Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Strategi MNC Pangestu

J. Panglaykim, 59, dikukuhkan sebagai guru besar luar biasa FE Unair. Pidato pengukuhannya menggabungkan teori klasik dengan teori bisnis internasional yang diperoleh perusahaan-perusahaan multinasional.

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH upacara pengukuhan seorang guru besar yang barangkali paling semarak dalam sejarah Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Ada tv sirkuit untuk para undangan di luar ruangan, ada puluhan karangan bunga dari berbagai bank dan perusahaan swasta. Disertai jamuan yang cukup meriah. Di antara yang hadir nampak Irjenbang Soedjono Humardhani, Menteri Perindustrian A.R. Soehoed dan Mohamad Noer, bekas Gubernur Ja-Tim yang kini Ketua Dewan Penyantun Unair. Maklum. "Bintang" Sabtu pagi pekan lalu, adalah seora.g ekonom beken dan tokoh bisris Dr. J. Panglaykim, 59 tahun. Dia dikukuhkan sebagai guru besar luar biasa pada Fakultas Ekonomi Unair. Punya nama Indonesia yang jarang dipakai, Jusuf Elka Pangestu, laki-laki asal Cianjur itu kini adalah Dirut Bank Sejahtera Umum, salah seorang komisaris dari Pan Indonesia (Panin) Bank, perusahaan asuransi dan beberapa perusahaan lain. "Pokoknya sudah cukuplah. Ada bank, asuransi dan pabrik," katanya. Dia juga duduk sebagai anggota dewan direksi CSIS (Centre for Strategic and International Studies). Di CSIS itu pula Panglaykim merasa banyak mendalami teori ekonomi dan bisnis internasional. Bidang itu yang ia pilih sebagai pidato pengukuhannya: Peranan Bisnis Internasional dalam Pengembangan Teori dan Penyelenggaraan Perdagangan Internasional. Dalam pidato yang 20 halaman itu, yang disertai "segudang" kutipan para ahli ekonomi dan literatur, Panglaykim mencoba untuk menggabungkan antara teori klasik dengan teori bisnis internasional yang dipengaruhi oleh perusahaan-perusahaan multinasional (MNC). "Dunia kita ini dipengaruhi oleh MNC Barat dan Jepang. Sangat dibutuhkan studi tentang bisnis internasional dan MNC itu sendiri untuk kepentingan nasional kita," katanya. "Terutama buat mereka yang berkecimpung dalam bisnis internasional dan para pengambil keputusan nasional." Dengan kata lain, ia tak melihat gurita MNC itu sebagai suatu bahaya yang perlu dijauhi. Panglaykim menunjuk Jepang sebagai kampiun bisnis internasional, karena berhasil dalam mengkombinasikan dan memobilisasikan tujuh kekuatan yang mereka miliki: pengelompokan usaha, ketrampilan memimpin, akses ke pasar uang/modal, akses ke pasar teknologi, rasa misi nasional, dukungan penuh dari pemerintah dan rnemiliki jaringan internasional. Mengenang CTC Indonesia, seperti dikatakan Panglaykim kepada Dahlan Iskan dari TEMPO, sudah punya semua itu, kecuali jaringan internasional yang memang masih lemah. "Jadi tinggal bagairnana mengkombinasikan dan memobilisasikannya," katanya. Hasil kombinasi dan mobilisasi kekuatan itu menurut Panglaykim tidak bisa terwujud dalam waktu pendek. "Jepang memerlukan hampir 20 tahun," katanya. Dia juga mengingatkan di negara yang memiliki sumber daya alam seperti Amerika (AS, pemerintahnya boleh dibilang tidak banyak campur tangan. Ini berbeda dengan Jepang dengan peranan MITI-nya (departemen industri dan perdagangan internasional) yang bertugas menggalakkan bisnis Jepang di mancanegara. MNC di AS dan Eropa umumnya hanya mengkombinasikan dan memobilisasikan empat unsur kekuatan: organisasi, teknologi, modal dan jaringan internasional. Dalam bisnis internasional itu, Panglaykim menilai usaha Central Trading Company (CTC) di tahun 1955-1960 adalah "jago" yang sampai sekarang belum terkalahkan. CTC, yang dulu antara lain dipimpin oleh Teuku Azwar dan Daud bersaudara itu belakangan ganti nama menjadi PT Panca Niaga sampai sekarang. Menurut ekonom yang banyak menulis itu, PT Garuda Indonesian Airways juga sudah terjun ke bisnis internasional yang cukup berarti, meskipun tak sehebat CTC dulu. Panglaykim memang tahu banyak tentang perusahaan negara. Itu pula yang merupakan disertasinya ketika mengambil gelar Doktor pada FE-UI (1963). Ayah dari tiga anak--dua putri dan seorang laki-laki--yang semuanya sudah "jadi" dan mengajar di universitas di luar negeri itu, juga pernah menjadi dosen tamu di Australia dan jadi dekan pada School of Accountancy and Business Administration Singapore University, serta mengajar di Nanyang University. Dari sederetan pengalamannya itu, Panglaykim mencatat bahwa Indonesia perlu menganut strategi ekonomi perdagangan: "Suatu strategi yang turut memperhitungkan aspek-aspek seperti hubungan yang erat antara investasi dan pemberian bantuan, dengan tujuan untuk mengubah pola perdagangan luar negeri dan pola produksi di dalam negeri." Ini dijalankan oleh Jepang sekarang. Sedang strategi ekonomi ekspor, seperti di tempuh Korea Selatan dan Taiwan misalnya, menurut Panglaykim masih mengarah pada ekspor saja. Suatu strategi yang nampaknya masih dianut ekonomi Indonesia sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus