Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kurs rupiah sudah melewati 16.200 per dolar Amerika Serikat.
Bank Indonesia mengintervensi pasar untuk mendongkel kurs rupiah.
Dolar terus menguat dipicu inflasi dan kebijakan moneter The Fed.
MALANG betul nasib rupiah selama masa libur Lebaran. Ketika pasar finansial Jakarta tutup selama delapan hari, rupiah menjadi bulan-bulanan di pasar luar negeri. Kurs rupiah terhadap dolar terus anjlok saat Indonesia tengah menikmati ketupat Lebaran berlauk opor ayam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat pasar Jakarta buka kembali, Selasa, 16 April 2024, kurs rupiah sudah melewati 16.200 per dolar Amerika Serikat. Nilai rupiah terpangkas sekitar 2 persen selama liburan. Kemerosotan lebih dalam akhirnya tak terjadi karena ada intervensi Bank Indonesia. Pertanyaannya, sampai kapan BI mampu menahan kemerosotan rupiah lewat intervensi pasar?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini gejolak di pasar global karena menguatnya dolar Amerika Serikat seolah-olah tak tertahan. Bukan hanya rupiah yang “babak-belur”. Kurs mata uang negara-negara berkembang lain sampai negara sekaya Jepang pun jatuh.
Celakanya, penguatan dolar Amerika Serikat tak akan segera berhenti. Sinyal dari The Federal Reserve, bank sentral Amerika, malah makin jelas: jangan berharap ada penurunan bunga dalam waktu dekat.
Saat ini ekonomi Amerika Serikat masih tumbuh dengan cepat dan tingkat inflasinya tetap tinggi di atas 3 persen, bukan kondisi yang cocok untuk menurunkan suku bunga. Bunga tinggi dalam tempo lebih panjang inilah yang mendorong migrasi dana investasi secara masif, masuk ke aset-aset berdenominasi dolar Amerika dan membuat dolar menguat.
Pasar bahkan mulai cemas, jangan-jangan sampai tahun ini berakhir pun penurunan bunga The Fed belum akan terjadi. Perkiraan yang termasuk optimistis memperhitungkan paling cepat The Fed baru akan menurunkan bunga pada November nanti.
Tren dolar kuat yang masih akan berlangsung beberapa bulan ke depan ini bisa menjadi masalah besar bagi rupiah. Makin kecil kemungkinan kurs rupiah bisa kembali ke bawah 16 ribu per dolar Amerika Serikat.
Maka para analis di pasar kini sudah mulai mereka-reka sebuah garis maya sebagai batas psikologis baru. Jika kurs rupiah terus merosot mendekati batas ini, Bank Indonesia tak mungkin hanya mengandalkan intervensi pasar untuk menahannya. Lagi pula, intervensi di pasar ada batasnya karena menguras cadangan devisa.
Alternatifnya, BI harus menyiapkan kebijakan lain: menaikkan suku bunga. Pada 23-24 April 2024, Dewan Gubernur BI akan bersidang. Salah satu agendanya: memutuskan arah suku bunga rujukan atau BI-Rate.
Langkah menaikkan bunga akan membuat instrumen surat utang dalam rupiah lebih menarik bagi investor asing. Dana asing yang kini ramai mengalir keluar bisa tertahan, bahkan berbalik masuk kembali. Kurs rupiah berpotensi menguat.
Kendati demikian, langkah menaikkan bunga bukanlah keputusan yang bisa diambil dengan ringan. BI harus menimbang imbas negatifnya. Dengan bunga rujukan sebesar 6 persen saat ini, rupiah sudah termasuk high yield currency, salah satu mata uang yang memberi imbal hasil paling besar di pasar global.
Jika bunga yang sudah tinggi ini harus naik lagi, ekonomi Indonesia secara keseluruhan akan menanggung beban lebih berat. Kenaikan BI-Rate akan memicu rentetan konsekuensi yang sungguh panjang. Segala macam ongkos pinjaman, dari kupon obligasi pemerintah sampai bunga kredit usaha dan kredit konsumsi, akan ikut terkerek naik. Pada akhirnya, pergerakan roda ekonomi alias pertumbuhan bakal melambat.
Kendati dampaknya berat bagi ekonomi, penaikan bunga bukanlah hal tabu bagi BI. Pada Oktober 2023, misalnya, ketika kurs rupiah merosot hampir 2,5 persen dalam sebulan, sempat melewati 15.900 per dolar Amerika Serikat dan nyaris melampaui batas psikologis saat itu, 16 ribu. Untuk mencegah kemerosotan lebih dalam, BI menaikkan suku bunga rujukan dari 5,75 persen menjadi 6 persen.
Kini situasinya seolah-olah berulang dan BI harus membuat keputusan pelik. Yang pasti, BI tak bisa membiarkan kurs rupiah melorot terlalu jauh. Konsekuensinya amat serius. Selain mendorong inflasi dari kenaikan harga barang impor, jatuhnya nilai rupiah membuat beban pemerintah ataupun korporasi yang punya utang dalam dolar kian berat.
Runtuhnya nilai rupiah juga berpotensi menimbulkan krisis besar yang merambat ke mana-mana. Itu pernah kita alami seperempat abad silam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo