INI bcnar-benar terjadi. Hakim di sebuah Pengadilan Negeri di Jakarta _ membacakan amar putusan yang masih berupa tulisan tangan, perihal pengosongan sebuah rumah. Putusan hakim bersifat deklaratoir, artinya baru pernyataan. Oleh panitera, putusan itu diketik menjadi putusan yang bisa dilaksanakan segera. Karena hakim tadi sibuk dan "urusannya banyak", ia tak membaca lagi ketikan itu dengan teliti. Sret-sret-sret, kertas diteken. Akibatnya, juru sita melakukan pengosongan rumah sengketa. Untung, ada Pengadilan Tinggi yang memperbaiki keputusan Pengadilan Negeri yang asli tapi keliru itu. Ini diceritakan sendiri oleh Mohamad Hatta, S.H., hakim senior di Pcngadilan Negeri Jakarta Pusat yang scgcra dimutasikan ke Salatiga. Hatta bukan mau bicara soal hakim yang teledor, tetapi soal panitera yang tak paham jiwa putusan hakim. Panitera begini, menurut Hatta, banyak jumlahnya. Apalagi di daerah. "Kalau paniteranya cukup pandai, hakim tinggal memerintah saja. Panitera yang ada sekarang belum terampil, menyusun berkas saja sering keliru," kata Hatta, yang sudah 21 tahun menjadi hakim. Begitu gawatkah situasinya? Menteri Kehakiman Ismail Saleh secara diplomatis mengatakan, "Departemen Kehakiman belum memperoleh tenaga profesional yang siap pakai untuk jabatan seperti panitera dan juru sita." Nah, lowongan inilah yang mendorong lahirnya Akademi Litigasi. Adalah Ismail Saleh sendiri yang menjadi saksi penandatanganan kerja sama bcrdirinya akadcmi ini, antara Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum dan Yayasan Triguna, pihak swasta yang mengelola sekolah panitera itu, Jumat pekan lalu di gedung Departemen Kehakiman. Akademi ini sepenuhnya dikelola swasta. Tapi inilah perguruan tinggi swasta yang menjamin lulusannya bisa diangkat sebagai panitera dan juru sita (Ismail Saleh memperkenalkan istilah baru: parayurista) di pengadilan. Sekarang, Jabatan parayunsta dnsi tcnaga-tenaga tamatan SMTA. Sarjana hukum enggan mengisi formasi itu, karena statusnya pembantu hakim. Memang ada panitera yang bergelar S.H., tapi umumnya, "mereka itu melakukannya dengan terpaksa," kata Rusli, S.H., Dirjen Peradilan Umum Departemen Kehakiman. Selain kualitas, juga belum terpenuhi jumlah panitera. Rusli menyebutkan, dibutuhkan 5.142 tenaga kepaniteraan untuk ditempatkan di seluruh Indonesia. "Sekarang ini baru terisi 3.276 orang," kata Rusli. Maka, baik Rusli maupun Ismail Saleh mengimbau tamatan SMTA untuk belajar di akademi baru itu. "Lulusan akademi ini tak. usah gelisah. Berapa pun uang kuliahnya, jangan takut karena ada jaminan memperoleh kesempatan kerja," kata Ismail. Bagaimana kalau Rusli dan Ismail Saleh tak lagi menjabat? "Jaminan itu masih tetap. Sebab, yang menandatangani kerja sama ini beliau sebagai pejabat, jadi lembaganya," kata H. Soedradjat Kartawiredja, Ketua Badan Pengurus Yayasan Triguna. Adapun dalam susunan pembina akademi ini disebut lagi nama Rusli dan Ismail Saleh, menurut Soedradjat, itu sebagai pribadi-pribadi. Tidak disebutkan berapa mahasiswa yang akan dijaring akademi yang berkampus di Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan, ini. Yang sudah pasti, uang kuliahnya Rp 325.000 per semester dan lama pendidikan tiga tahun. Departemen P dan K pun sudah memberi izin operasi. Adapun ijazahnya nanti, setingkat Diploma III (jadi nongelar). Soal diakui atau tidaknya oleh Departcmen P dan K, "kita lihat dulu akreditasinya," kata Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo, Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen P dan K. Dan katanya lebih lanjut, "Katanya Departemen Kehakiman sangat membutuhkan lulusan seperti itu. Masalahnya teknis jadi lebih baik ditangani akademi." Putu Setia, Laporan Indrayati & Eko Yuswanto (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini