SESUDAH selama dua tahun anggaran tertekan, neraca perdagangan Indonesia 1983-1984 mendadak kejatuhan surplus mencapai US$ 7,625 milyar. Surplu sebesar itu masih bisa dihasilkan terutama dari minyak bumi dan gas alam. Lalu karet dan kayu lapis yang selama periode itu tergencet resesi. Tapi Menteri Penerangan Harmoko yang mengumumkan surplus "menggembirakan" selesai sidang ekuin pekan lalu itu, tak mengemukakan transaksi di bidang jasa-jasa tahun anggaran itu. Tak jelas benar apakah jasa-jasa kali ini posisinya bakal lebih baik sesudah pemerintah sejak tahun lalu mengharuskan semua barang miliknya diangkut kapal berbendera Indonesia, lalu disusul dengan tindakan menaikkan biaya fiskal dari Rp 25.000 jadi Rp 150.000 per orang. Selama empat tahun anggaran sebelumnya, defisit di bidang ini - yang memakan banyak surplus neraca perdagangan - cenderung naik terus. Tahun anggaran Ini saja, menurut buku Repelita IV, defisit transaksi jasa-jasa itu diduga akan meliputi angka US$ 6,9 milyar. Besar kecilnya defisit transaksi di bidang jasa-jasa inilah yang akan mempengaruhi plus-minusnya neraca barang dan jasa (transaksi berjalan). Karena surplus perdagangan diduga hanya US$ 2,2 milyar, maka neraca barang dan jasa 1983-1984 itu diduga akan defisit US$ 4,7 milyar. Besarnya dugaan defisit transaksi berjalan ini, menurut Dr. Hadi Soesastro, ketua Departemen Ekonomi CSIS, bakal memberikan indikasi seberapa besar diperlukan pinjaman luar negeri, dan seberapa jauh cadangan devisa bisa digunakan untuk menambal defisit itu. Tapi kini, "Kita belum tahu berapa besar defisitnya," katanya. Menurut sekjen Kadin, M. Sadli, besarnya perkiraan defisit yang US$ 4,7 milyar itu belum mengkhawatirkan - karena, "Masih bisa ditomboki dengan pinjaman IGGI dan utang komersial." Keadaan baru mengkhawatirkan, katanya, jika defisit neraca barang dan jasa itu melebihi US$ 5 milyar. Karena itu, agaknya, menjelang tutup tahun anggaran lalu, pemerintah kurang terdengar banyak melakukan pinjaman komersial berjangka pendek dengan bunga tinggi. Utang terbesar tahun ini, Maret lalu, misalnya, hanya US$ 750 juta, sedangkan tahun lalu US$ 1 milyar. Bagi Indonesia, yang masih membutuhkan banyak barang modal dan bahan baku (penolong) untuk industrinya, defisit semacam itu oleh Prof. Sadli dianggap "lumrah". Defisit itu, katanya, tidak berarti apa-apa, "Kalau kemampuan menutupnya dengan ekspor bisa lebih besar." Tapi, repotnya, tiga tahun anggaran terakhir Ini - terutama sesudah harga minyak jatuh - kemampuan menutup itu kurang dimiliki oleh komoditi ekspor nonmigas. Industri lokal belum banyak menghasilkan barang ekspor, yang bisa cepat menggigit kebangkitan ekonomi di AS, seperti Singapura dan Taiwan yang mampu mengekspor produk substitusi elektronik semacam chips dan semikonduktor. Kayu lapis, yang dijagokan bisa menggantikan peranan kayu gelondongan, di Jepang terbentur bea masuk setinggi 19%. Tak jelas benar mengapa Tokyo melakukan tindakan diskriminasi semacam itu, mengingat kayu lapis eks AS hanya dikenai tarif bea masuk 10%. "Yang perlu kita gembar-gemborkan sekarang adalah agar proteksi diskriminatif itu diturunkan," ujar Sadli. Selain itu, barang ekspor dari sini dianggap kurang punya daya saing di pasar bebas hingga volumenya sulit ditingkatkan. Sebabnya, menurut penjelasan buku Repelita IV, proteksi berlebihan yang dijalankan pemerintah terhadap industri subsititusi impor ternyata malah menimbulkan inefisiensi. Contohnya, demikian Bank Dunia dalam sebuah laporan April lalu, harga televisi warna 21 inch rakitan lokal Rp 740.000 sedangkan eks impor (cif) hanya Rp 500.000 per set. Juga kertas Kraft, eks lokal Rp 533, sedangkan yang impor (cif) hanya Rp 301 per kg. Untuk meningkatkan efisiensi itu, Bank Dunia menyarankan mencabut larangan impor sejumlah barang, menurunkan tarif impor dan bea masuk. Pada mulanya, memang, tindakan itu akan menyebabkan naiknya permintaan devisa untuk mengimpor bahan baku (penolong) dan barang konsumsi, tapi dalam jangka panjang, kenaikan itu bisa diimbangi dengan menggelembungnya penerimaan devisa dari sektor minyak. Pemerintah sudah melihat kekeliruan itu. Proteksi berlebihan pada industri substitusi impor, tulis buku Repelita IV, ternyata memboroskan devisa. Sebab, meningkatnya produksi industri lokal justru mengakibatkan permintaan devisa untuk mengimpor bahan baku dan barang modal naik pula. Tahun anggaran 1981-1982 saja, impor bahan baku mencapai US$ 5,4 milyar, dan pada tahun bcrikutnya naik jadi US$ 6 milyar. Penghematan devisa juga akan dilakukan dengan meningkatkan peranan armada niaga nasional untuk mengangkut barang ekspor dan impor, yang sudah dimulai dengan mengharuskan semua barang milik pemerintah diangkut kapal berbendera Indonesia. Kata Soedarpo Sastrosatomo, presiden direktur PT Samudra Indonesia, usaha itu bisa dilakukan pula dengan mengharuskan pembelian barang (impor) pemerintah menggunakan ketentuan fob (di atas kapal). "Hanya saja, harus sadar bahwa kita tidak hidup sendiri," katanya. "Sebab, biasanya, penjual itu maunya mengangkut sendiri barangnya." Pinjaman lunak (kredit ekspor) yang diberikan dalam bentuk barang modal, misalnya dari soal pengangkutan, jasa konsultan, sampai kontraktor utamanya, lazimnya memang ditangani negara pemberi kredit. Tapi, jika pemerintah bersikeras ingin membela pelayaran nasional, "Paling banter kita hanya bisa mengangkut 50 persennya saja," ujar Soedarpo. Karena itu, tak heran, pengeluaran untuk jasa angkutan nonmigas ini cenderung naik terus: pada tahun 1981-1982 baru US$ 1,5 milyar, tapi tahun anggaran berikutnya sudah jadi hampir US$ 1,7 milyar. Untuk meningkatkan daya saing pelayaran nasional, dengan menekan ongkos angkut dan menepati jadwal, sejumlah perusahaan trayek Eropa sudah sejak enam bulan ini bergabung membentuk Djasagetri. "Prospek muatannya baik sekali," ujar Soedarpo. Tapi untuk Repelita IV ini, proyeksi pengeluaran jasa angkutan nonminyak ini tetap tinggi rata-rata US$ 1,75 milyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini