KAWASAN Pasifik selama dua dasawarsa terakhir ditandai oleh perubahan-perubahan yang mencolok, khususnya di bidang ekonomi. Secara terpisah-pisah dapat diamati gejala ataupun kecenderungan ekonomi tertentu yang satu dari lainnya mungkin tidak dapat dipisahkan: (a) dinamika dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kawasan Pasifik ini, khususnya di Pasifik Barat (b) bergesernya kegiatan ekonomi dunia dari kawasan Atlantik ke kawasan Pasifik dan, (c) meningkatnya kesalingtergantungan (interdependensi) ekonomi antara negara-negara di kawasan itu, bukan hanya dalam perdagangan barang dan jasa, tetapi juga dalam lalu lintas modal, teknologi, dan lain sebagainya. Perkembangan serupa ini tentunya membawa pengaruh terhadap pemikiran ataupun kebijaksanaan mengenai kawasan Pasifik secara keseluruhan, dan mengenai peranan dari atau implikasi terhadap tiap-tiap negara dalam kawasan itu. Kesalingtergantungan memang bukan suatu keadaan yang netral, karena ia bisa dinilai positif atau sebaliknya dianggap sebagai sesuatu yang secara a priori adalah negatif. Mereka yang menekankan aspek negatif kesalingtergantungan itu cenderung mengusulkan tindakan-tindakan untuk mengurangi atau melemahkan kesalingtergantungan dengan negara-negara di kawasan Pasifik. Pihak-pihak lain mempertanyakan apakah alternatifnya bisa dicapai. Ketidaktergantungan (independensi) ekonomi lebih banyak merupakan slogan politik, yang dalam kenyataannya hanya bisa terjelma dalam isolasi ekonomi yan meminta korban kesejahteraan yang tidak kecil. Karenanya, pihak-pihak ini mencetuskan saran-saran yang telah bermuara kepada apa yang secara populer dikenal sebagai Gerakan Masyarakat Pasifik (Pacific Community Movements). Penamaan ini sering kali telah menjadi sumber persoalan tersendiri karena ditafsirkan sejajar dengan pola Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Padahal, inti persoalannya adalah mencari bentuk-bentuk kerja sama untuk mengelola kesalingtergantungan itu. Sebab, tanpa kemampuan negara-negara bersangkutan untuk mengelolanya, diperkirakan akan timbul berbagai akibat negatif, seperti kebijaksanaan di negara maju yang semakin protektif, dengan akibat terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di kawasan Pasifik dan dunia pada umumnya, ataupun ketegangan yang sulit di kendalikan sehingga dapat menjurus pada perang ekonomi di kemudian hari. Apa pun bentuk kerja sama yang dibayangkan, yang perlu disepakati adalah asumsinya, yaitu bahwa antara kesalingtergantungan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi kawasan yang cukup menakjubkan itu memang terdapat korelasi yang tinggi. Kaitan antara kedua gejala itu mungkin bersifat timbal balik: pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah membawa akibat meningkatnya kesalingtergantungan, yang pada gilirannya membantu meningkatkan (atau mempertahankan) pertumbuhan lebih lanjut. Berbagai studi cenderung menyimpulkan bahwa faktor utama pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di kawasan Pasifik sejak tahun 1960-an adalah pertumbuhan ekonomi Jepang yang menciptakan permintaan yang tinggi akan bahan tambang, produksi pertanian, dan belakangan juga hasil industri manufaktur, yang sebagian besar berasal dan kawasan Pasifik sendiri. Perkembangan ini diikuti oleh negara di Asia Timur lainnya, seperti Hong Kong, Taiwan, Korea Sclatan, dan Singapura, yang kini telah menjadi negara yang dijuluki NIC (newly industrializing countries), yang dikagumi di mana-mana. NIC ini mungkin dapat dilihat sebagai sumber bagi nasionalisme baru, karena menunjukkan bahwa negara berkembang bisa memasuki jenjang pembangunan ekonomi yang lebih tinggi. Kesadaran ini kiranya telah mendorong negara-negara di Asia Tenggara, yang tergabung dalam ASEAN, untuk melaksanakan pembangunan dengan optimisme yang cukup tinggi. Dan memang, selama satu sampai dua dasawarsa terakhir ini negara-negara itu telah dapat mengambil manfaat dari interaksi ekonominya dengan negara-negara di kawasan Pasifik tersebut, Jepang, dan negara-negara Asia Timur lainnya, ditambah dengan Amerika Serikat. Interaksi itu tidak hanya ditandai oleh intensitasnya (volume dari hubungan), tetapi terutama oleh dinamikanya yang terlihat dari perubahan yang terus-menerus dalam struktur hubungan tersebut. Dinamika ini dimungkinkan oleh pertumbuhan yang tinggi itu sendiri yang membuka berbagai peluang baru, sehingga perkembangan dalam interaksi antarnegara kawasan tersebut dapat sejalan dengan perkembangan keunggulan komparatif (comparative advantange) dikawasan Pasifik. Apabila memang kunci keberhasilan kawasan Pasifik selama ini terletak pada kenyataan di atas, timbul berbagai pertanyaan mengenal hari depan perkembangan ekonomi di kawasan itu. Kini ampak gejala struktural yang mungkin dapat memperlemah dinamika yang ada, misalnya kejenuhan dan perubahan sosial dalam masyarakat Jepang, ataupun gejala konjungtural yang semakin sulit diatasi karena ketegaran struktural, terutama di negara yang masih diharapkan menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi kawasan Pasifik dan dunia, misalnya Amerika Serikat. Mereka yang mencoba menelusuri implikasi lebih jauh dari melemahnya dinamika di kawasan ini, kesemuanya menyimpulkan pentingnya momentum yang ada dapat dipertahankan. Tapi untuk itu diperlukan keterbukaan di pihak setiap negara kawasan, dan bukannya tindakan-tindakan yang malah menutup diri, seperti melalui proteksionisme. Dalam kaitan ini pulalah sering dijumpai usul-usul untuk menciptakan suatu kerangka organisasi kerja sama bagi kawasan Pasifik. Selama dua puluh tahun terakhir ini usulan-usulan telah mengalami evolusi dan modifikasi terus-menerus, dan ternyata tetap aktual, karena memang perkembangan kawasan memperkuat kebutuhan untuk saling berkonsultasi di antara negara-negara bersangkutan demi mengelola kesalingtergantungan itu dengan lebih baik, artinya saling menguntungkan. Konsensus yang ada dewasa ini, seperti telah diutarakan Menteri Mochtar Kusumaatmadja sewaktu mengusulkan agenda pembahasan mengenai hari depan ekonomi Pasifik dengan rekan-rekan dialog dari negara-negara Pasifik di Jakarta pertengahan Juli ini, adalah: (a) konsultasi serupa itu akan sangat berguna tapi, (b) untuk melaksanakannya tidak diperlukan suatu organisasi formal yang baru. Prakarsa Mochtar untuk menyelenggarakan konsultasi ini dalam kerangka ASEAN akan mempunyai arti penting di kemudian hari, tetapi pada tahapan ini tidak bisa difungsikan secara berlebih-lebihan. Artinya, pihak-pihak yang terlibat, apakah ASEAN ataupun rekan dialognya dari negara-negara maju, hendaknya tidak berilusi untuk mencapai sesuatu lebih dari sekadar konsultasi mengenai ekonomi kawasan. Bagi ASEAN, konsultasi ini mempunyai arti penting karena sesedikitnya dua aspek di bawah ini. Aspek ekstern, yaitu peranan kawasan bagi ekonomi-ekonomi ASEAN, semakin melibatkan hubungan-hubungan kompleks antara negara-negara kawasan Pasifik secara keseluruhan, di mana semakin banyak persoalan tidak dapat dipecahkan secara bilateral ataupun global dan tampaknya memerlukan pemecahan regional. Konsultasi regional ASEAN dengan negara-negara kawasan lainnya dapat memperkuat tujuan diplomasi ASEAN secara bilateral dan global, dan bukan dimaksudkan untuk menggantikannya. Aspek intern ASEAN, yaitu interaksi ekonomi antara negara ASEAN sendiri, tampaknya akan menemui kejenuhan apabila fokus kegiatan kerja sama ASEAN terus-menerus bersifat intraregional. Kecenderungan untuk memingit ASEAN dengan maksud memproteksinya, termasuk dari pengaruh-pengaruh kawasan, kiranya akan mengakibatkan suatu "involusi" dalam ASEAN yang berakibat stagnasi dalam kerja sama, yang pada gilirannya akan memperlemah kemauan politik (political will) yang mendasari kelompok kerja sama ini. Alasannya sederhana: ASEAN terlalu kecil bagi Indonesia, bila kita berbicara mengenai hubungan dan kerja sama ekonomi. Karena itu, Indonesia sulit mendapat bagian (keuntungan) ekonomi yang wajar (sebanding, fair) dari pengaturan-pengaturan dalam rangka ASEAN. Hal ini diakibatkan oleh potensi pasar Indonesia yang jauh lebih besar dari negara-negara ASEAN lainnya. Namun, bobot Indonesia yang besar itu akan cenderung mengakibatkan ASEAN ditekan ke bawah (pushed down) oleh Indonesia, tentu saja secara tidak sadar. Ditinjau dari segi ini, kiranya ASEAN perlu memberikan fokus yang lebih besar kepada ekonomi kawasan Pasifik yang lebih luas. Dengan demikian, gaya-gaya yang menyebabkan involusi tadi mungkin bisa dikompensir oleh gaya-gaya ang cukup kuat untuk menarik ASEAN ke atas (pulled up) yang bersumber dari kawasan berdinamika besar itu. Dengan setetes Pasifik, kiranya ASEAN dapat menjadi lebih subur, dan bukan malah menjadi lemah, seperti yang, ditakutkan sementara orang. Masalahnya adalah bagaimana ASEAN memanfaatkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini