Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Suku Bunga Acuan BI 6 Persen, Dosen dan Peneliti UII Ungkap Dampak Positif dan Negatif di Berbagai Sektor

Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen, Dosen dan Peneliti UII jabarkan dampak positif dan negatif di berbagai sektor.

7 Januari 2025 | 08.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi atau logo Bank Indonesia (BI). Dok. TEMPO/ Dinul Mubarok

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada Desember 2024, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen. Sepanjang 2024, suku bunga acuan ini mengalami penyesuaian sebagai respons terhadap tekanan inflasi dan volatilitas nilai tukar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada September 2024, BI menurunkan suku bunga acuan dari 6,25 menjadi 6 persen hingga Desember. Mempertahankan suku bunga acuan ini dilakukan untuk mengendalikan inflasi inti yang masih berada di atas target, yaitu 4,2 persen pada kuartal ketiga 2024, dan menjaga stabilitas Rupiah tekanan dari penguatan Dolar AS akibat kebijakan moneter ketat di negara maju. Suku bunga ini juga dipertahankan untuk menjaga daya tarik investasi portofolio asing.

"Keputusan ini memiliki urgensi tinggi untuk dievaluasi karena memengaruhi stabilitas makroekonomi dan menjadi tolok ukur awal performa ekonomi pemerintahan Prabowo. Kebijakan moneter, seperti suku bunga acuan, menjadi elemen krusial menciptakan momentum pertumbuhan atau menghadirkan tantangan baru," kata dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani, kepada Tempo.co. 

Dampak positif suku bunga acuan BI yang bertahan pada level 6 persen tersebut sebagai berikut. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

1. Stabilitas Ekonomi

Dengan suku bunga yang tinggi, inflasi inti dapat terkendali. Penurunan tekanan inflasi akan memberikan ruang stabilitas pada daya beli masyarakat dan sektor riil sehingga menciptakan kondisi lebih sehat untuk perencanaan jangka panjang pelaku usaha. Data inflasi tahunan pada 2024 yang berhasil ditekan kisaran 3 persen  sesuai target BI.

2. Daya Tarik Investasi Portofolio

Spread bunga yang menarik dibandingkan negara lain akan mendorong masuknya investasi portofolio asing, terutama surat utang negara. Aliran modal asing pada Desember 2024 mencapai Rp80 triliun, terutama pada Surat Berharga Negara (SBN), seiring spread bunga domestik yang kompetitif dibandingkan suku bunga acuan di AS sebesar 5.25 persen.

3. Stabilitas Rupiah

Kebijakan ini mengurangi volatilitas nilai tukar Rupiah, menjaga kepercayaan investor, dan mengurangi risiko kenaikan biaya impor, termasuk barang modal esensial sektor manufaktur. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil pada Rp15.500 sepanjang kuartal IV/2024, meskipun ada ketidakpastian global. 

Sementara itu, suku bunga acuan BI yang bertahan pada level 6 persen juga memberikan dampak negatif berikut ini, yaitu:

1. Beban Bunga Dunia Usaha

Biaya pinjaman tinggi membebani sektor korporasi, terutama perusahaan yang bergantung pada pembiayaan perbankan untuk ekspansi. Akibatnya, perusahaan menunda investasi baru dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan laporan BI, kredit modal kerja hanya tumbuh sebesar 7,2 persen (yoy) sebelumnya pada 2023 sebesar 10,1 persen (yoy).

2. Konsumsi Rumah Tangga

Dampaknya berupa mengurangi daya beli masyarakat dan perlambatan pertumbuhan PDB. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,7 persen pada 2024 lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi, yaitu 5-5,5 persen. 

3. Risiko Stagflasi

Dampaknya menciptakan risiko stagflasi, yaitu kondisi ketika inflasi rendah, tetapi pertumbuhan ekonomi melambat sehingga menciptakan tekanan ketenagakerjaan. Meskipun inflasi terkendali, pertumbuhan ekonomi 2024 diproyeksikan melambat menjadi 4,9 persen dibandingkan target awal sebesar 5,3 persen.

"Secara lebih khusus, suku bunga acuan BI yang bertahan pada 6 persen memengaruhi berbagai sektor antara lain properti, industri manufaktur, UMKM, hingga industri pariwisata," kata Listya dalam catatan yang diberikan kepada Tempo.co, Kamis, 2 Januari 2024.

Properti

Tingginya suku bunga acuan 6 persen berdampak langsung pada kenaikan suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang kini rata-rata mencapai 10-11 persen per tahun. Akibatnya, banyak calon pembeli rumah menunda atau membatalkan pembelian, terutama kelas menengah ke bawah.

Pada 2024, pertumbuhan penjualan properti residensial turun sebesar 3,5 persen YoY, berdasarkan laporan BI. Di sisi lain, tingkat hunian apartemen di wilayah Jabodetabek stagnan di angka 60 persen. Bahkan, perusahaan pengembang properti juga mengalami penurunan laba hingga 15-20 persen pada 2024 yang dapat memperlambat ekspansi proyek baru pada 2025.

Industri Manufaktur

Industri manufaktur menghadapi kesulitan meningkatkan daya saing, terutama di pasar ekspor. Pada 2024, Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia tercatat rata-rata di level 50,5 yang menunjukkan aktivitas manufaktur nyaris stagnan.

Pangsa pasar ekspor manufaktur turun dari 25 menjadi 22 persen terhadap total ekspor Indonesia pada 2024 yang mencerminkan penurunan daya saing produk domestik. Pada 2025, sektor manufaktur diproyeksikan tumbuh moderat kisaran 4,7 persen didukung insentif pajak dan dorongan investasi asing teknologi tinggi.

UMKM 

UMKM yang menyumbang lebih dari 60 persen terhadap PDB Indonesia dan mempekerjakan sekitar 97 persen dari total tenaga kerja adalah sektor paling terpengaruh tingginya suku bunga. Dengan suku bunga kredit usaha rakyat (KUR) yang mencapai 7 persen, banyak pelaku UMKM kesulitan mengakses pembiayaan modal kerja dan ekspansi. Pada 2024, pertumbuhan pembiayaan UMKM hanya mencapai 6,2 persen, jauh di bawah rata-rata historis 10-12 persen.

Penurunan ini paling terasa di sektor perdagangan dan jasa dengan penurunan omzet hingga 10 persen pada kuartal ketiga 2024. UMKM yang sudah terintegrasi dengan platform digital tumbuh lebih baik dengan peningkatan penjualan sebesar 15 persen pada 2024, dibandingkan penurunan 5 persen di UMKM tradisional. Pemerintah berencana meningkatkan plafon KUR hingga Rp450 triliun untuk 2025. 

Energi dan Pertambangan

Sektor ini mengalami ketidakpastian harga komoditas global dan transisi menuju energi hijau menjadi tantangan besar. Harga batu bara yang menjadi andalan ekspor Indonesia diperkirakan fluktuatif kisaran USD 150-180 per metrik ton pada 2025. Selain itu, harga nikel yang merupakan komoditas penting untuk baterai kendaraan listrik stabil pada USD 20.000 per metrik ton, mencerminkan tekanan pada ekspor mineral.

"Transisi energi global menyebabkan investor internasional mulai mengalihkan perhatian ke proyek energi terbarukan," ujar Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII itu. 

Namun, pertumbuhan sub-sektor energi baru dan terbarukan diperkirakan meningkat seiring target pemerintah mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025 dengan investasi diproyeksikan mencapai Rp200 triliun.

Transportasi dan Logistik

Sektor transportasi dan logistik mengalami tekanan akibat kenaikan harga bahan bakar global dan ketidakpastian rantai pasok. Tingginya biaya logistik mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar internasional dan menaikkan harga barang domestik. Biaya logistik di Indonesia mencapai 23 persen dari PDB, jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia (13 persen) dan Vietnam (16 persen).

Kenaikan harga bahan bakar global yang diproyeksikan bertahan kisaran USD 85-90 per barel pada 2025, menjadi penyebab utama peningkatan biaya ini. Selain itu, maskapai penerbangan domestik menghadapi beban operasional meningkat dengan kenaikan tarif penumpang hingga 15 persen pada 2024 yang memperlambat pemulihan sektor pariwisata.

Pemerintah berupaya mengatasinya melalui pembangunan infrastruktur logistik, seperti pelabuhan dan jalur kereta api barang, yang diproyeksikan meningkatkan efisiensi 2025.

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara diperkirakan mencapai 7 juta orang pada 2024, jauh dibawah target pra-pandemi sebesar 15 juta orang per tahun. Belanja wisatawan dengan rata-rata pengeluaran per kunjungan menurun yang semula USD 1.200 menjadi USD 950. Industri kerajinan tangan, seni pertunjukan, dan fesyen lokal juga menghadapi penurunan permintaan.

Upaya pemerintah, seperti promosi pariwisata premium dan pengembangan destinasi super prioritas, diharapkan dapat meningkatkan kontribusinya terhadap PDB menjadi 5 persen pada 2025 dari 4 persen pada 2024.

Keuangan dan Perbankan

Sektor keuangan dan perbankan menghadapi tekanan akibat tingginya suku bunga acuan BI yang mengurangi permintaan kredit dan meningkatkan risiko kredit bermasalah (NPL). Tingkat NPL naik menjadi 2,9 persen dari 2,6 persen pada 2023, terutama sektor konsumsi dan properti.

Pertumbuhan kredit juga melambat hingga 8-9 persen yang mencerminkan kehati-hatian perbankan menyalurkan pembiayaan. Di sisi lain, layanan digital banking berkembang pesat dengan jumlah pengguna e-wallet diperkirakan meningkat hingga 20 persen pada 2025, mendukung inklusi keuangan di daerah terpencil. Pemerintah dan BI terus mendorong penguatan inklusi keuangan dengan target 90 persen populasi dewasa memiliki akses ke layanan keuangan formal pada 2025.

Pilihan Editor: Suku Bunga Acuan BI 6 Persen, Dosen dan Peneliti UII Ungkap Dampak Konteks Global dan Domestik pada 2025

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus