Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Keluarga

Beberapa ahli ilmu politik berpendapat bahwa indonesia lebih menganut pola korporatisme eksklusioner yang memusatkan segalanya di tangan aparat negara.

14 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELUARGA adalah sebuah impian tentang kerukunan. Meskipun yang kita dengar tentang itu sering berbeda: dalam cerita terkenal tentang keluarga pertama manusia, konflik antara Kain dan Abil yang seibu dan seayah berakhir dengan kematian. Tapi mungkin justru karena itu kita berharap yang sebaliknya. Maka lahirlah sebuah ide tentang keluarga yang aman, tenteram, damai, banyak rangkul, banyak senyum. Kata ''kekeluargaan'' dalam kamus politik kita sebuah kosakata yang penting dewasa ini menunjukkan ide yang berdasarkan harapan seperti itu. Artinya: bukan ''liberalisme''. Artinya: bukan ''kediktaturan''. Artinya:.... Artinya sebuah sistem yang rada lain dari yang lain. Tapi agaknya tidak khas Indonesia. Alfred Stepan, seorang ahli ilmu politik yang mempelajari negeri-negeri Amerika Latin, pada tahun 1978 berbicara tentang organic statism. Dalam model ini, pelbagai bagian masyarakat dilihat sebagai sesuatu yang secara kodrat bersatu dalam suatu bangunan politik yang harmonis. Negara memegang pimpinan yang kuat dan menentukan. Masyarakat diatur dalam kelompok-kelompok fungsional yang tak bersaing satu sama lain. Pertentangan kelas dianggap tak ada. Juga suara individu. Dengan kata lain, sebuah ''korporatisme''. Di sini pernyataan kepentingan yang spontan ditiadakan: semuanya harus melalui ''saluran yang sudah ditentukan''. Ada kelompok-kelompok yang, dalam jumlah terbatas, diakui untuk berhubungan dengan aparat pemerintah secara teratur dan diatur. Kelompok-kelompok ini umumnya berupa perhimpunan masyarakat yang menyuarakan suatu jenis fungsi dan kepentingan, tetapi yang pimpinannya lazimnya direstui pemerintah: buruh, tani, pengusaha.... Sebuah demokrasi? Mungkin kata ''demokrasi'' harus dihindari di sini. Stepan hanya membedakan dua macam korporatisme. Yang pertama korporatisme yang ''eksklusioner''. Yang kedua yang ''inklusioner''. Yang pertama ditandai oleh lebih besarnya pengawasan oleh negara dan itu berarti lebih kuatnya pengekangan. Yang kedua lebih banyak ruang untuk masukan dari masyarakat, namun hanya melalui perhimpunan-perhimpunan kerja yang dianggap sah. Dan tentu saja negara tetap dominan. Tentu, Anda melihat bahwa model organic statism banyak cocoknya dengan model ''kekeluargaan'' Indonesia. Beberapa ahli ilmu politik juga berpendapat demikian. Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Asia Research Centre bulan lalu di Perth, Australia Barat, Dr. Andrew MacIntyre mengemukakan itu. Dan ia melihat ke depan: suatu keadaan ''eksklusioner'' yang memusatkan segalanya di tangan aparat negara dan menyisihkan banyak unsur keikutsertaan masyarakat pada akhirnya akan repot untuk Indonesia. Tapi yang akan muncul dalam masa sepuluh tahun mendatang bukanlah sebuah ''demokratisasi''. Partai-partai politik tetap tak akan bersaing bebas dalam pemilihan umum. Organisasi- organisasi sosial tak akan menjadi lebih cair mengalir dan kompetitif. MacIntyre tampaknya tak melihat bahwa pertumbuhan ekonomi, yang dikaitkan dengan tumbuhnya kelas menengah yang menurut teori adalah pendorong demokratisasi akan membuat perubahan besar pada sistem yang ada. Apa yang terjadi di Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand mungkin tak akan terjadi di sini. Lalu apa? Jawabnya: perubahan yang ad hoc, yang berdikit- dikit, dan khusus sifatnya untuk setiap sektor kehidupan. Dengan kata lain, Indonesia akan lebih ke arah korporatisme yang ''inklusioner''. Dalam gambaran masa depan ini, tak ada bunga meriah bagi para demokrat yang tak sabar. MacIntryre memang hati-hati, seraya mengakui bahwa argumennya masih memerlukan penelitian empiris yang lebih rinci. Bagi saya, yang bukan penyabar tapi takut berharap, yang tampak di depan memang sebuah jalan rata yang terus dan membosankan. Atau sebuah paradoks: sistem yang sekarang akan berlangsung lama, bukan karena negara kuat, melainkan justru karena negara itu begitu berlobang-lobang. Ia tidak 24 jam bersifat represif dan ''eksklusioner'', ia ''bisa diatur'', dan batas mana yang negara dan mana yang masyarakat menjadi kabur, ketika para pejabat punya kepentingan sebagai orang swasta dan sebalikya, ketika suap dan koneksi jalin-menjalin. Mungkin itu juga gara- gara apa yang disebut ''kekeluargaan'': sesuatu yang kacau, meskipun dicoba dikemudikan serapi-rapinya. Toh ''kecelakaan akan terjadi dalam keluarga yang paling teratur'', tulis Charles Dickens dalam cerita masyhur David Copperfield. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus