Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Bisakah Indonesia Mencapai Swasembada Gula pada 2028?

Prabowo menargetkan swasembada gula pada 2028. Peneliti memperingatkan risiko kegagalan food estate untuk mencapai target itu.

2 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Produksi petani tebu rakyat tahun ini cenderung turun, bahkan hingga 40 persen per hektare.

  • Swasembada gula untuk kebutuhan konsumsi ditargetkan paling lambat pada 2028, sementara swasembada gula untuk kebutuhan industri pada 2030.

  • Pendekatan kebijakan pemerintah selama ini dianggap masih keliru sehingga berulang kali gagal mencapai target swasembada gula.

KETUA Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Lumajang Didik Purwanto mengungkapkan bahwa jumlah produksi petani tebu rakyat tahun ini cenderung turun. Ia menghitung penurunan produksinya bisa mencapai 40 persen per hektare.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petani asal Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, itu mencatat sebelumnya tiap hektare lahan sawah biasanya menghasilkan 1.500 kuintal, tapi sekarang hanya 1.000 kuintal. Sedangkan untuk lahan tebu tegalan, yang sebelumnya menghasilkan 800 kuintal per hektare, saat ini paling banyak hanya menghasilkan 600 kuintal per hektare.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun Didik menilai harga gula masih tergolong bagus di tengah turunnya produksi saat ini. "Rendemennya tinggi karena panasnya pas. Harga gula juga sedang bagus," ucapnya kepada Tempo, Jumat, 1 November 2024. Rendemen tebu merupakan persentase gula yang dihasilkan dari proses pengolahan tebu.

Menurut Didik, ada beberapa faktor penyebab turunnya produksi tebu. Salah satunya ketersediaan air yang minim karena saluran irigasi rusak dan hujan tidak kunjung turun. Namun ia optimistis, dengan target swasembada gula yang dicanangkan pemerintah, akan ada perbaikan pada pertanian tebu di Tanah Air.

Presiden Prabowo Subianto menargetkan swasembada sejumlah komoditas pada 2028. Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan mengatakan Prabowo ingin Indonesia bisa memproduksi kebutuhan pangan sendiri, termasuk gula.

Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), suatu negara disebut swasembada jika produksinya mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. Adapun hingga saat ini 63 persen kebutuhan gula nasional masih bergantung pada impor.

Pemerintah sudah berulang kali menyatakan hendak mengurangi ketergantungan terhadap impor gula. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memutuskan mempercepat swasembada gula nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023. Berdasarkan aturan tersebut, swasembada gula secara nasional untuk kebutuhan konsumsi ditargetkan paling lambat pada 2028. Sedangkan swasembada gula untuk kebutuhan industri ditargetkan pada 2030.

Dalam perpres yang diteken pada 16 Juni 2023 itu, pemerintah menargetkan peningkatan produktivitas tebu sebesar 93 ton per hektare. Target itu akan dikejar melalui perbaikan praktik agrikultur berupa pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan tebang muat angkut.

Pekerja memanen tebu di area persawahan Sendangsari, Kulon Progo, DI Yogyakarta, Mei 2022. ANTARA/Hendra Nurdiyansyah

Selain itu, akan ada penambahan area lahan baru perkebunan tebu seluas 700 ribu hektare yang bersumber dari lahan perkebunan, lahan tebu rakyat, dan lahan kawasan hutan. Ada pula peningkatan efisiensi, utilisasi, dan kapasitas pabrik gula untuk mencapai rendemen sebesar 11,2 persen.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan peningkatan produksi sejumlah pangan strategis, termasuk gula, menjadi perhatian pemerintah. Kementerian Pertanian mencatat kebutuhan gula nasional mencapai 9,1 juta ton yang terdiri atas gula konsumsi 3,4 juta ton dan gula industri 5,7 juta ton.

Untuk memenuhi target swasembada gula, kata Amran, Kementerian Pertanian akan melakukan intensifikasi berupa rawat ratoon tebu seluas 206.478 hektare serta bongkar ratoon seluas 298.298 hektare. Keduanya akan dilakukan selama lima tahun pada lahan tebu rakyat.

Selain itu, Kementerian Pertanian bakal melaksanakan ekstensifikasi dengan menambah luas area tebu sesuai dengan amanat Perpres Nomor 40 Tahun 2023 sebesar 700 ribu hektare. Wakil Menteri Pertanian Sudaryono sebelumnya juga menyampaikan permintaan Prabowo untuk melanjutkan program lumbung pangan atau food estate guna mencapai target swasembada pangan. Langkah ini juga dilakukan seiring dengan penambahan pabrik gula baru sebanyak 30 unit yang terintegrasi dengan kebun.

Kementerian Pertanian akan bekerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk meningkatkan produksi gula nasional. Ia meminta PTPN menciptakan kluster kebun unggul yang dikelola dengan teknologi modern. "PTPN perlu membangun kluster kebun dengan produksi tertinggi, peralatan terbaik, dan tenaga kerja yang terampil," ujar Amran dalam keterangan resmi pada Selasa, 29 Oktober 2024.

Sebelumnya, Direktur Utama PTPN III (Persero) M. Abdul Ghani menyatakan perseroan telah menambah target produksi gula tahun ini untuk mempercepat pencapaian target swasembada gula. PTPN menargetkan produksi gula pada 2024 sebanyak 8 ton per hektare dari sebelumnya 5 ton per hektare.

Abdul yakin target swasembada gula itu realistis untuk dicapai apabila ada perbaikan dari sisi agronomi, khususnya sinergi dan kolaborasi yang mendukung petani. Ia menekankan pemerintah harus menjaga harga gula produksi petani tidak jatuh 

Karena itu, Abdul juga berharap pemerintah bisa lebih mengendalikan lonjakan impor gula. "Impor gula harus dikontrol betul. Jangan sampai harga gula impor jatuh di bawah harga produksi petani," ujarnya seperti dikutip dari Antara, Rabu, 21 Agustus 2024.

Berdasarkan hitungan PTPN, produktivitas petani di Indonesia setidaknya harus sebanyak 8 ton gula per hektare. Jika target ini tercapai, gula lokal dapat bersaing dengan gula impor dari segi harga dan volume sehingga ketergantungan Indonesia terhadap impor gula dapat berkurang.

Abdul menuturkan Pulau Jawa pernah menghasilkan gula hingga 15 ton per hektare, yang memungkinkan Indonesia menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia saat itu setelah India. Menurut dia, hal itu menunjukkan produktivitas tinggi sebenarnya pernah dicapai Indonesia sehingga potensi tersebut bisa diwujudkan kembali jika kondisi produksi saat ini ditingkatkan.

Terlebih, Abdul menilai karakter industri gula di Indonesia mirip India. Meskipun lahan tebu di sana juga terbatas dan mirip Indonesia, India mampu mengoptimalkan produktivitas hingga menjadi salah satu eksportir gula terbesar di dunia. Karena itu, dia optimistis Indonesia mampu meningkatkan produktivitas agar target swasembada gula bisa tercapai.

Subholding PTPN III, PT Sinergi Gula Nusantara (SGN), menjadi salah satu perusahaan yang menggencarkan program swasembada gula. Dari 36 pabrik gula yang dikelola SGN, produksi gula kristal putih pabrik gula perseroan meningkat dari 750 ribu ton pada 2023 menjadi 833 ribu ton per 31 Oktober 2024.

Corporate Secretary SGN Wakhyu Priyadi Siswosumarto mengimbuhkan, jumlah produksi gula konsumsi dalam negeri masih belum memenuhi kebutuhan gula nasional. Pada 2023, kebutuhan gula sebesar 3,2 juta ton. Sedangkan jumlah produksi gula nasional hanya 2,2 juta ton. Dengan demikian, ada defisit atau kekurangan 1 juta ton gula konsumsi.

Agar tidak terjadi defisit, SGN berupaya mengintensifkan lahan tebu. Cara yang ditempuh adalah perbaikan teknik budi daya tebu, penataan varietas yang saat ini belum ideal dan benih unggul, program bongkar ratoon, serta penyediaan sarana produksi pertanian yang tepat. Korporasi juga memberikan kemudahan akses pendanaan modal usaha untuk petani tebu. Langkah lainnya, penambahan jumlah lahan tebu serta penerapan teknologi digital untuk operasi dan pengawasan perkebunan.

Peneliti pertanian dari Center of Reform on Economics Indonesia, Eliza Mardian, berpendapat bahwa Indonesia sebetulnya mampu mewujudkan swasembada gula. Masalahnya, menurut dia, selama ini pendekatan kebijakan yang dilakukan pemerintah masih keliru sehingga berulang kali gagal mencapai target swasembada gula.

Eliza mencontohkan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Awalnya, lahan program MIFEE ditanami tebu, tepi akhirnya ditanami sawit karena gagal akibat pengairan tidak memadai.

Pemerintahan saat ini hendak menjalankan program serupa, yaitu mencetak lahan tebu di Merauke untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dan bioetanol. "Kegagalan bisa terulang lagi karena tidak memenuhi kaidah ilmiah," tutur Eliza. 

Eliza menilai ketidaksesuaian lahan menjadi permasalahan utama. Ia merujuk pada penelitian Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari 2 juta hektare lahan program MIFEE yang benar-benar cocok untuk budi daya tebu. Luas lahan yang sangat sesuai untuk tebu di Merauke hanya sekitar 127,8 ribu hektare.

Berdasarkan penelitian LAPAN yang terbit pada 2010 itu, lahan yang cukup sesuai mencapai 398 ribu hektare. Seluas 1,59 juta hektare masuk kategori sesuai marginal, yang berarti lahan tersebut bisa ditanami tebu, tapi membutuhkan biaya tinggi serta campur tangan pemerintah dan swasta.

Sisanya, lahan tersebut tidak sesuai sama sekali. Artinya, hanya sekitar 25 persen dari lahan yang direncanakan pemerintah yang sangat atau cukup sesuai untuk tebu. Sisa lahan lain berisiko gagal mendukung pertumbuhan tebu yang optimal.

Jika lahan-lahan yang tidak sesuai tetap dipaksakan untuk ditanami tebu, hasilnya akan rendah dan tidak efisien. Imbasnya, rendemen tebu Indonesia rendah. Eliza menyebutkan tingkat rendemen Indonesia hanya sekitar 7 persen.

Artinya, dari 100 kilogram tebu yang digiling di pabrik gula, Indonesia hanya akan menghasilkan 7 kilogram gula. Sementara itu, rendemen tebu di Thailand mencapai 11,82 persen. Artinya, 100 kilogram tebu dapat menghasilkan 11,82 kilogram gula.

Selain karena lahan yang tidak sesuai, Eliza berpandangan, rendemen tebu Indonesia rendah lantaran banyak pabrik gula yang mesinnya sudah tua. Bahkan ada mesin yang usianya lebih dari 100 tahun. Karena itu, pemerintah perlu merevitalisasi pabrik-pabrik dan mesin gula jika ingin meningkatkan produksi gula.

Eliza juga menyarankan pemerintah menyalurkan insentif dan fasilitas kredit, terutama untuk meningkatkan produktivitas pabrik gula kristal putih. Sebab, saat ini gula yang beredar di pasar adalah gula kristal putih yang berbasis tebu serta gula rafinasi yang berbasis raw sugar impor. Pemberian pupuk khusus untuk tebu juga perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas. 

Jika kebijakan pemerintah masih keliru, tutur Eliza, angka impor gula akan terus melonjak seiring dengan bertambahnya tingkat konsumsi akibat pertambahan jumlah penduduk. "Pemerintah harus melakukan pendekatan kebijakan berbasis inovasi teknologi, bukan sekadar perluasan lahan sehingga setidaknya kita bisa mengurangi impor," ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

David Priyasidharta dari Lumajang dan Hanaa Septiana dari Surabaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus