Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Laris Utang di Tengah Perang

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo 

11 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Teller menghitung uang rupiah di Bank BNI KCP Tubagus Angke, Grogol Petamburan, DKI Jakarta, Jumat (03/01/2020). Pascabanjir yang melanda berbagai wilayah DKI Jakarta, layanan perbankan yang terdampak banjir kembali beroperasi normal. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK terduga, rupiah mendadak kuat ketika situasi di Timur Tengah memanas. Jumat, 10 Januari lalu, kurs rupiah melambung ke level 13.773 per dolar Amerika Serikat. Inilah posisi terkuat rupiah sejak April 2018. Berbagai faktor positif pada awal 2020 rupanya mampu menggilas energi negatif yang sempat merebak ketika konflik antara Amerika Serikat dan Iran memuncak karena pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani, Jumat, 3 Januari lalu.

Sebab, menguatnya rupiah tentu tak lepas dari meredanya konflik. Iran memang sempat membalas pembunuhan Soleimani dengan menembakkan rudal ke pangkalan militer Amerika di Irak. Tapi tak ada tentara Amerika yang menjadi korban. Beberapa jam berikutnya, sebuah Boeing 737-800 NG milik Ukraine International Airlines mendadak jatuh di dekat bandar udara Teheran. Spekulasi pun merebak bahwa pesawat yang membawa 176 orang itu korban rudal nyasar Iran. Belum jelas benar apa yang sebenarnya terjadi. Tapi pertikaian yang sebelumnya seolah-olah segera meledak menjadi perang terbuka tiba-tiba mereda. Pasar finansial global pun mengembuskan napas lega.

Harga minyak Brent yang sempat melonjak mendekati US$ 70 per barel, Jumat, 10 Januari lalu, kembali turun menjadi US$ 65. Melandainya harga minyak sungguh sangat melegakan Indonesia sebagai negara yang mengimpor setara 1 juta barel produk minyak bumi per hari. Harga minyak yang rendah tentu mengurangi beban defisit neraca transaksi berjalan.

Meredanya gejolak harga minyak bukanlah satu-satunya soal yang membuat rupiah menguat. Pada awal tahun ini, pemerintah RI juga agresif menerbitkan surat utang. Pada Selasa, 7 Januari lalu, Kementerian Keuangan berhasil melelang tujuh seri Surat Utang Negara berdenominasi rupiah senilai Rp 20 triliun. Selain itu, tak tanggung-tanggung, pemerintah menerbitkan dua seri obligasi berdenominasi dolar Amerika Serikat senilai total US$ 2 miliar dan satu seri berdenominasi euro senilai € 1 miliar (lihat tabel).

Dalam keadaan tak menentu, pasar pasti mencari wahana investasi yang lebih aman. Dan surat utang terbitan pemerintah selalu dianggap lebih aman ketimbang instrumen lain. Walhasil, jualan pemerintah laris manis. Indikatornya, pemerintah menjual obligasi dolar Amerika bertenor 10 tahun dengan imbal hasil hanya 2,880 persen, rekor terendah untuk penjualan instrumen yang sama sepanjang sejarah. Demikian pula obligasi euro bertenor tujuh tahun, yang laris terjual dengan yield hanya 0,953 persen.

Pemerintah memang harus agresif berutang untuk menambal kekurangan anggaran negara tahun ini. Penerbitan berbagai seri obligasi pada awal tahun ibaratnya upaya menimbun amunisi. Kurs rupiah pun ikut terdongkrak tinggi karena devisa yang deras mengalir masuk dari hasil penjualan berbagai surat utang itu.

Ini modal yang baik mengawali 2020. Namun harus dicatat bahwa investor global juga punya ekspektasi tinggi terhadap Indonesia. Restrukturisasi ekonomi yang dijanjikan pemerintah harus benar-benar terwujud. Itulah yang mendorong optimisme mereka sehingga bersedia memborong surat utang terbitan pemerintah.

Yang sangat mereka tunggu adalah terbitnya undang-undang yang sekaligus membenahi berbagai sektor alias omnibus law. Selama ini, investor di sektor riil selalu mengeluhkan tumpang-tindihnya berbagai aturan yang pada akhirnya menghambat berbagai kegiatan usaha. Ekonomi menjadi sangat tidak efisien karena berbagai regulasi itu pada ujungnya hanya menciptakan berbagai peluang kongkalikong birokrat dan politikus. Hanya pebisnis berkoneksi kuat yang mampu bergerak. Segala macam kegiatan ekonomi pada akhirnya makan ongkos lebih besar karena praktik perburuan rente ekonomi itu.

Jika harapan ini ternyata melompong, omnibus law yang ditunggu-tunggu malah tak berhasil menciptakan iklim ekonomi yang transparan dan bebas distorsi politik, jangan heran jika kepercayaan investor berbalik runtuh. Modal awal yang baik pada 2020 ini sejatinya juga mengirim sinyal kepada pemerintah: kembalilah mengelola ekonomi dengan berpijak pada prinsip pasar yang adil dan terbuka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

•••

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus