisa dilihat dari transaksi di Bursa Valuta Asing (BVA) Bank Indonesia. Di bulan Mei itu penjualan dolar dan valuta asing lainnya dari BI ke pelbagai bank devisa tercatat berjumlah US$ 678,6 juta. Sementara itu, pembelian dolar dan swap ulang dari mereka oleh bank sentral hanya US$ 353,3 juta. Artinya, melalui meja transaksi di bursa, untuk bulan Mei itu saja, terjadi pengurangan devisa sebesar US$ 325,3 juta. Padahal, untuk mengerem semangat berspekulasi itu, pemerintah sebenarnya sudah memberi perangsang menarik bagi mereka yang punya rupiah berlebih dengan menaikkan suku bunga diskonto SBI. Kendati tingkat diskonto SBI berjangka 30 hari dan 90 hari sudah dinaikan 2%, masing-masing menjadi 18% dan 17%, mulai 8 Mei, tak banyak bank menggunakan kelebihan rupiah mereka untuk membeli sertifikat itu. Yang membuat Gubernur Bank Indonesia Arifin Siregar jadi kebat-kebit bagai bermain sing adalah fakta ini: demam membeli dolar dan valuta asing itu terus berlanjut memasuki bulan Juni - bagai mengiringi kesuburan isu devaluasi. Lihat saja angka transaksi dolar dan valuta asing lainnya dari 1 sampai 10 Juni, yang menunjukkan kecilnya pembelian dolar dan swap ulang oleh BI, hingga menyebabkan cadangan devisa BI berkurang lagi dengan US$ 193 juta. Kalau usaha spekulasi itu tidak diganjal, dunia usaha akan menghadapi kesulitan mencari rupiah dan bank sendiri belum tentu akan untung. Lemari cadangan devisa juga berada dalam posisi rawan, mengingat sejak Desember sampai Mei lalu, jumlah devisa yang mengalir keluar lewat transaksi di bursa sudah mencapai akumulatif US$ 1.820 juta. Untung, defisit itu kemudian bisa sedikit ditutup dengan surplus dari hasil transaksi antara BI dan pemerintah, yang menjual dolar dari pajak penghasilan pelbagai perusahaan minyak yang diperolehnya. Jika spekulasi itu makin menggila, sebenarnya bisa saja pihak otoritas moneter meladeni permintaan itu dengan mengambil cadangan devisa yang berasal dari pinjaman siaga US$ 2,4 milyar maupun kredit lain yang belum ditarik. Tapi, di saat banyak orang hidup susah dan tertekan, apakah sehat mengalokasikan pinjaman mahal dan langka ini untuk meladeni nafsu kaum spekulan tadi ? Menurut Menteri Keuangan Radius Prawiro, dengan cadangan devisa yang cukup, dan membaiknya harga minyak, sebenarnya. orang tak perlu khawatir melihat sikap spekulatif sebagian masyarakat. Namun, bila pembelian itu berlangsung terlalu lama dan dalam jumlah besar, tindakan itu dinilainya, "Akan mempunyai dampak negatif terhadap perekonomian kita, serta merupakan pemborosan sumber daya manusia, karena masyarakat lebih tertarik kepada kegiatan yang bersifat spekulatif." Untuk mengerem kegiatan spekulasi itu, otoritas moneter akhirnya mengambil kebijaksanaan jangka pendek, dengan menaikkan tingkat suku bunga diskonto SBI dan SBPU untuk kedua kalinya. Kalau bank masih menggunakan rupiah mereka untuk membeli dolar, bukan membeli SBI dengan diskonto menarik, maka terbuka kemungkinan dalam jangka pendek likuiditas bank itu mengering. Kini sedikitnya ada tiga pilihan bagi bank bersangkutan untuk mengatasi pengeringan rupiah itu. Yang pertama, menjual dolar dan valuta asing dalam kantungnya dengan sedikit rugi kurs. Yang kedua, menjual SBPU yang ada dalam lemari besi mereka dengan tingkat diskonto yang makin tinggi. Dan pilihan terakhir, mencari dana jangka pendek yang sudah makin mahal di pasar uang atau masyarakat (deposito). Tinggal pilih. Sekarang soalnya adalah mana lebih kuat dalam adu tahan hidup dengan kantung berisi sedikit rupiah antara pihak otoritas moneter dan para spekulan tadi. Dengan menaikkan suku bunga diskonto SBPU pihak bank sentral seungguhnya tidak ingin melihat kontraksi moneter akibat pembelian dolar dan valuta asing tadi berlangsung lama. Bayangkan, bila untuk masa Desember sampai Mei lalu, devisa yang keluar dari laci BI adalah US$ 1.820 juta, berarti jumlah rupiah yang pindah ke laci bank sentral itu sedikitnya hampir Rp 3 trilyun. Salah satu Ikhtiar bank sentral untuk mendorong keluar kembali rupiah itu adalah dengan menaikkan diskonto SBPU. Bank yang punya SBPU macam aksep (surat pernyataan berutang), promes (surat pernyataan punya piutang), atau wesel, bisa mendapatkan rupiah dengan menjual SBPU tadi ke Ficorinvest. Securities Houses ini kemudian akan menggadaiulangkannya (reiskonto) ke BI. Jadi, SBI berperan sebagai penyedot likuiditas rupiah, sedangakn SBPU berfungsi sebagai alat untuk melakukan ekspansi moneter. Tindakan menaikkan suku bunga diskonto SBI dan SBPU itu, "Sifatnya hanya jangka pendek," kata Menteri Radius. "Tapi kalau masih saja ada spekulasi, pasti nggak akan ada investasi, karena pengusaha bakal tak bisa membuat perencanaan dan perhitungan secara baik." Spekulasi memang bisa muncul dari pelbagai dugaan, dan mungkin pula timbul akibat krisis kepercayaan. Orang yang tadinya tenang bisa juga gelisah dan ikut terbakar hanya karena mendengar transaksi di Bursa Valuta Asing (BVA) BI dari hari ke hari makin besar. Banyak orang menyangka kutipan mengenai jumlah peredaran valuta asing yang dijual oleh BI suatu hari di BVA otomatis merupakan pengeluaran devisa sebesar itu. Padahal, pada kenyataannya, selain menjual, pihak bank sentral juga membeli dolar dan swap ulang dari bank devisa. Cadangan devisa baru bisa disebut berkurang, kalau jumlah penjualan valuta asing BI suatu hari lebih besar dari pembelian valuta asing dan swap ulang. Baru mulai 9 Juni lalu, bank sentral berusaha memperbaiki pemberian informasi transaksi di bursa. Orang juga baru sadar bahwa pembelian swap ulang oleh BI hakikatnya merupakan penambahan cadangan devisa lewat sistem moneter. Dimasukkannya swap sebagai bagian dari cadangan devisa, kata Sujitno Siswowidagdo Direktur Urusan Ekonomi dan Statistik Bl, bukan merupakan suatu kekhususan. "Ini merupakan kelaziman," tambahnya. Mudah-mudahan serangkaian tindakan dan penjelasan pihak otoritas moneter itu bisa mengerem hasrat Anda membeli dolar. Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini