IZIN usaha di perindustrian, pertambangan, pertanian, dan kesehatan makin dirampingkan. Seberapa jauh menarik pengusaha? Pemerintah rupanya masih terus mengulur kebebasan bagi para pengusaha. Pekan lalu, sebuah beleid baru dicetuskan lagi untuk merangsang investasi di bidang pertambangan, pertanian, kesehatan, dan perindustrian. Kebijaksanaan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 13/1987 dan Keppres 16 tanggal 10 Juni 1987 itu pada pokoknya berikhtiar merangsang pengusaha untuk melakukan investasi baru dan investasi tambahan. Caranya adalah dengan melakukan deregulasi perizinan. Semula para calon investor memerlukan empat jenis perizinan (prinsip, sementara, tetap, dan perluasan) untuk memulai usaha mereka di sini, sekarang hanya perhl izin tetap, dan izin perluasan - jika mereka kelak ingin menambah kapasitas. Izin tetap, misalnya, kini tak perlu diperpanjang seperti dulu - setiap lima tahun dengan biaya sekitar Rp 600.000 ke kantor wilayah departemen teknis. Perusahaan yang telah memiliki izin tetap juga boleh memperluas produksi pabrik atau melakukan diversifikasi produksi tanpa perlu mengurus izin. Tetapi ada batasnya: tambahan produksi itu tidak lebih 30O dari kapasitas yang dimiliki, dan usaha itu masih terbuka dalam Daftar Skala Prioritas (DSP), atau produksi itu untuk diekspor. Instansi yang paling ccpat melaksanakan beleid itu, ternyata, Departemen Perindustrian. Sehari setelah Keppres 16 tahun 1987 itu keluar, Menteri Perindustrian Hartarto menetapkan pelaksanaan penyederhanaan perizinan usaha di lingkungannya. Departemennya juga tidak ingin ketinggalan melakukan debirokratisasi, sebagaimana dilancarkan di BKPM seiak seminggu sebelum Lebaran. Urusan perizinan usaha d lingkungan Departemen Perindustrian, yang semula ada 2.490 komoditi industri, sejak 11 Juni lalu dirampingkan hingga tinggal 342 items industri. Perusahaan elektronik, misalnya, kini bisa memproduksi 26 jenis produksi barang, seperti televisi hitam putih, televisi warna, radio, dan radio kaset. Beleid tadi juga memberi banyak kelonggaran, termasuk kebebasan menyusun laporan sendiri bagi setiap perusahaan. Tapi tidak semua orang gembira. PT National Gobel, sebuah perusahaan elektronik yang sebenarnya gemar melakukan diversifikasi selama ini, misalnya, khawatir beleid baru ini bisa mengundang permainan manipulasi pajak. Sebuah perusahaan yang diam-diam menaikkan produksi, demikian Wakil Presiden Direktur Gobel Jamien Tahir. bisa saja membuat laporan triwulanan secara tidak jujur kepada pemerintah, karena tambahan produksinya tidak lebih dari 30%. Dari situ saja, "Perusahaan tadi sudah meraih keuntungan tidak sehat minimal 30%, yakni 10% PPN (pajak pertambahan nilai) dan 20% PPn BM (pajak penjualan barang mewah). Padahal, untuk produk elektronik, selisih harga 5% sudah sangat bersaing," tuturnya. Presiden Direktur PT Multi Bintang Indonesia (MBI), Tanri Abeng, juga melihat sisi negatif dari peraturan itu. Menurut pengamatannya, banyak pengusaha suka latah meniru pengusaha lain, tanpa melakukan riset pasar yang tajam. "Bila satu perusahaan melakukan diversifikasi diikuti pengusaha lain, akhirnya bisa jadi bumerang," kata Tanri. Kendati begitu, baik Tanri maupun Jamien mengakui beleid baru itu akan membawa dampak positif bagi investasi. "Peraturan ini sangat membantu menghilangkan biaya tinggi," katanya. Bagi National Gobel atau MBI, biaya tinggi bukan pada tarif pengurusan, tetapi lamanya proses perizinan. Contoh yang dikemukakan Tanri adalah sewaktu MBI berusaha mendapatkan izin perluasan produksi pabrik bir tahun 1980-81 lalu. Permohonan izin penambahan kapasitas dengan 100% itu, menurut Tanri bertahun-tahun tersangkut di Departemen Perindustrian dan BKPM. Akhirnya, MBI mencari jalan pintas: go public. Urusan untuk itu toh masih harus menghabiskan waktu dua tahun di Departemen Perindustrian, BKPM, Bapepam, dan Bea Cukai. "Ketika itu, BKPM masih sangat birokratis, dan menjadi pintu kemacetan," turut Tanri mengenang. "Kenapa baru sekarang muncul lebirokratisasi ini?" katanya kepada wartawan TEMPO Budi Kusumah. Pengusaha lain menganggap beleid baru ini scbcnarnya belum cukup merangsang investasi. "Itu 'kan sama saja dengan pemutihan," ujar Darmawan Utomo, dari PT Utomo Deck Metal Works, sebuah perusahaan produsen pelat baja gelombang berwarna di Surabaya. Pemsahaan itu ingin melakukan perluasan usaha ke pabrik seng galvanisasi. Menurut Darmawan, usaha itu sebenarnya sejajar dengan usaha pabrik seng berwarna. Tetapi pihak Departemen Perindustrian menganggap itu sebagai langkah ke industri hulu, sehingga perlu izin baru. Darmawan sendiri merasa biaya pengurusan izin baru itu sebenarnya bukan merupakan masalah besar untuk UDM. Masalah utama yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi UDM ialah monopoli bahan mentah baja canai dingin oleh PT Cold Rollin Mill Indonesia (Cormil). "Pabrik itu belum kelihatan berproduksi. Tapi impor harus melewati PT Giwang Selogam," keluhnya. Monopoli olch PT Giwang Selogam dan Cormil itu memang telah digedor oleh para pengusaha sejak beberapa bulan silam. Menurut sebuah sumber TEMPO, Cormil adalah suatu proyek yang sebenarnya telah 10 tahun gagal dibangun Jepang. Proyek itu kemudian yang diberikan kepada investor lokal dengan janji proteksi pemerintah. Tidak etis, kalau pemerintah tiba-tiba mencabut janji itu. Sumber itu sendiri mengatakan bahwa kalangn Giwang Selogam sebenarnya berpendapat bahwa monopoli itu mereka tidak sukai. "Tapi, berilah kesempatan, paling tidak sampai perusahaan itu mengangsur 50% saja dari ulangnya sewaktu membangun pabrik peleburan Cormil itu," ujar sumber tadi. Pengamat ekonomi dari UI, Anwar Nasution, berpendapat bahwa hak monopoli boleh saja diberikan kepada perusahaan yang telah melakukan investasi besar seperti di bidang listrik dan telepon. "Tetapi, pemonopolian itu harus dikontrol, entah oleh swasta, koperasi, atau BUMN," katana. Kurangnya pengawasan itu,menurut Anwar, adalah salah satu kelemahan dalam langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi pemerintah sejauh ini. Max Wangkar, Laporan Biro Jakarta & Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini