BANK Sentral akhirnya menurunkan bala bantuan untuk para petani pengumpul rotan. Pekan silam, setelah menghadap Presiden bersama Menkeu Sumarlin, Gubernur BI A. Mooy mengumumkan: pengumpul rotan kini boleh meminta kredit ekspor. Dari bank mana saja? "Ya dari semua bank yang sehat, baik pemerintah, swasta nasional, maupun asing," kata Dr. Mooy kepada TEMPO. Menurut dia, pengumpul rotan tergolong layak diberi pinjaman (bankable), karena sejak dulu mereka sudah melayani ekspor. "Mereka melayani produsen rotan setengah jadi, berarti mereka sudah berada dalam mata rantai ekspor," kata Gubernur BI kepada Bachtiar Abdullah dari TEMPO, akhir pekan lalu. Kredit ekspor adalah kredit "murah" berbunga 9% setahun. Dulu, kredit ini hanya diberikan kepada pengusaha yang sudah mengekspor. Sebelum mengekspor, biasanya eksportir sudah meminjam modal (kerja) dari bank, dengan bunga lebih tinggi (biasanya 15%). Jadi, kredit ekspor hanya diberikan sebagai restitusi untuk meringankan beban pinjaman dari bank-bank komersial. Tapi, kredit ekspor untuk pengumpul rotan lebih ringan. Sebab, kredit ini bisa diminta sebelum ekspor dilaksanakan, dan boleh dicicil setelah barang diekspor. Fasilitas ini diberikan pemerintah guna membantu pengusaha rotan di hilir yang terpukul oleh kebiaksanaan pemerintah yang melarang ekspor rotan setengah jadi sejak 1 Juli lalu. Apalagi September lalu diumumkan bahwa ekspor rotan anyaman (webbing) juga ikut disetop mulai Oktober ini. Dr. Mari Pangestu, menduga sekitar 100.000 orang telah terkena keputusan pemerintah itu. Mengapa. Arus produksi rotan mentah dari hulu, tahun silam sekitar 200.000 ton. Padahal, industri kerajinan rotan di hilir hanya mampu menyerap sekitar 15%. Akibatnya, arus dahsyat rotan mentah dan setengah jadi dari hulu itu luber sebelum sampai ke hilir. "Kami melihat terjadi kehancuran usaha rotan, antara lain di Kalimantan Tengah dan Selatan," kata Ketua Komisi VII DPR RI Syaiful Anwar Husein kepada Tommy Tamtomo dari TEMPO. Nasib buruk yang dilihat Komisi DPR tadi, antara lain, menimpa Sofyan petani pengumpul rotan dari Desa Pembuang Hulu, Kabupaten Kotawaringan Timur. Pria berusia 30 tahun yang sudah empat tahun bergelut dengan onak dan duri rotan itu Juli lalu masih bisa menjual rotan mentah dengan harga Rp 500.000 per ton. Tapi Agustus lalu, petani yang tak lulus SMP itu kaget karena harga sudah jatuh sekitar 50%. Akibatnya, rotan mentah sebanyak 10 ton yang dibawanya ke pasar di Manjul, dua hari perjalanan dari desanya, dititipkan saja dulu. "Sampai sekarang beIum laku juga," tuturnya kepada pembantu TEMPO Almin Hatta. Sabrinor, 36 tahun, pedagang pcngumpul rotan di Manjul mengaku terpaksa menghentikan pembelian dari petani karena modalnya macet. Sarjana hukum itu, memiliki 11 ton rotan masih teronggok mati di sebuah gudang di Banjarmasin. Ia mengaku modal yang diperlukan sekitar Rp 2 juta per ton. Kok harganya dari pedagang ini begitu jauh di atas harga dari petani pengumpul rotan? "Masalahnya, biaya angkutan. Perjalanan dari Manjul ke Banjarmasin paling cepat lima hari nonstop," ujar Sabrinor. Selain itu, para pedagang masih harus menyiangi rotan yang dipasok dari para petani. Untuk mengumpulkan satu ton rotan bersih, diperlukan sekitar Rp 2 juta. Kata Sabrinor April lalu, ia bisa menjual dengan harga sampai Rp 2,7 juta per ton. "Tapi kini, ditawarkan dengan harga miring pun, tidak laku," tuturnya. Bagaimana dengan petani pengumpul seperti Sofyan? Tampaknya, perlu adanya lembaga untuk menolong para petani. Sebab, belum tentu para petani mengerti dan mau berurusan dengan bank. "Saya sangka, KUD-KUD adalah lembaga-lembaga yang cukup potensial," kata Syaiful Anwar Husein. Tapi kredit ekspor itu tampaknya belum cukup. Pekan silam, Komisi VII DPR RI yang dipimpin Syaiful mengimbau pemerintah supaya memberlakukan juga harga dasar rotan. Apakah ini bukan semacam regulasi? "Lho, rotan 'kan menyangkut hidup orang banyak," tutur wakil rakyat tersebut. "Jangan petani disuruh membudidayakan rotan, tapi tidak diberi perangsang," kata anggota FPP itu. Pengalaman harga dasar yang diterapkan pemerintah pada cengkih dan gabah ternyata sulit dipertahankan. Salah satu sebabnya, menurut Komisi VII, kebijaksanaan negara ini belum dilaksanakan semua pihak, terutama oleh lembaga yang ditugasi untuk itu. PT Kerta Niaga yang ditugaskan mengamankan harga cengkih selama ini praktis kurang berfungsi, antara lain karena tak mempunyai dana yang cukup. Kini BI sudah merogoh kredit ekspor untuk pengusaha rotan. Siapa tahu, nasib petani rotan bakal. Max Wangkar, laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini