Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan menunda publikasi bulanan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) periode Januari 2025. Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan keterlambatan publikasi ini bisa berdampak negatif bagi pasar obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan oleh pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Biasanya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati teratur mengumumkan kinerja anggaran lewat acara bertajuk APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) tiap bulan. "Jika penundaan ini terus berlanjut, maka investor akan semakin kehilangan kejelasan mengenai kondisi fiskal negara, yang bisa berdampak langsung pada permintaan investasi obligasi pemerintah," ujar Achmad kepada Tempo, dikutip Sabtu, 8 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SBN merupakan obligasi atau surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah. Di pasar obligasi, menurut Achmad, kepercayaan adalah faktor utama yang menentukan tingkat permintaan SBN.
Jika data kinerja APBN tak diumumkan, maka investor bakal melihat ada risiko fiskal yang tak diumumkan secara transparan. Mereka bisa saja menuntut imbal hasil (yield) yang lebih tinggi untuk mengkompensasi ketidakpastian tersebut.
Akibatnya, nilai SBN bisa terdampak dan turun. "Karena investor menjual kepemilikan mereka untuk menghindari potensi risiko yang lebih besar," ujarny.
Achmad menilai kondisi ini dapat mempersulit pemerintah dalam menerbitkan obligasi baru dengan biaya yang rendah. Dapat pula meningkatkan beban utang dan mempersempit ruang fiskal untuk belanja produktif.
Dalam keterlambatan rilis APBN KiTa, perspektif pasar sangat menentukan. Jika penundaan disertai dengan spekulasi negatif bahwa penerimaan negara sedang turun atau defisit melebar, maka investor akan mulai meminta imbal hasil lebih tinggi untuk menutupi risiko tambahan tersebut.
Imbal hasil SBN tenor 10 tahun yang saat ini berada di kisaran 6,5 - 7 persen tergantung kondisi pasar, bisa meningkat lebih jauh. Artinya pembiayaan utang negara berisiko bertambah. Selain itu, meningkatnya yield juga bisa mengurangi daya tarik investasi di sektor riil karena suku bunga acuan bisa ikut terdorong naik.
Seperti diketahui, pemerintah menargetkan penerbitan SBN tahun ini sebesar Rp 642,6 triliun. SBN adalah instrumen investasi berupa Surat utang yang diterbitkan pemerintah Indonesia untuk membiayai APBN.