Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Den Kisot hingga Gang Patos

BOLEH dibilang, sepanjang 2019, tak begitu banyak karya seni yang mengejutkan. Meski begitu, dunia seni Indonesia terus mengalami penyegaran dan berupaya menjelajahi wilayah estetik baru. Dalam seni pertunjukan muncul sebuah pentas wayang golek yang menampilkan kisah Don Quixote karya sastrawan Spanyol, Miguel de Cervantes. Di jagat seni rupa, ada seniman yang terus konsisten mengeksplorasi bunyi sebagai medium seninya. Lalu, di ranah sastra, para penulis muda menyuguhkan karya prosa berbentuk novelet atau novela—format novel yang ringkas tapi bila disajikan dengan terampil bisa memiliki lapisan-lapisan cerita yang dalam. Tempo mengundang para pengamat untuk menyeleksi dan mendiskusikan nomine sebelum memilihnya untuk dinobatkan sebagai karya dan tokoh seni pilihan.

11 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tokoh Seni Pilihan Tempo 2019

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LARANTUKA, Juli 2019. Sebuah pertunjukan teater kolaborasi seniman Asia (Indonesia, Jepang, Vietnam, dan Sri Lanka) yang bertolak dari naskah dramawan Norwegia abad ke-19, Henrik Ibsen, disajikan Teater Garasi di taman kota sebelah barat Taman Doa Mater Dolorosa. Naskah Peer Gynt karya Ibsen jarang, atau malah tak pernah, dipanggungkan di Indonesia. Sekalinya dimainkan, karya itu disajikan Teater Garasi dengan cara pandang berbeda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka mengadaptasi dan menafsirkan secara bebas naskah tersebut menjadi Peer Gynt di Larantuka (Kisah Para Pengelana dari Asia). Pertunjukan ini kemudian dipentaskan di Jepang, November 2019. Di Larantuka, kolaborasi yang disutradarai Yudi Ahmad Tajudin ini juga mengajak seniman-seniman lokal dan tetua adat Flores Timur. Kisah asli Peer Gynt, yang bercerita tentang petualangan Peer Gynt, menjadi diwarnai kisah-kisah kenyataan sosial di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, yang penuh kelindan rumit antara adat lama, budaya, negara modern, dan agama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Bandung, di panggung gedung Dewi Asri ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia), 29 November 2019, Rahman Sabur dan Teater Payung Hitam menyajikan Waiting for Godot tanpa kata. Rahman Sabur, sutradara Teater Payung Hitam, menafsirkan naskah Samuel Beckett tersebut secara radikal dengan hanya menggunakan ekspresi tubuh. Di situ tetap ada sosok Vladimir, Estragon, Pozzo, dan Lucky—tokoh gelandangan dalam naskah asli Beckett. Alur adegannya sama. Tapi seluruh dialog, kalimat di antara mereka, dibuang. Sepenuhnya interaksi mereka dibangun lewat permainan tubuh. Sebuah pentas Godot yang sungguh lain. Godot versi physical theater.

Pementasan teater I La Galigo arahan sutradara Robert Wilson di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta 03 Juli 2019. TEMPO/Nurdiansah0

Pada pengujung tahun lalu, tepatnya 14-15 Desember, komposer Tony Prabowo dan penyair Goenawan Mohamad menyajikan Opera Gandari versi ketiga. Sebelumnya, Opera Gandari dipentaskan pada 2014 di Teater Jakarta dengan sutradara Yudi Ahmad Tajudin dan di gedung teater Frankfurt Lab, Frankfurt, Jerman, pada Oktober 2015 dengan arahan koreografer Taiwan, Su Wen-Chi. Penata panggung dua pementasan awal itu berbeda. Yang pertama Teguh Ostenrik. Yang kedua Jay Subiyakto. Pada versi ketiga ini, Tony dan Goenawan mempercayakan penyutradaraan kepada Melati Suryodarmo. Jay tetap terlibat sebagai penata panggung, tapi desain skenografinya tak sama dengan yang diciptakannya di Frankfurt. Komposisi Tony untuk versi ketiga ini pun baru. Pada versi ini, Christine Hakim tampil sebagai aktris yang sepanjang pertunjukan menarasikan libreto Goenawan. Adapun Bernadeta Astari membawakan vokal solo dan Peter Veale dari Musikfabrik (Jerman) menjadi pengaba orkestra.  

Tiga pertunjukan tersebut mewarnai dunia seni pertunjukan Indonesia 2019.  Selain itu, masih banyak pertunjukan yang patut diapresiasi sepanjang 2019. Teater I La Galigo yang disutradarai Robert Wilson dengan materi semua aktor dari Indonesia, misalnya, dipentaskan kembali di Ciputra Artpreneur, Jakarta, pada 3-7 Juli. Struktur dan materi pentas I La Galigo di Ciputra Artpreneur sama dengan pertunjukan awalnya di Esplanade, Singapura, pada Maret 2004. Hanya, durasi dipampatkan dari tiga jam menjadi 2 jam 15 menit. Beberapa pemain utama juga diganti, termasuk Puang Matoa Saidi, pendeta bissu yang wafat pada Juni 2011.

Selain itu, ada pentas Suprapto Suryodarmo di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada 23 November. Prapto—sapaan tokoh meditasi gerak asal Solo, Jawa Tengah, yang wafat pada 29 Desember 2019 itu—tampil dalam acara ritual Kalacakra Tantrayana yang dilakukan para biku True Buddha Foundation dari Taiwan di lapangan Kenari. Berkolaborasi dengan Sitras Anjalin, spiritualis dari Padepokan Tutup Ngisor, lereng Gunung Merapi, Prapto menggelar pertunjukan seni bertajuk Umbul Donga Alang-Alang Kumitir. Prapto menggunakan properti berupa tangga yang dirangkai dengan kain-kain berwarna putih, kuning, dan merah sebagai umbul-umbul. Seorang lelaki berkostum sebagaimana pendeta bissu dari Makassar, berbaju dan penutup kepala serba putih, menari dengan kipas di tangannya di bagian paling atas tangga. Para pemusik dari Bugis berjalan memutari mandala yang dibuat para biku Tantrayana.

Pembaca, seperti tahun-tahun lalu, pada awal Januari kami berusaha menengok perkembangan dunia seni dan sastra tahun sebelumnya. Kami memilih karya seni pertunjukan, sastra, seni rupa, dan musik yang kami nilai inovatif, menyegarkan, menyajikan kedalaman, serta membuka kemungkinan-kemungkinan artistik baru. Selain anggota redaksi, untuk penjurian seni, sastra, dan album musik pilihan Tempo 2019, kami mengundang pengamat sastra dan penulis, Seno Gumira Ajidarma; kritikus sastra, Zen Hae; pengamat seni rupa, Hendro Wiyanto, penulis dan pengamat seni pertunjukan, Bambang Bujono; serta pengamat musik David Tarigan dan musikus yang juga dosen Institut Kesenian Jakarta, Nyak Ina Raseuki.

 

•••

DI jagat seni rupa, kabar mengejutkan datang dari Documenta pada Februari 2019. Ruangrupa—komunitas seniman yang bermarkas di Jagakarsa, Jakarta Selatan—terpilih menjadi direktur artistik atau kurator utama Documenta ke-15 yang akan digelar pada 2022. Ini prestasi luar biasa. Documenta salah satu perhelatan seni rupa paling bergengsi dan berkualitas di dunia. Acara seni yang digelar tiap lima tahun di Kota Kassel, Jerman, itu memiliki posisi tersendiri dibanding biennale (pergelaran seni rupa dua tahunan) dunia, seperti Venice Biennale atau São Paulo Biennale. Ditunjuknya Ruangrupa sebagai kurator Documenta merupakan prestasi besar bagi dunia seni rupa kita. Tentu hal ini akan membawa dampak internasional bagi dunia seni rupa Indonesia.

Perkembangan dunia seni rupa Indonesia memang cukup progresif. Namun, sepanjang tahun lalu, pameran tunggal yang cukup kuat menurut kami tak begitu banyak. Salah satu yang mencuri perhatian kami adalah pameran perupa Putu Sutawijaya bertajuk “Anetes” di Sangkring Art Space, Yogyakarta, pada 27 November-5 Desember. Dalam pameran tunggalnya itu, Putu menampilkan sepuluh karya bertema garuda yang terinspirasi kisah burung Garudeya sebagai penjaga kebinekaan. Untuk membuat karya-karyanya itu, Putu blusukan ke sejumlah candi dan situs yang terdapat Garudeya. Ia mendatangi penggalian situs Petirtaan Sumberbeji di Jombang, Jawa Timur. Dari penggalian itu, Putu melihat arca Garudeya yang muncul dari endapan lumpur. Arca garuda dari batu andesit itu seperti sedang berancang-ancang terbang. Di tangannya tergenggam sebuah cupu berisi tirta amerta.

Pentas Opera Kontemporer Gandari saat di Gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 13 Desember 2019. TEMPO/Nurdiansah

Pameran yang juga menarik adalah proyek seni Uji “Hahan” Handoko di Dresden, Jerman. Lewat proyek seni bertajuk “The Curious Deal” pada 30 November-1 Desember 2019 itu, Hahan menggambar kembali citra dan imaji tentang Raden Saleh secara kontemporer. Lewat lukisannya, Hahan membaca kembali narasi tentang Raden Saleh dan sejarah Dresden, kota tempat maestro seni lukis Indonesia tersebut pernah tinggal dan berkiprah. Hahan membuat lukisan besar berukuran 9 x 3 meter. Kemudian lukisan yang merupakan reka ulang sejumlah karya Raden Saleh dengan gaya kontemporer itu “dipotong-potong” menjadi 83 bagian dalam berbagai ukuran. Setiap bagian lalu ditawarkan kepada pengunjung untuk dibeli dengan sistem lelang. Idenya adalah siapa saja bisa membeli karya seni sesuai dengan ketersediaan dana masing-masing, tanpa harus menjadi orang superkaya.

Yang juga membetot perhatian kami adalah performance art pasangan seniman Irwan Ahmett dan Tita Salina. Dalam acara berjudul The Archive of Violence di Goethe-Institut Jakarta, 20 Desember 2019 itu, Irwan dan Tita menampilkan persilangan pertunjukan seni dan ceramah tentang akar kekerasan. Keduanya memperlihatkan potongan gambar dan video di layar yang sebagian mereka rekam sendiri sebagian potongan dari arsip atau Internet. Selain itu, mereka menghadirkan barang-barang temuan di atas panggung. Lalu ada pameran tunggal Ugo Untoro. Dalam pameran bertajuk “Rindu Lukisan Merasuk di Badan” di Galeri Nasional, Jakarta, 20 Desember 2019-12 Januari 2020 itu, Ugo menampilkan sekitar 70 karya lukis. Di antaranya seri Sleeping Buddha, seri Rain, dan Painting Series. Karya-karya Ugo kadang sangat intuitif dan subyektif, yang membuat cara menikmatinya tidak seperti kita mendekati lukisan pada umumnya.

 

•••

DI kategori sastra, kami mengamati sepanjang 2019 jagat ini diwarnai dengan upaya membuat karya prosa berbentuk novelet ataupun novela (novel pendek). Di antaranya Omong-kosong yang Menyenangkan karya Robby Julianda, Dekat & Nyaring (Sabda Armandio), Arapaima (Ruhaeni Intan), dan Raymond Carver Terkubur Mi Instan di Iowa (Faisal Oddang). Di ranah puisi, boleh dibilang sepanjang 2019 jumlah buku kumpulan puisi begitu banyak. Namun karya-karya itu masih belum beranjak dari puisi Indonesia tahun-tahun sebelumnya. Puisi-puisi liris berkarakter suasana masih mendominasi.

Dalam menentukan karya sastra pilihan Tempo 2019, kami menggunakan beberapa parameter: kebaruan, keterampilan berbahasa, serta peleburan antara gagasan dan rancang bangun sebuah karya sastra. Dari parameter itu, untuk kategori prosa, pilihan kami mengerucut pada tiga nomine: Sawerigading Datang dari Laut (Faisal Oddang), Cara Berbahagia tanpa Kepala (Triskaidekaman), serta Dekat & Nyaring (Sabda Armandio). Akan halnya untuk kategori puisi, ada tiga pilihan yang menjadi nomine kami: Anjing Gunung (Irma Agryanti), Jalan Lain Ke Majapahit (Dadang Ari Murtono), dan Khotbah Si Bisu (Deddy Arsya).

Suprapto Suryodarmo di acara Borobudur Writer’s and Cultural Festival 2019. TEMPO/Shinta Maharani

Di bidang musik, kami mengamati industri rekaman sepanjang 2019 melahirkan puluhan album dalam berbagai genre, dari folk, pop, jazz, blues, hingga rock. Kami kemudian menyaringnya menjadi sepuluh album. Dari sepuluh karya itu, kami memilih satu untuk dinobatkan sebagai album terbaik pilihan Tempo 2019. Pilihan kami mengerucut pada tiga kandidat: Khawagaka (Zoo), Menari dengan Bayangan (Hindia), dan LEXICON (Isyana Sarasvati).

 

•••

SETELAH melalui perdebatan panjang, untuk pameran tunggal seni rupa, kami akhirnya bersepakat memutuskan instalasi bunyi karya Julian Abraham Togar sebagai karya seni rupa pilihan Tempo 2019. Pameran instalasi bunyi Togar ini digelar di Rubanah-Underground Hub, Jakarta, pada 27 April-18 Mei 2019. Dalam pameran bertajuk “Melintas Bunyi” itu, Togar menampilkan karya-karya instalasi yang mengeksplorasi bunyi dalam kehidupan sehari-hari. “Proyek ‘Melintas Bunyi’ berupaya meyakinkan kita bahwa khazanah bunyi layak menjadi pusat perhatian seniman kontemporer yang tanpa sadar terkurung oleh budaya okular dan selama ini memuja indra penglihatan,” kata Hendro Wiyanto.

Lahir di Medan pada 1987, Togar, yang dikenal sebagai penabuh drum sejumlah band, mulai tertarik pada eksperimen bunyi ketika belajar di Jurusan Penyiaran Radio-TV dan Film Akademi Komunikasi Indonesia, Yogyakarta, dan bergabung dengan komunitas House of Natural Fiber. Pada 2015, ia membuat karya Instalasi Tanah Berbunyi di Galeri Jatiwangi Art Factory, Majalengka, Jawa Barat, dengan memanfaatkan lantai tanah di lingkungan setempat sebagai wahana tetabuhan. Dua tahun kemudian, ia memamerkan proyek instalasi bunyi, “Sebelum Gendang”, di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta.  

Pada 2018, ia melanjutkan proyek bebunyiannya di Cemeti-Institute for Art and Society, Yogyakarta, dalam pameran “IIINNNGG”. Lalu, pada 2019, Togar kian mantap dengan karya instalasi bunyinya lewat proyek “Melintas Bunyi” yang dipamerkan di Rubanah. Proyek itu diniatkan keluar dari bahasa rupa yang bersandar pada indra penglihatan semata. Gantinya, Togar menempatkan indra pendengaran kita sebagai yang sangat penting dalam cerapan. “Bagi Togar, benda-benda tak sekadar menjadi sumber bunyi, tapi bebunyian yang dihasilkannya itu secara konkret menimbulkan imaji rupa, lingkungan, situasi, atau kejadian,” ujar Hendro.

Akan halnya bidang seni pertunjukan, kami memilih pementasan Den Kisot di Galeri Salihara, Jakarta, pada 14 Juli 2019. Pentas garapan Endo Suanda itu menggabungkan panggung teater, wayang golek, dan akting pemain. Pertunjukan itu diangkat dari novel masyhur Spanyol, Don Quixote (Don Quijote), karya Miguel de Cervantes. Nama Don Quixote dipelesetkan menjadi Den Kisot asal Tanah Sunda. Den Kisot hadir dengan segala yang mungkin dalam sebuah teater boneka: aktor yang sebenarnya (bukan boneka), suguhan video pembakaran buku, dan semua itu didukung bentuk boneka yang tanpa dimainkan pun terasa bermakna, seperti karya seni rupa tiga dimensi yang bermutu. “Sebagai sutradara, Endo sangat piawai mengalihwahanakan teks yang lazim dibaca sendiri menjadi pertunjukan yang enak ditonton dan direspons dengan bebas, seperti sebuah teater rakyat,” ucap Bambang Bujono.

Endo adalah etnomusikolog lulusan University of Washington, Amerika Serikat. Ia juga mempelajari pedalangan dan wayang golek, tari, pembuatan topeng Cirebon, serta kebudayaan Baduy. “Sebagai seniman, Endo itu komplet. Dia menguasai gamelan, wayang golek, topeng, dan pedalangan. Dan pentas Den Kisot seluruhnya dipegang Endo,” tutur seorang juri, menambahkan.

Di bidang prosa, kami memilih novela Dekat & Nyaring sebagai karya sastra prosa pilihan Tempo 2019. Sebagai sebuah novela, karya Sabda Armandio ini berbentuk padat. Kedisiplinan pengarangnya terhadap bentuk itu sangat bagus. “Sama sekali tidak ada paragraf yang mubazir atau yang melantur ke mana-mana. Kokoh. Padat,” kata Zen Hae. Diksi dalam novela sepanjang 110 halaman ini terjaga dengan ketat. “Isinya juga pekat. Dia prosaik dan juga puitik,” ucap Seno Gumira Ajidarma.

Dekat & Nyaring terbitan Banana ini adalah sebuah episode pendek yang terjadi pada penghuni sebuah gang yang dijepit bantaran sungai dan perumahan elite bernama Gang Patos. Seluruh cerita dalam buku ini terjadi hanya dalam waktu satu hari di sebuah gang sempit, tapi begitu banyak yang digali dan diceritakan dengan cerdas oleh Dio—panggilan pengarang bernama lengkap Sabda Armandio Alif itu. 

Putu Sutawijaya di pamerannta yang bertajuk Anetes di Sangkring Art, Bantul, Yogyakarta, 2 Desember 2019. TEMPO/Gunawan Wicaksono

Dio mengungkapkan, setting Gang Patos dibangunnya dari hasil blusukan ke gang-gang kecil di sekitar Kemang, Jakarta Selatan, ditambah inspirasi setelah dia membaca komik A Contract with God karya Will Eisner (1978).  Dio mulai menulis Dekat & Nyaring pada 2017. Laporan Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mengenai konflik perampasan tanah yang membuat Dio mulai terketuk menulis tentang orang-orang tergusur. Namun, bukan sekadar eksploitasi kemalangan kelompok kecil, yang hendak disampaikan Dio lewat novela ini sebenarnya adalah kritik terhadap hierarki kapitalisme. “Aku mengincar kaki paling bawah dari sistem itu, yaitu polisi,” ujar pria 28 tahun ini.

Di kategori puisi, kami menilai buku kumpulan puisi Khotbah Si Bisu karya Deddy Arsya sebagai yang terunggul. Deddy menggarap tema sejarah. Namun ia tak hanya menyajikan suasana reportase atau realitas. Citraan-citraan imaji yang dibangunnya sering tak terduga. Deddy menyebutkan sajak-sajaknya dibayang-bayangi narasi historis. Sebab, bukan semata latar pendidikannya sebagai master ilmu sejarah Universitas Andalas, Padang, tapi juga kondisi keluarga dan kampung halamannya yang semacam arsip sejarah. “Saya hidup di masyarakat dengan konflik sejarah tinggi,” kata lelaki kelahiran tahun 1987 ini. Nenek Deddy gemar berkisah dan senang membagikan pengalamannya. Begitu pula bapaknya, Syamsir Adnan, yang merekam riwayat politik yang mungkin tak ada di buku-buku sejarah. “Kumpulan puisi saya kali ini temanya agak politik, dengan latar yang kebanyakan otoritarian Orde Lama,” tuturnya. Betapapun demikian, Deddy mampu menyajikan kisah politik itu tanpa membuat puisinya jatuh pada puitika yang verbal. Dia menghidupkan imaji otoritarian pada masa yang tidak ia jejaki langsung, dengan citraan menyerupai dongeng

Di kategori musik industri, setelah melalui diskusi lumayan panjang, akhirnya kami bersepakat memilih LEXICON dari Isyana Sarasvati sebagai album pilihan. Boleh dibilang LEXICON merupakan album pembuktian Isyana. “Ini album Isyana yang sangat berbeda. Ia meninggalkan gaya pop yang melekat di dua album sebelumnya. Dan di album ini ia menunjukkan talentanya bermain musik klasik Barat,” kata David Tarigan. Hal senada disampaikan juri lain, Nyak Ina Raseuki, yang akrab disapa Ubiet. Menurut Ubiet, berbeda dengan lagu dan gaya bernyanyi Isyana dalam dua album sebelumnya, yang memperdengarkan kekuatan gaya pop, dalam LEXICON penyanyi itu menunjukkan pengaruh kepiawaian dan penguasaan musik klasik Barat yang digunakan sebagai dasar musik-nyanyian. “Namun semua itu masih dalam wilayah musik dan gaya populer, yakni cara yang ia gunakan untuk menyampaikan hasrat musikal dan gaya bernyanyinya kepada pendengar,” ucap Ubiet.

Konsep album LEXICON juga sangat kuat. Saling-silang gaya musik dan nyanyian yang secara terus-menerus berpindah di antara musik dengan pengaruh klasik Barat dan musik populer terdengar hampir di semua lagu dalam album ini. “Selain itu, kekuatan Isyana pada teknik dan ekspresi bernyanyi disuarakannya dengan ringan, berpindah-pindah dari teknik dan gaya nyanyian populer yang bertumpu pada gaya berbicara sehari-hari dengan pengaruh gaya nyanyian bel canto, yang terletak pada teknik bernyanyi wilayah nada atas dalam gaya keringanan,” tutur Ubiet.

 


 

TIM LIPUTAN KHUSUS TOKOH SENI PILIHAN TEMPO 2019

Penanggung Jawab: Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim
Koordinator: Isma Savitri, Moyang Kasih Dewimerdeka
Dewan Juri dan Penulis: Seno Gumira Ajidarma, Zen Hae, Bambang Bujono, Hendro Wiyanto, David Tarigan, Nyak Ina Raseuki, Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Mustafa Ismail, Kurniawan, Isma Savitri, Moyang Kasih Dewimerdeka
Penyumbang Bahan: Anwar Siswadi (Bandung)
Penyunting: Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim
Bahasa: Uu Suhardi, Iyan Bastian, Hardian Putra Pratama
Foto: Gunawan Wicaksono, Ratih Purnama Ningsih, Jati Mahatmaji
Desain: Eko Punto Pambudi, Djunaedi, Kendra Paramita, Mistono
Digital: Imam Riyadi, Rio Ari Seno, Riyan R Akbar

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus