SEJAK menempati posnya yang sekarang, Menparpostel Soesilo Soedarman sudah memupuk niat suci: menambah jumlah SST (satuan sambungan telepon). Niat terpuji itu akan diterapkan lewat sistem bagi hasil (sharing revenue) dengan pihak swasta, khusus dalam hal pengadaan jaringan telepon. Dan keputusan mengenai pelaksanaan bagi hasil diharapkan sudah bisa diumumkan tak lama sesudah rapat kerja Departemen Parpostel yang berlangsung pekan silam. Problem pengadaan sambungan telepon memang harus segera ditangani. Dari sasaran Pelita IV sejumlah 1.052.450 SST, dana yang tersedia cuma untuk 584.850 SST -- direncanakan rampung 1990. Sisanya, 467.600 SST, akan diupayakan pengadaannya pada awal Pelita V, dengan dana yang bersumber dari pinjaman lunak. Selanjutnya, untuk Pelita V tak kurang dari 1,4 juta SST yang ditawarkan Perumtel. Pemerintah akan membangun sendiri 600.000 SST, sementara sisanya 800.000 disiapkan masuk ke proyek bagi hasil. Maka, untuk mempercepat pelaksanaan sistem bagi hasil -- berarti proses pengadaan sambungan baru tidak harus dibiayai seluruhnya oleh pemerintah -- Menparpostel Soesilo mulai menawarkan paket pengadaan 200.000 SST. Dana yang diperlukan mencapai 412 juta dolar, diperkirakan 60% berupa valuta asing, dan sisanya rupiah. Tapi, mengingat pertumbuhan permintaan sekitar 10,6% per tahun, dikhawatirkan toh pada akhir Pelita V jumlah ini tetap tak akan mencukupi. Dalam sistem bagi hasil ini, pembangunan sarana gedung dan penyediaan serta pemasangan instalasinya total ditanggung oleh penanam modal (swasta). Keterlibatan pemerintah hanya bersifat pengawasan. Setelah konstruksi dan isinya selesai, pengelolaannya ditangani bersama: Perumtel dan swasta yang bersangkutan. Pemasukan dari hasil sewa pemakaian pulsa akan dibagi untuk kedua pihak, berdasarkan kontrak. Persentase masing-masing dan jangka waktu kontrak, menurut Soesilo Soedarman, "masih harus dilihat nanti setelah negosiasi." Harap diketahui, jika kontrak bagi hasil selesai, seluruh aset proyek tersebut akan menjadi milik Perumtel. Ada langkah pelengkap yang menyertai sistem ini. Dalam rencana Dirut Perumtel Cacuk Sudarjanto, bakal tidak ada tarif minimum pulsa. Kata Cacuk, yang akan berlaku, "Namanya asas tarif, yang dapat mengakomodasikan asas pemerataan." Modelnya adalah sistem yang berlaku di PLN. Umpamanya, pelanggan yang 21 ribu Watt berbeda bebannya dengan pelanggan yang 900 Watt. "Inilah yang saya anggap pemerataan. Mungkin bisa kita tiru." Ada lima perusahaan swasta nasional yang sudah kebagian rezeki proyek SST ini, yakni PT Elektrindo Nusantara, PT Bakrie & Brothers, dan PT Gunanusa Utama Fabricators, PT Cellefone Nusantara, dan PT Wahana Esa Sambadha. Bagian mereka rata, masing-masing 40 ribu SST. Hanya saja dalam pengerjaannya mereka akan dibantu oleh 8 swasta asing, yang terdiri dari: Siemens AG, NTT, Marubeni, Telecommunication Services International (TSI, Kanada), British Telecom, Alberta Gout Telephone (Kanada), Bechtel Civil Inc. (AS), dan Kawasaki Teitoku Co. Ltd. Kesemuanya akan menggunakan Sentral Telepon Digital (STDI) I, hasil produksi PT Inti. Masing-masing menggunakan sistem bagi hasil dan kontrak berbeda. Bakrie & Brothers, misalnya, untuk tahun pertama pihaknya memperoleh 95% keuntungan, Perumtel 5%. "Tahun-tahun berikutnya, bagian kami semakin kecil, Perumtel semakin besar," tutur Aburizal Bakrie. Dalam bagi hasil yang direncanakan selama 17 tahun itu, "Pada saatnya kelak, kami hanya mendapatkan 5%-nya, Perumtel 95%." PT Gunanusa, yang pada pembangunan konstruksinya nanti akan bekerja sama dengan PT Inti dan Siemens, mengajukan penawaran berbeda. Yakni, lima tahun pertama pihaknya 95%, Perumtel 5%. Sesudahnya, sampai tahun ke-II, perbandingannya menjadi 80% dan 20%. Setelah melewati masa itu, Gunanusa tak akan mendapatkan apa-apa. Usulan itu, menurut Managing Director Ir. Sjahfan Joesoef, "belum mendapatkan surat persetujuan dari Perumtel." Tidak semua calon rekanan Perumtel menyatakan bentuk penawarannya secara terbuka. Bahkan juga perusahaan asing yang berhasil masuk nominasi, atau hampir pasti terpilih, seperti TSI Kanada. Perusahaan ini baru mulai dua tahun lalu menjadi rekanan Perumtel. "Tapi agak miris bagi kami jika jatah untuk kami di bawah target. Sebab, investasi baru menguntungkan kalau pemasangan instalasi STDI-I tak kurang dari 100.000 SST," kata sumber TEMPO di TSI. Keterangan ini masuk akal, apalagi sebagai pengusaha, ia mesti memperhitungkan berbagai risiko. Lain halnya para calo telepon disinyalir orang dalam Perumtel sendiri yang berani pasang tarif mahal tanpa jelas benar jaminannya apakah bisa berdering atau tidak. Dirut Perumtel Cacuk memperkirakan, barisan calo akan lenyap dengan sendirinya akhir Pelita V kelak. Tapi ia tak mau menunggu sampai begitu lama. Ia berjanji akan menindak calo-calo itu, tanpa menyebutkan apakah ia miris atau tidak bila kelak ternyata janji itu tak terpenuhi. MC, Monbanoe Moera, Linda Djalil, dan Syafiq Basri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini