MESIN gilingan padi milik KUD Jatisari di tepi jalan raya
Bandung Cirebon itu tetap meraung di hari Minggu lalu. "Kami
terpaksa membeli gabah ke Subang," kata Abdul Hamid, 42 gahun,
Ketua Unit Penggilingan KUD Jatisari. Adanya instruksi Presiden
supaya Bulog tak terlalu ketat dalam menjalankan kebijaksanaan
toleransi kualitas gabah, nampaknya belum banyak gemanya di
daerah itu.
Bukan karena instruksi itu tak penting. Para petani umumnya
memang menyambut senang adanya uluran tangan yang langsung dari
Presiden itu. Presiden ketika itu menanggapi pengumuman Ka Bulog
Bustanil Arifin awal September, yang ingin menghentikan
pemberian toleransi gabah yang dibeli Bulog: hanya gabah yang
kadar airnya 24% dan kadar kotor/hampa 3% yang bisa dibeli
mereka.
Tapi yang rupanyamenjadi soal di KUD Jatisari itu malah
sebaliknya. Panen baru selesai Agustus ini, tapi sejak awal
September tak sebutir pun padi yang dijual petani kepada KUD.
Mengapa?
"Kami lebih suka menjual gabah kepada pedagang di kampung," kata
Ichsan, 60 tahun, petani pemilik 7.000 meter sawah di desa itu
kepada TEMPO. Padahal diakui oleh lelaki dengan lima anak dan
dua puluh empat cucu itu, harga pembelian KUD Rp 100 lebih/kg,
sedang kepada pedagang mereka menjual gabahnya Rp 80-an/kg.
"Tapi menjual kepada KUD repot. Kalau padi basah harga dipotong,
padi kotor harga dipotong lagi," petani tua itu menjelaskan.
"Sudah jual saja sama pedagang, mau basah-kering, kotor atau apa
saja mah harga sama, tidak dipotong-potong."
Hal itu dibenarkan oleh Abdul Hamid. Di KUD Model Jatisari (KUD
nomor dua di Ja-Bar) tersedia tabel harga gabah: Yang berkadar
air 14% dan kotoran 3% harganya Rp 120. Tapi bisa melorot Rp
80,93/kg untuk gabah berkadar air 28% dan kotoran 15%. Harga itu
pun adalah gabah murni. Artinya berat gabah masih dipotong
perkiraan persentase kotoran dan kadar air tadi. Misalnya untuk
100 kg gabah yang berkadar air 28%. KUD membayar harga gabah
hanya 72 kg, kali harga yang Rp 80,93 itu. Tentu saja para
petani merasa lebih aman menjual dengan harga Rp 80/kg kepada
pedagang, tanpa risiko potongan apa pun.
Di Kecamatan Jatisari itu atau di desa-desa lainnya di Kabupaten
Karawang, para petani hampir tak merasakan akibat kebijaksanaan
Bulog memperketat kualitas gabah yang dibeli. Karena di musim
panen gadu itu petani umumnya hanya menjual gabah dalam jumlah
sedikit. Dan disimpan untuk menghadapi masa paceklik, di musim
tanam Januari (1982). Maka gabah yang dipanen bulan Agustus itu
dijadikan stok sampai Januari. Karena itulah KUD Kecamatan
Jatisari yang meliput daerah seluas 2.000 ha dengan produksi
hampir 1.000 ton gabah sekali panen, kewalahan mencari gabah.
Hal yang serupa juga terjadi di Ja-Tim. Alim Fauzi, Waka Dolog
Ja-Tim, mengatakan sejak sistem pembelian gabah oleh Bulog
dilakukan melalui KUD, tak ada masalah lagi dengan persyaratan
air yang 14%. "Kalau toh dari petaninya masih kurang memenuhi
syarat, KUD-lah yang akan meningkatkan mutunya dengan
penjemuran." Ini dibenarkan Sukarno dari Dinas Perekonomian
Kantor Pemda Ja-Tim.
Yang agaknya merasa kewalahan adalah Bulog, karena harus
memborong stok beras. Di seluruh Jawa Timur sendiri terdapat 80
gudang--paling banyak di Indonesia -- dengan kapasitas 350. 000
ton. Sedang saat ini kabarnya terdapat 720.000 ton gabah Bulog
yang terpaksa disimpan di gudang-gudang milik swasta, dengan
sewa Rp 10/hari/ton.
Di Sulawesi Selatan, dengan petani Bimas Operasi Lapoo Ase yang
sukses memanen padi rata-rata enam ton per hektar, kesulitan
pergudangan memang amat menonjol. Di poolpool pembelian KUD,
kolong-kolong rumah dijadikan gudang menyimpan padi. Dan di
halaman-halaman ruman nampak terhampar jemuran gabah.
Dan para petani di desa-desa Kecamatan Lapparia Kabupaten Bone
yang memanfaatkan irigasi ala kadarnya, Juga sibuk menunggui
tanaman padinya yang sedang menguning.
Bisa dimengerti kalau Presiden menyalakan lampu hijau bagi Bulog
untuk membuat tambahan sebanyak 30 gudang lagi. Departemen
Keuangan sendiri menurut Bustanil Arifin sudah mengeluarkan
surat menyetujui' pembangunan tambahan gudang untuk tiga juta
ton selama tiga tahun ini. Jadi tambahan sekitar satu juta ton
setahun. Di antara tambahan ini sebanyak 500.000 ton dalam
bentuk sistem 'silo' dengan perincian untuk Ja-Teng, Ja-Bar dan
Sulawesi Selatan masing-masing 100.000 ton, sedang untuk Ja-Tim
200.000 ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini