Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Investasi PT Mandiri Capital Indonesia Dennis Pratistha mengatakan pihaknya menerapkan wait and see, artinya selektif untuk berinvestasi. Pernyataan tersebut merespons ekonom yang menyebutkan investor cenderung akan wait and see (menunggu dan melihat) untuk berinvestasi di tahun politik. Menurut Dennis,
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dari awal strategi kami tidak pernah berubah, strategi kami memang very selective when we do investment (sangat selektif dalam berinvestasi),” ujar dia di Kantor Mandiri Capital Indonesia, Menara Mandiri I, Jakarta Selatan, pada Kamis, 9 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perusahaan modal ventura bentukan Bank Mandiri itu selalu berinvestasi ke perusahaan yang percaya diri memiliki prospek untuk terus berkembang. Perusahaannya, kata Dennis, hanya melihat perusahaan-perusahaan yang memiliki potensi tumbuh untuk mencapai provitabilitas.
Selain itu, dia juga mengatakan Mandiri Capital Indonesia bukan investor yang takut ketinggalan—kerap disebut FOMO atau fear of missing out. Mandiri Capital Indonesia hanya berinvestasi ke perusahaan-perusahaan yang bisa bertahan. Sehingga, meskipun tahun ini dengan ketidakpastian kondisi ekonomi dan perlambatan ekonomi dunia, pihaknya tetap berinvestasi.
“Tahun depan yang merupakan tahun politik kami tetap akan investasi,” tutur Dennis. “Tidak mengubah strategi kami dari tahun ke tahun bahwa tetap akan kami jalankan investasinya, tentu saja dengan cara kami menganalisa dan apa yang kami lihat, itu saja.”
Tantangan bisnis di tahun politik menjelang Pemilu
Sebelumnya, ekonom sekalius CEO Narasi Istitute, Achmad Nur Hidayat, melihat tahun politik menjelang Pemilu 2024 menjadi tantangan besar pemerintah dalam mencari investor. Terutama investor yang mau menanamkan modal untuk proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN di Kalimantan Timur.
“Investor kelas kakap asal luar negeri tidak mau mengambil risiko akan potensi terjadinya perubahan politik,” ujar Achmad kepada Tempo, Sabtu, 20 Mei 2023 lalu.
Sebenarnya, kata Achmad, istana sudah berupaya agar tidak terjadi perubahan arah kebijakan yang dilakukan pemimpin periode 2024-2029 dengan menempatkan “all president ment” sebagai kandidat. Namun ternyata, sempat muncul Koalisi Perusahaan yang disokong Partai NasDem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat.
“Munculnya Koalisi Perubahan membuat perhitungan investor menjadi lebih baik wait and see. Daripada berinvestasi besar tapi malah merugi,” ujar Achmad.
Aspek politik tersebut didukung masih adanya ancaman resesi global dan risiko geopolitik juga belum selesai. Tak hanya itu, menurut Achmad, skema IKN yang ditawarkan pemerintah juga tidak begitu menarik investor asing.
Adapun ihwal koalisi, NasDem yang saat ini masih dalam koalisi pemerintah, memutuskan bergabung bersama PKS dan Demokrat. Koalisi tiga partai ini bahkan sudah menentukan eks Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sebagai bakal calon presiden.
Langkah yang diambil NasDem bahkan disinyalir membuat hubungan antara Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, dan Presiden Jokowi merenggang. Padahal sebelumnya, hubungan Paloh dan Jokowi begitu erat seiring dukungan NasDem kepada pemerintahan Jokowi sejak 2014.
MOH KHORY ALFARIZI | RIRI RAHAYU